27. What do you cry?

Mulai dari awal
                                    

Mobil itu berhenti melaju di depan kediaman Dirga. Reo turun untuk membukakan pintu untuk Nafika.

"Lo yakin bisa ngatasin Saga sendirian?" Reo bertanya memastikan. Mereka pulang terlambat, hari sudah malam.

Nafika tersenyum meyakinkan. "Tenang aja, gue bisa atasin kok."

"Yakin?"

"Iya, Reo. Udah sana pulang!" usir Nafika sambil mendorong Reo agar masuk ke dalam mobil.

"Ngusir ceritanya?" Reo bertanya ketus.

Nafika tertawa lebar. "Banget, Reo, liat muka lo seharian bikin gue eneg."

"Sialan." Reo terkekeh geli. Menyalakan mesin mobil, melambaikan tangan pada Nafika dan tancap gas pergi dari pandangan Nafika.

Nafika menurunkan tangannya yang tadi membalas lambaian Reo, mengepalkan tangan untuk menambah keberanian menghadapi Saga.

Setelah semua keberanian terkumpul, Nafika masuk ke dalam rumah. Mang Diman sempat bertanya kemana Nafika pergi, tapi Nafika hanya menjawab jalan-jalan.

Pintu rumah dengan pelan dibuka oleh Nafika, lampu-lampu sudah banyak dimatikan, termasuk kamar Saga. Kondisi rumah juga sepi, mungkin Saga sudah tidur.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk kabur ke kamar Nafika sebisa mungkin berlari tanpa suara menuju kamarnya.

Dengan tubuh yang terasa ingin remuk Nafika membuka pintu kamarnya. Dia ingin langsung tertidur di kasur kesayangannya. "Aaa capek banget!"

Nafika menyalakan lampu kamarnya, tapi alangkah terkejutnya Nafika melihat Saga duduk di kasurnya sambil membaca buku.

Buku yang sedang di baca Saga ditutup langsung saat Nafika masuk ke dalam kamar.

"Puas main-main?" Saga bertanya dingin.

Nafika mengalihkan pandanganya dari Saga yang menatapnya tajam. "Main-main? Gue ngga main kok, 'kan udah dibilang gue nemenin Anna."

"Bohong lagi, gua pastikan lo dihukum, Nafika." Kali ini nada bicara Saga lebih dingin dan penuh penekanan.

Tubuh Nafika bahkan meremang mendengar kata itu keluar dari mulut Saga. Ini pertama kalinya Saga marah seperti ini. Nafika meremas jemarinya takut. "Kok bisa tau?"

"Gua ketemu Anna lagi belanja dengan sepupunya, gua tanya dimana lo malah ngasih jawaban bodoh." Saga bangkit, berjalan menghampiri Nafika dengan mata yang masih menatap tajam.

Nafika menghela napas. Sejak awal seharusnya Nafika tahu bahwa kemampuan berbohong Anna sama payahnya dengan dirinya.

"Maaf ..." Nafika mengatakan itu dengan kepala tertunduk saat Saga ada di hadapannya. Suara bahkan tubuhnya gemetar.

Tangan Saga terulur untuk memegang dagu Nafika, mengangkat kepala Nafika agar menatap matanya. "Apa pun boleh, asal jangan bohong."

Nafika masih mencerna maksud dari perkataan Saga. Tapi cowok itu lebih dulu menjatuhkan kepalanya di bahu Nafika. "Khawatir itu nyiksa, Fika. Jangan buat gua gini lagi."

Nafika makin tidak mengerti. Tubuhnya meremang saat pundaknya terasa basah. Nafika sedikit menoleh, rambut Saga tidak basah, jadi kenapa bahunya basah? Saga menangis?

"Saga, lo—"

"Diamlah. Biarin gua gini bentar." Saga menarik pinggang Nafika, memeluknya erat. Saga semakin membenamkan kepalanya di ceruk leher Nafika.

Kali ini tidak ada rasa bahagia karena di peluk Saga di hati Nafika. Sebaliknya dia malah bingung, kenapa Saga menangis? Apa dia benar-benar membuat Saga kerepotan karena berbohong?

"Saga maaf, gue janji ga bohong lagi, gue ga bakal ngerepotin—"

"Nyusahin aja, jangan mandiri. Gua ada memang buat lo." Lagi-lagi Saga memotong perkataan Nafika.

Nafika ingin menoleh, tapi tangan Saga menahan kepalanya. "Jangan liat."

"Lo nangis?" Nafika tidak tahan untuk bertanya.

"Ha? Mana mungkin." Saga melepas pelukan mereka. Menatap datar Nafika seperti tadi.

Nafika memperhatikan sudut mata Saga, ada bekas air mata disana. Tangannya terulur untuk menghapus jejak air mata itu. "Jangan nangis dong, yang nangis, 'kan harusnya gue."

"Ngomong apasih?" Saga menyetil dahi Nafika. "Gua ga nangis. Lo juga ga boleh nangis."

"Tapi yang bikin gue nangis, 'kan lo, gimana dong?" Nafika bertanya iseng.

"Yaudah, maaf."

Nafika mendengus. "Kek ga ikhlas banget."

"Maaf."

"Singkat banget." Nafika protes lagi.

"Maafin."

"Masa cuma nambah dua huruf aja? Masih singkat!" Nafika berseru jutek.

Saga menghela napas. Jika Nafika sudah mode keras kepala, dia tidak akan bisa menolak. "Maaf, Fika. Maafin abang lo ini."

Wajah Nafika berubah tak suka. Dia bukan tidak suka dengan permintaan maaf Saga, dia tidak suka Saga menyebut dirinya sebagai 'abang' Nafika.

"Gue ngga pernah mau lo jadi saudara gue, jadi jangan pernah bilang lo abang gue," kata Nafika serius.

"Tapi status kita saudara," balas Saga tersenyum kecut.

"Gue tinggal hapus nama lo dari kartu keluarga," ucap Nafika enteng.

"Ga semudah itu." Saga melewati Nafika, mematikan lampu kamarnya. "Tidur. Lo pasti capek."

Pintu kamar Nafika ditutup dari luar, dengan pemiliknya yang masih diam membeku. Dia bahkan tidak sempat bertanya pada Saga mengenai maksud dari potongan-potongan ingatan yang baru saja masuk ke dalam otaknya lagi.

-dear nafika-

Reo turun dari mobilnya, menyerahkan kunci mobil pada satpam untuk di bawa ke dalam garasi. Sedikit membingungkan karena penjaga di rumahnya bertambah, juga ada beberapa mobil di garasi.

Langkah Reo terhenti. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Sembari menggeleng, Reo masuk ke dalam rumah. "Ga mungkin dia pulang, 'kan?"

Saat masuk ke dalam rumah, para pelayan banyak yang berlalu lalang. Bahkan meja makan dipenuhi dengan makanan mewah. Rumah juga terlihat lebih istimewa dari biasanya.

Reo menghentikan salah satu pelayan. "Ini ada apa?"

"Itu Tuan Muda, Madam sudah kembali dari Jepang." Pelayan itu menjawab sambil membungkuk.

Tangan Reo terkepal, rahangnya mengeras. Kenapa 'dia' pulang lebih cepat dari yang dijadwalkan.

"Lalu? Apa pesan beliau untuk saya?" Reo kembali bertanya.

"Tuan Muda diperintahkan untuk ke ruangan kerja Madam." Pelayan itu menjawab lagi dengan posisi yang sama.

Reo menghela napas. "Sampaikan pada beliau, saya lelah dan ingin istirahat."

"Maaf, Tuan Muda. Madam bilang tidak bisa mentolerir penolakan untuk hari ini," jelas pelayan itu yang kini mengangkat kepalanya.

-TO BE CONTINUE-

Konflik makin panass kiww

Dear Nafika badbaby sist!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang