Farah menyeka kasar air matanya yang terus mengalir deras turun. Seolah belum puas Farah merendahkan Lahya, ia kembali berucap, "Aku hanya ingin kamu dapat yang terbaik Gus. Bukan perempuan bekas seperti Lahya."

"GUS-GUS WES-WES STOP!" takut Fathur menahan tubuh Alif.

"BERHENTI MERENDAHKAN LAHYA! DASAR PEREMPUAN TIDAK TAU DIRI. TIDAK PUNYA MALU! DIMANA ILMU AGAMAMU?"

Bugh!

Tubuh Alif tersungkur jatuh setelah menerima bogem mentah dari Azzam. Azzam datang tanpa aba-aba memukul rahang Alif yang telah membentak istrinya.

Awalnya Azzam tersenyum melihat Alif, Fathur, dan istrinya yang berada di luar ruang rawat Lahya. Namun setelah sadar bahwa Farah menangis dan Alif yang bersuara tinggi kepada istrinya, tentu saja Azzam naik pitam.

"Sek-sek. WOI NGKOSEK!" teriak Fathur mendorong tubuh Azzam. - Tunggu-tunggu, Woii tunggu!

"Dia bentak istriku sampai nangis Thur," ucap Azzam marah tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Alif menyentuh pipinya yang berdarah. Pipinya tergores oleh cincin yang Azzam pakai. Alif berdiri, lalu tersenyum kearah Farah. Kepala Alif geleng-geleng prihatin. Hanya karena cinta, Farah ingin hancurkan persahabatan mereka?

"Tanya dulu apa yang terjadi. Jangan main hantam. Gelap matamu Zam, ditutup setan." Fathur ikut emosi.

"Astagfirullahaladzim!" sebut Azzam mengusap kasar wajahnya. "Sebenarnya ada apa ini Gus? Kenapa sampean bentak istri saya?"

"Kamu tanyakan saja pada istrimu itu Zam, jika dia tidak malu untuk menceritakannya. Bahkan, mungkin malunya sudah hilang. Ingin meninggi dengan merendahkan perempuan lain."

"Gus!?" Lahya terkejut keluar ruang rawat dengan cairan infus yang di bawakan oleh Giandra.

Farah malu. Tidak tahu harus apa dan menjelaskan bagaimana. Perempuan itu pergi begitu saja. Dengan segala rasa sakit dan bersalah telah membuat Alif babak belur karena kesalahpahaman suaminya.

"Farah!" panggil Azzam mau tidak mau harus mengejar istrinya dan menyisihkan kekacauan yang sudah menjadi tontonon di lantai 5.

"Gus kenapa bisa jadi begini? Kenapa teriak-teriak?" tanya Lahya dengan mata berkaca-kaca khawatir.

Sakit bukan main saat Lahya menyetuh lebam di pipinya. "Tidak apa-apa. Kita masuk, ya?"

"Tapi-,"

"Masuk sayang, ya?" ajak Alif dengan senyum yang dipaksakan.

'-'-'-'

Keesokan harinya.

"Sudah?" tanya Alif melihat istrinya keluar dari bilik toilet.

"Pas gak di badan Lahya?"

"Bagus."

"Bukan bagus, tapi pas gak? Soalnya diet Lahya baru berhasil turun tiga kilo."

Alif mengayunkan tangannya agar Lahya mendekat.

"Memangnya harus banget dietnya?" tanya Alif seraya merapikan seragam pencak silat Lahya.

"Iya. Ini kalau Lahya gak lomba, juga males diet-dietan."

Infus Lahya sudah dilepas beberapa menit yang lalu. Ia harus memenuhi tanggung jawabnya untuk membawa nama SMA Tunas Bangsa ke provinsi. Meski latihannya dalam mempersiapkan perlombaan belum maksimal, bermodal nekat dan berani, ia harus siap.

"Bisa-bisanya tidur lagi habis subuh," cecar Lahya pada Giandra yang tertidur di sofa ruang rawatnya.

Alif terkekeh. "Semalam begadang main game," timpal Alif yang semalam begadang lagi, tapi kali ini ditemani Giandra.

ALIFWhere stories live. Discover now