"Inikan anak yang di berita itu?"

"Kasihan ya ternyata."

"Buat apa kasihan sama cewek munafik kayak dia."

"Eh, tapi anaknya kayak gak tau apa-apa gitu."

"Kasihan jadi korban pedofil."

"Iya kasihan."

Hujatan, tatapan jijik, belas kasih, tatapan kasihan, terus berdatangan menyambut Lahya yang mulai kebingungan. Kenapa perasaan Lahya tiba-tiba saja tidak enak? Ada apa lagi ini? Masalah apa lagi yang pagi-pagi sudah siap menyerangnya?

"Lahya?" kaget Anggi menyembunyikan kertas-kertas dibelakang punggung setelah merobek paksa dari mading.

Anggi menepuk Rama yang masih sibuk menarik kertas-kertas yang berisi copyan berita sepuluh tahun lalu. Rama berbalik, wajah marahnya berganti kaget melihat Lahya yang memandangi mereka.

Lahya terpaku, manik matanya melihat satu kertas yang masih menempel di mading. Kertas itu luput dari Rama dan Anggi yang telah merobek kertas lainnya. Tubuh Lahya lemas, pundaknya jauh merosot turun. Mata Lahya berkaca-kaca. Air matanya tak terbendung lagi. Ia menangis membaca berita anak kecil yang menjadi korban pedofil di pasar malam sepuluh tahun lalu. Kertas itu sangat jelas hanya copyan koran lama.

Lahya menatap semua siswa yang sibuk berbisik-bisik. Antara tatapan jijik dan kasihan, Lahya tidak bisa membedakan dari mereka semua. Lahya mundur, tapi langkah kakinya menyeret salah satu kertas yang jatuh.

"Lahya!" panggil Rama karena Lahya berlari keluar gerbang.

Lahya berlari keluar sekolah. Ia lari sekuat tenaga. Lari dari orang-orang yang dengan jahat menyebarkan berita yang sudah merusak mentalnya selama ini. Tidak tahukah bahwa Lahya berusaha melupakan kejadian sadis itu? Tidak tahukan hampir setiap hari ia melawan rasa trauma akan masa lalunya? Tidak tahukah seberapa berat hidup Lahya dihantui bayang-bayang wajah pedofil itu?

Ya Allah bawa Lahya lari dari dunia yang menyakitkan ini. Ya Allah, Lahya bahkan rela jika Engkau mengambilnya hari ini dengan cara apa pun. Ia sudah muak dengan kehidupan yang tak pernah berpihak padanya. Hanya karena ia tahu bahwa Engkaulah yang selalu berpihak kepadanya. Jadi bawalah saja dirinya lari dunia ini. Ia ingin ikut bersama ibunya saja. Sebab, dunia terasa jahat setelah kepergian ibunya.

"IBU!" jerit emosi Lahya pada jalanan yang tengah ramai.

Semua pengendara yang ada berhenti menontonnya menangis, berlari sesegukan sepanjang jalan. Mungkin mereka sudah mengira bahwa dirinya gila. Memang. Lahya memang gila saat traumanya kembali. Ia akan gila mencari ibunya. Sampai ia bisa melihat ibunya ada di depan mata meski itu ilusi semata.

'-'-'-'

"Ibu, jemput Lahya sekarang ya, Bu? Lahya sudah tidak kuat lagi," pinta Lahya melihat ibunya duduk di samping nisannya sendiri.

"Ibu sakit Bu!" Lahya mencengkram tangannya bahkan mencakar tangannya sendiri tatkala bayangan menyakitkan di toilet pasar malam itu tak mau hilang dari otaknya.

Lahya memukul kepalanya sendiri berusaha menghilangkan bayangan menjijikan itu. Ia meraung sakit dan ketakutan di TMPK sendirian. Tidak tahu sudah berapa lama ia di TMPK sendirian sejak lari dan bolos sekolah. Ia bahkan sempat tertidur memeluk nisan ibunya. Ia kelelahan melawan bayang-bayang itu saat traumanya datang.

Ia tidak tahu sudah jam berapa sekarang. Ia juga tidak bisa memperkirakan hanya dengan melihat matahari. Sebab, matahari hari ini memilih bersembunyi di balik awan yang hitam pekat. Hujan pasti akan turun sebentar lagi. Apalagi angin sudah bertiup cukup kencang memberi peringatan.

ALIFWhere stories live. Discover now