Haafiz Alif Faezan, cucu pendiri salah satu pondok pesantren besar di Semarang. Dikenal sebagai anak Kiyai menjadikan saya seseorang yang memiliki kewajiban sebagai penerus kepemimpinan pesantren.
Lantas, apakah saya akan menerima kewajiban itu?
Sebagai sarjana lulusan kriminologi yang berprofesikan polisi reserse dan bertugas menjadi seorang penyidik di kepolisian bukanlah hal yang mudah bagi saya.
Banyak hal baru yang saya pelajari setelah menyelami dunia luar pesantren, namun hal itu tak mampu membuat saya lupa bahwa saya anak seorang Kiai.
Saya memilih berkarier di luar pondok bukan karena ilmu saya tidak mumpuni. Tapi, karena saya tau, butuh tanggung jawab besar atas kepemimpinan itu.
Saya pikir hal sebelumnya sedikit menggambarkan latar belakang saya sebagai figur utama. Sekarang,
Apa yang kalian harapkan dari figur utama ini?
Saya hanya figur yang sengaja diciptakan sebagai ruang pelampiasan oleh penulis.
Figur saya di dunia nyata penulis tak bekerja sesuai ekspektasinya, jadilah saya dalam dunia tulisan sebagai pemenuhnya.
Jatuh cintalah kalian pada figur seperti saya, sebab itulah tujuan penulis. Temanilah alur cerita dari figur seperti saya, sampai titik menyakitkan yang pernah kalian rasa, sebab dari sanalah saya diciptakan.
Figur saya memang ada untuk sakit yang penulis rasa. Saya ada antara harapan dan pelampiasan.
Maaf untuk kalian yang mengharap akhir bahagia dari cerita ini. Sebab, tiada akhir dalam sebuah cerita kecuali figur utama pergi untuk selamanya. Saya figur utama, akan terus ada untuk akhir yang ditiadakan.
Selamat menikmati jatuh cinta, teka-teki, bahagia, canda, tawa, sedih, patah, penolakan dan laranya.
Tertanda
Gus Alif
KAMU SEDANG MEMBACA
ALIF
SpiritualApakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sarjana kriminologi yang memilih karier sebagai polisi reserse. Sebuah kasus membawa Alif bertemu kem...