Extra Part 1

34 7 8
                                    

Stella berdiri dari kejauhan, memandang peti putranya yang perlahan diturunkan bersama dengan teman-temannya yang ikut menjadi korban bencana.

Tatapan kosong, wajahnya yang begitu depresi, memperlihatkan bagaimana hancurnya Stella saat ini.

"Atlan janji nggak akan ninggalin Bunda!"

"Bunda jangan khawatir! Aku bisa jaga diri."

"Atlan sayang Bunda."

Stella mendongakkan wajahnya menatap langit cerah, menahan buliran bening yang akan kembali jatuh.

"Stella ...." Lusiana menepuk bahu wanita itu dengan hati-hati. "Kamu mau pulang?"

Stella tetap bergeming. Ia terus menatap beberapa pria yang sedang mengubur jasad putranya, dengan pandangan terluka.

"Stella, ayah antar kamu pulang ya?" Arga yang turut menyadari keadaan Stella, kembali merasa khawatir. "Nak ...."

Kekehan kecil keluar dari mulut Stella. Wanita itu berpikir, mengapa semesta selalu merenggut semua kebahagiaannya. Kini penyemangat hidupnya telah berpulang, mengingkari janjinya agar tidak meninggalkan sang ibu yang dilingkari trauma.

"Atlan di rumah, 'kan, Ma?" Stella menatap Lusiana dengan pandangan kosong. "Aku mau pulang, dia belum makan. Aku--Aku mau masakin dia."

Wanita itu terkekeh dengan air matanya yang terus mengalir. Hal itu membuat Arga kian khawatir.

"Mama ayo pulang! Atlan nungguin aku. Dia minta dimasakin sup katanya! Ayo kita pulang!"

"Nak ...." Arga memeluk bahu Stella. Hatinya begitu hancur melihat keadaan putrinya saat ini.

"Kenapa, Yah? Ayah juga mau makan bareng sama Atlan? Yaudah ayo pulang! Ngapain di sini?" ajak Stella kemudian berlari meninggalkan taman makam. "Atlan! Bunda pulang!"

"Stella! Atlan nggak ada di rumah, Nak!" ujar Arga yang kini ikut berlari mengejar Stella.

"Aku harus masakin yang banyak buat Atlan!" gumam Stella sembari tersenyum. Namun senyuman itu tak berlangsung lama, hatinya kembali tersayat ketika mengingat peti yang diturunkan beberapa menit lalu.

"Atlan nggak boleh ninggalin Bunda, Sayang!" Stella meraung. Lututnya terasa melemas membuatnya terjatuh ke aspal. "Atlan!"

"Stella ...." Arga segera memeluk putrinya begitu erat. "Nak, tolong dengerin ayah!"

Stella menggeleng. Ia terus meraung sejadinya, bahkan kedua tangannya memukuli tubuhnya sendiri. "Atlan ...."

Arga turut terisak sembari mencium puncak kepala Stella. Meskipun sama hancurnya dengan putrinya saat ini, ia harus bisa mengendalikan diri. Jika dirinya lemah, Stella akan semakin lemah.

Tangisan Stella berangsur mereda di saat pandangannya mulai mengkabur. Kepalanya yang sedari tadi terasa nyeri semakin menjadi. Hingga tak lama, kesadarannya mulai terenggut.

🌱

Nalen meletakkan sebuah buket bunga di atas makam Atlan. Ingatannya kembali terulang pada saat Atlan memeluknya begitu erat karena mengira dirinya adalah Altra. Ayahnya Atlan yang tak lain adalah kakaknya sendiri.

"Maafin gue, Atlan. Andai lo tau, gue nyesel udah dorong lo tanpa tau kalau lo itu keponakan gue," ucap Nalen sembari menundukkan kepalanya. "Sekarang lo pasti udah ketemu ayah, 'kan? Sekarang lo pasti lagi dipeluk sama dia."

Nalen mengusap nisan salib tersebut dengan hati yang bergemuruh sesak. Ia tak menyangka bahwa kemarin adalah awal dan terakhir pertemuan mereka. Bahkan suara Atlan yang terdengar begitu santun masih terngiang di benaknya.

"Kak Altra, tolong maafin gue. Harusnya gue lindungin Atlan biar terus ada buat bundanya. Tolong sayangi Atlan ya, Kak. Dia kangen banget sama lo."

Cowok itu kembali berdiri, menatap empat gundukan tanah yang penuh oleh taburan bunga. Sebelum beranjak, pandangannya jatuh pada seorang laki-laki yang tak jauh darinya, sedang duduk di depan salah satu nisan.

"Gue pergi dulu ya, Tan. Gue janji bakal sering-sering ke sini," ucap Nalen lalu melangkahkan kakinya yang terasa begitu berat untuk meninggalkan taman makan tersebut.

Laki-laki yang sedang duduk di depan salah satu nisan itu adalah Ucup.

Air matanya tak berhenti untuk terus mengalir. Baru kemarin ia merasakan pelukan erat sang kakak yang selalu ia rindukan. Namun kini semesta kembali memisahkan mereka untuk selamanya.

"Abang, Tian kangen ... mau dipeluk lagi," lirih Ucup dengan bahunya yang gemetar. Tak ada tempat untuknya bersandar di tengah kehancurannya saat ini.

Sang ibu yang mendengar putra sulungnya telah tiada, berhasil membuatnya tak sadarkan diri hingga sekarang.

Kini tanpa di temani oleh siapapun, Ucup menatap empat gundukan tanah tersebut.

Kenangan dari mereka begitu membara. Berbagai ledekan dari mereka tak pernah membuatnya sakit hati. Justru Ucup lebih baik daripada merasa sepi.

Kini dirinya hanya bisa memutar kenangan. Mencoba mengingat-ingat suara mereka ketika dirinya sedang rindu.

"Makasih udah pernah ngewarnain hidup gue. Kalian teman terbaik. Senang-senang ya kalian di sana. Kebahagiaan abadi udah nungguin kalian."

Sampai jumpa di extra part selanjutnya.

Steal HimWhere stories live. Discover now