🌱 18

102 5 8
                                    

Awan sore itu mulai menggelap, orang-orang mulai beranjak setelah mengantarkan Tika ke tempat peristirahatan terakhirnya. Namun Marco masih setia di tempatnya. Duduk pertumpu dengan lutut di depan makam sang istri sembari menggengam sebuket mawar putih.

Tak ada isakan yang keluar dari mulutnya. Namun air matanya yang terus mengalir, menggambarkan sehancur apa hatinya.

Ingatannya kembali berputar saat mereka masih remaja. Di mana dirinya selalu mencari kesempatan untuk bisa bersama Tika meskipun perempuan itu selalu menolaknya.

Flashback on.

Lo mau adu panco sama gue? Kalau menang kulit ayam gue buat lo."

Mendengar tantangan dari Marco membuat Tika menaikkan kedua alisnya, curiga.

"Terus kalau gue kalah?" tanya Tika untuk memastikan kulit ayam miliknya tak berpindah tangan.

"Ya lo jadi cewek gue," balas Marco enteng. Ia tak peduli dengan ekspresi Tika yang begitu datar.

"Nggak mau gue!" balas Tika dan hendak menyuap nasinya.

Melihat itu membuat Marco buru-buru menjauhkan tangan Tika dari makanannya.

"Gue laper, Kucing!" ujar Tika kesal.

"Terima dulu tantangannya!"

Perempuan itu membuang napas jengah dan mengangguk terpaksa. Daripada Marco terus mengganggunya karena keinginannya belum terpenuhkan.

"Tapi jangan jadi cewek lo juga kali!" protes Tika.

"Yaudah jadi istri gue," sahut Marco cengengesan.

Flashback off.

"Aku kira ini mimpi, ternyata kamu beneran pergi," gumam Marco sembari mengusap nisan salib tersebut. "Aku tau, mungkin nggak mudah menggantikan kamu sebagai seorang ibu, tapi aku harus mulai terbiasa agar anak-anak kita selalu merasa mendapat kasih sayang seorang ibu dari sosok ayah."

Marco memijat pangkal hidungnya yang terasa nyeri. Ingin rasanya ia meraung seperti Gema ketika jenazah istrinya mulai dikebumikan.

Tempatnya bersandar telah hilang. Orang yang selalu membuatnya tertawa kini telah berada di pangkuan Tuhan.

Kini jika dirinya ingin bertemu dengan istrinya, ia hanya bisa berharap lewat mimpi tanpa ada orang yang membangunkannya.

Pria itu kembali mendongakkan wajahnya, menatap gerimis yang sedikit demi sedikit membasahi wajahnya. Tak ada keinginan untuk beranjak. Marco justru menumpukan dahinya pada nisan istrinya, membiarkan buliran bening tersebut bercampur dengan hujan yang membasahi tubuhnya.

🌱

"Tan, Yan ... gue pengen balik ke panti aja rasanya."

Kalimat yang keluar dari mulut Apin membuat Atlan dan Pian yang berada di sampingnya lantas menoleh kearahnya.

"Kenapa kamu bilang seperti itu? Bagaimana dengan Papa?" sahut Atlan masih dengan matanya yang memerah sekaligus sembab.

Apin kembali menundukkan kepalanya. Hatinya terasa hampa tanpa adanya Tika di rumah. Ia masih terbayang-bayang, bagaimana sibuknya sang mama ketika berada di dapur sembari memarahinya dan Gema ketika sedang bertengkar.

"Gue nggak mau keinget mama," ungkap Apin kembali menitikkan air matanya.

Meskipun Atlan merasakan hal yang sama. Namun ia tetap menguatkan Apin, sekaligus Pian yang sebelumnya terlihat begitu tertekan karena kepergian Tika.

Pian baru sebentar merasakan kasih sayang seorang ibu. Namun semesta seakan mengujinya dan kembali mengambil seorang wanita yang berharga dalam hidupnya.

"Apin, Pian ... kalian kan masih punya bunda."

Suara Stella dari tangga membuat ketiga cowok itu lantas menoleh menatapnya.

Stella tersenyum dan menghampiri mereka setelah menemani Gema yang tertidur di kamar Atlan.

"Mama kalian nggak sepenuhnya meninggalkan kita. Karena mama Tika ada di sini," kata Stella sembari menyentuh dadanya.

Meskipun sama terpuruknya, Stella tetap berusaha membuat mereka tetap bangkit. Kepergian Tika meninggalkan banyak sekali kenangan. Meskipun kadang, Stella selalu dibuat kesal karena ulah sahabatnya itu.

Melihat mereka yang kembali menitikkan air mata, membuat Stella segera memeluknya untuk saling menguatkan di tengah hatinya yang sudah hancur, karena orang tersayang kembali meninggalkannya.

"Mulai sekarang jangan panggil tante, panggil aku bunda," ucap Stella sembari mencium dahi ketiganya secara bergantian.

"Makasih Bunda, Apin sayang banget sama Bunda," ucap Apin memeluk erat tubuh Stella dan Atlan.

"Atlan, ijin pinjam bunda lo bentar ya!" sahut Pian membuat ketiganya terkekeh.

"Bunda saya bukan barang!" timpal Atlan sembari mengusap matanya yang sembab.

Mereka tertawa kecil dan kembali saling berpelukan. Hingga sebuah siaran televisi yang sedari tadi menyala, berhasil menarik atensi mereka.

"Berita sore ini, seorang pria ditemukan tewas di toilet saat menjalani pemeriksaan oleh polisi pasca menabrak seorang wanita hamil hingga tewas. Diduga pria tersebut sengaja meminum racun untuk mengakhiri hidupnya."

Mendengarnya, membuat Apin merasakan jantungnya yang berpacu begitu cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendengarnya, membuat Apin merasakan jantungnya yang berpacu begitu cepat. Ia tak mengenali pria itu. Namun di lubuk hatinya seperti merasakan kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupnya.

Tbc.

Steal HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang