23. Terlambat untuk berhenti

Start from the beginning
                                    

"Mama! Papa!" sapa Nafika ketika mereka memasuki rumah dengan wajah kelelahan. Meski begitu, mereka tetap tersenyum pada Nafika.

Aira mengecup dahi putrinya, mengelus surai panjang Nafika. "Kenapa belum tidur? Ini udah larut banget."

"Saga loh, Ma! Masa dia nyuekkin Fika?" adu Nafika dengan wajah ngambek. Seolah-olah dia sedang mengadu seperti anak kecil yang kehilangan permen.

Senyum Aira memudar. Wajahnya sedikit dingin dari sebelumnya, bukan karena kelelahan tapi karena alasan lain.

"Dimana Saga?" Dirga yang bertanya. Sambil melepaskan jas yang tadi ia pakai, beliau berjalan lebih dahulu.

Nafika mengekor bersama Aira. Mereka menuju meja makan. Bersamaan dengan itu, Saga yang sepertinya juga mendengar suara mobil ikut turun menyambut orang tuanya.

Melihat Saga yang mau keluar dari kamar membuat hatinya senang.

"Akhirnya mau keluar juga! Sebenarnya ngga baik tau ngurung diri di kamar, entar jadi tikus mondok," kelakar Nafika diakhiri tawa kecil. Tangannya masih merangkul Aira.

"Mama, Papa udah makan belum? Fika belum makan, Saga juga. Sekalian kita makan bareng, beberapa hari ini 'kan kalian sibuk banget jadi kita ga sempat makan bareng." Nafika menarik Dirga dan Aira duduk di meja. Meminta Bibi Dera menyiapkan makanan baru untuk mereka. Saga juga bergabung, tapi dia tidak mengambil kursi di sebelah Nafika seperti biasanya.

Aira duduk disebelah Nafika, dan Dirga duduk disebelah Saga. Mereka duduk dengan tenang seolah-olah mereka sudah mengetahui aturan duduk yang baru.

"Saga sebentar lagi ulang tahun, Mama sama Papa bakalan rayain kayak biasanya 'kan?" tanya Nafika menatap mereka satu persatu.

"Akan dirayakan, tapi tidak seperti yang sebelumnya," balas Dirga dingin. Tangannya terulur mengangkat secangkir kopi lalu menyeruput pelan.

Nafika menatap bingung Dirga. "Maksudnya?"

"Ulang tahun Saga yang kali ini akan dirayakan bersama para partner bisnis keluarga kita. Mengingat Saga sebentar lagi akan menjadi penerus, maka dia harus bisa berbaur dengan pewaris lainnya." Aira yang menjelaskan itu. Cara bicaranya juga berubah dingin, Nafika bisa melihat mata sayu ibunya menatap Saga tajam.

Nafika menoleh ke arah Saga yang terlihat tidak terkejut. "Kamu udah tau?"

"Tentu Saga tahu. Dia jelas sangat tahu apa yang harus dia bayar atas perbuatannya." Lagi-lagi Aira yang menjawab. Saga yang ada di sebelah Dirga hanya diam seribu bahasa sambil memakan makanannya.

Melihat itu Nafika merasa jengkel, tangannya terkepal. "Fika nanya sama Saga, Mama. Biar dia yang jawab."

"Buat apa? Dia sudah kehilangan haknya," balas Aira tenang. Tangannya meletakan kembali sendok, mendorong kursi ke belakang. Pergi dari meja makan.

Dirga juga sama. Makanan keduanya bersisa. "Datang ke ruangan saya, Sagara."

Begitu mengatakan itu pada Saga, Dirga pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun pada Nafika.

Bingung? Tentu Nafika bingung, tapi dia tidak mengerti situasi yang sedang terjadi itu. Mata Nafika menatap Saga yang menundukkan kepalanya. Tidak ada emosi dari cowok itu, semuanya seperti biasa saja.

Dear Nafika badbaby sist!Where stories live. Discover now