🌱 34

69 4 15
                                    

"Baik, kita cukupkan latihan hari ini. Besok kita sambung lagi, saya harap Krisna bisa ikut hadir karena pertandingan tinggal lima hari! Pokoknya kalian harus jaga kesehatan!" ucap Ridan begitu semangat.

Melihat murid didiknya yang begitu lincah memainkan bola basket, membuatnya yakin jika mereka akan menang dipertandingan esok.

Pria itu menyodorkan punggung tangannya, mengajak tangan mereka untuk saling bertumpu dan menyuarakan yel-yel penyemangat.

"MERPATI BISA, MERPATI JAYA! MENANG, MENANG, MENANG!" semuanya menghempaskan tumpuan tangannya ke udara dan dilanjutkan tepukan meriah yang membuat mereka semakin bersemangat.

Pandangan ketiga cowok itu beralih pada Atlan yang kini berjalan menuju kursi sembari menundukkan kepalanya.

"Pak, kita pamit mau ganti seragam," ucap Pian.

Ridan mengangguk sembari tersenyum. "Iya, selesai ganti langsung masuk ke kelas."

Ketiganya mengangguk dan beranjak dari hadapan Ridan. Sebelum keluar dari lapangan, Pipit mengambil botol air mineral dari dalam kardus dan diletakkan di samping Atlan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tak peduli pemberiannya akan diterima atau tidak, Pipit kembali berlalu dan diikuti oleh kedua temannya.

Atlan membuang napas berat, tangan kanannya meraih botol tersebut lalu meminumnya hingga tandas.

"Kamu kenapa? Dari tadi saya lihat kamu nggak terlalu semangat buat latihan. Ada apa?" tanya Ridan yang kini duduk di samping Atlan.

Cowok itu menolehkan kepalanya menatap Ridan sembari menutup botol minumannya. "Saya ... rindu ayah. A-a-andai ayah masih ada, pasti sa-sa-saya tidak akan dikekang sa-sa-sama bunda."

Ridan mendengarkan dengan pikiran yang membawanya kembali pada masa 16 tahun silam. Di mana dirinya bertemu dengan Altra di sebuah bengkel dan kejadian konyol yang tak akan terlupakan.

"Saya suka vo-vo-voli, tapi bunda tidak mengijinkan karena ayah dulu suka main voli. Saya ingin naik motor sama seperti teman-teman, tapi ji-ji-jika bunda tahu, dia pasti akan marah besar. Bahkan gaya bicara saya diatur oleh bunda karena takut dia akan teringat dengan a-a-ayah."

Ridan mengangguk mengerti sepanjang Atlan bercerita. Sesekali tangannya mengusap bahu Atlan agar lebih tenang.

"Saya sering mendapati bunda menangis setiap ma-ma-malam. Andai ayah masih ada, pasti keluarga kami bakal bahagia. Bapak tahu? Foto ayah yang diam-diam saya simpan ternyata ketahuan bunda. Akhirnya dia ba-ba-bakar foto itu. Saya tidak punya kenangan lagi."

Seketika Ridan teringat oleh sesuatu. Ia pun segera merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah gantungan kunci motornya berbentuk domba kecil.

"Kamu tau? Ini buatan ayah kamu," kata Ridan sembari menunjuk boneka kecil tersebut.

Atlan menatap heran pada benda yang berada dalam genggaman Ridan. Tangannya bahkan tanpa sadar meraih boneka tersebut.

Meskipun ada rasa tak rela. Namun Ridan membiarkan Atlan mengambil boneka kecil itu dari tangannya.

"Bapak kenal ayah saya?" tanya Atlan tanpa memutuskan pandangannya dari boneka domba yang kini berada dalam genggamannya.

Ridan mengangguk mantap. "Ayah kamu teman saya." Pria itu praktis tergelak mengingat pertemuan awal mereka.

"Lo anak siapa sih? Ngeselin banget, baru ketemu juga!"

"Ngajak berantem lo?"

"Altraksableng!"

Ridan menggelengkan kepalanya dan kembali menatap Atlan. "Saya bahkan nggak percaya kalau kamu anaknya, karena sikap kalian jauh sekali!"

Atlan menatap Ridan dengan raut wajahnya yang begitu penasaran. "Ayah dulu nakal ya?"

Steal Himحيث تعيش القصص. اكتشف الآن