35. Putri Emeraldina

6 3 5
                                    

“Mau ke mana?”

Kumasukkan ponsel dan buku catatanku ke dalam tas, berdiri, merapikan rokku yang sedikit kusut karena terlalu lama duduk, lalu tersenyum membalas pertanyaan Yudis.

“Aku mau ke depan dulu,” ujarku. “Mau cari inspirasi.”

Yudis kelihatannya mengerti, begitu juga dengan Sam dan Bobby. Sambil terus memainkan alat musik masing-masing, mereka menaikkan kedua alis, memberikan gestur setuju dan mempersilakan aku untuk beranjak dari ruang band.

Apa masih sempat?

Pentas seni tinggal sebentar lagi, sementara itu aku masih di sini dengan halaman yang masih putih bersih, kosong, tanpa ada apa pun yang tertulis di dalamnya.

Mungkin sudah nggak sempat. Nggak ada waktu untuk bikin aransemennya. Nggak ada waktu untuk latihan lagu baru. Lagu ketiga kami. Mungkin sebaiknya mereka cover lagu dari band lain saja. Nggak ada salahnya juga, kan?

Kuhela napas berat. Matahari tertutup awan sore ini. Walaupun begitu, angin yang berhembus terasa kering. Di lapangan, ada cowok-cowok berseragam olahraga yang sedang bermain voli. Mengoper, dan melemparkan bola ke seberang net.

Aku hendak duduk di bawah pohon di salah satu sudut lapangan itu. Akan tetapi, sudah ada satu cowok yang duduk di sana.

Cowok itu... aku ingat dia.

Aku nggak kenal dia siapa, tapi aku yakin aku pernah melihatnya di suatu tempat.

Aku ingat jelas aura aneh yang menyelimutinya. Warna putih yang menyilaukan. Keheningan di sekitarnya. Tatapannya. Dia hanya diam. Penampilannya rapi. Walaupun begitu, peri-periku seketika terbang menjauh ketika mata kami nggak sengaja bertemu.

Apa cowok itu menyadariku?

Apa dia tahu kalau aku memperhatikannya dari tadi?

Nggak, kan?

Ini buruk. Cowok itu terus menatapku. Dari ujung lapangan, dia melambaikan tangan seolah sedang menyapa dan menyuruhku untuk mendekat.

Bagaimana ini? Cowok itu temannya Ryan, kan? Si anak berandalan itu. Mereka satu geng.

Aku nggak boleh dekat-dekat dengannya. Aku nggak ingin mencari masalah. Akan tetapi....

“Udah, ke sana aja.” Ada satu peri yang berbisik di telingaku. Dia kelihatan baik, kan? Nggak kayak si Ryan itu.

“Bodoh!” Beberapa peri lain kelihatan nggak setuju. “Penampilannya doang yang baik, dalamnya kan kita nggak tau.”

“Benar tuh. Walaupun kelihatan kayak cowok  gitu, tetap aja dia itu teman satu geng sama Ryan.”

Sementara peri-peri di sekitarku terus beradu argumen, cowok itu masih terus melambaikan tangan. Aku nggak bisa lihat wajahnya dengan jelas dari tempat aku berdiri saati ini. Tapi, entah kenapa aku yakin banget kalau cowok itu sedang tersenyum lebar ke arahku.

“Aulia, jangan!” Gerombolan peri itu memperingatiku.

Aku nggak dengar. Pura-pura nggak dengar. Kututup telingaku rapat-rapat, lalu mulai melangkah menghampiri cowok itu.

Nggak seperti Ryan, aku nggak pernah dengar rumor-rumor buruk tentangnya. Siapa dia, apa saja yang pernah dia lakukan di sekolah, kenakalan seperti apa. Merokok di belakang sekolah? Tawuran dengan sekolah lain? Ikut balapan liar? Nggak. Nggak ada cerita seperti itu tentang dia karena mungkin memang dia nggak pernah melakukannya.

Cowok yang seolah berada di luar radar. Siapa dia?”

“Hai, Putri peri.” Dia menyapaku. Suaranya ringan dan terdengar ramah.

Aku maju selangkah lebih dekat. “Putri peri?”

“Putri Au Liara Emeraldina.” Cowok itu menundukkan kepalannya. “Sebuah kehormatan bisa bertemu denganmu. Perkenalkan, namaku Eruvia.”

Eruvia? Nama yang aneh untuk seorang cowok.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Kuperhatikan barang-barang di sekitar cowok itu. Sebuah tas sekolah berwarna hitam biasa, botol minuman yang tersisa setengah. Palet lukis yang penuh dengan cat berbagai warna, lalu kanvas kecil berukuran 15x15 yang menampilkan siluet seorang gadis yang belum selesai dilukis.

“Aku hanya mengisi waktu,” katanya.

“Boleh aku duduk?”

“Silakan.” Eruvia merapikan botol dan alat-alat lukisnya, membersihkannya sedikit, lalu bergeser untuk memberikan tempat yang nyaman untukku.

Aku berterima kasih, lalu duduk di sampingnya.

“Cewek itu... siapa?” aku bertanya. Akan tetapi, mataku fokus memandang sesosok gadis yang tergambar di dalam kanvas. “Keluargamu? Atau munngkin... orang yang kamu sayang?”

Eruvia menggeleng. “Cuma teman,” jawabnya. Dia menoleh, menatapku dengan matanya yang berwarna hitam legam. “Namanya Stella. Dia temanku yang sekarang tersesat di planet lain.”

“Tersesat di planet lain?”

“Benar. Hampir sama dengan apa yang kau alami sekarang ini.” Eruvai menyapukan kuasnya ke kanvas, mewarnai rambut gadis itu dengan warna biru gelap,  lalu melirikku dari ujung matanya. “Putri peri, kau juga sama, kan? Sekarang ini kau juga masih berputar-putar di dalam hutan belantara, tersesat tanpa arah tujuan yang pasti. Karena itu kau datang ke sini, menemuiku dan duduk di sebelahku.”

Aku... nggak tahu.

“Aku ke sini cuma untuk mencari inspirasi untuk menulis lirik lagu. Bukan karena hal lain. Aku nggak punya banyak waktu untuk itu.”

Kukeluarkan pulpen dan buku catatanku. Kubuka tepat di halaman tengah yang masih kosong. Sebuah lembaran baru yang belum terjamah oleh siapa pun.

Eruvia sesekali melirikku. Beberapa kali juga aku melirik dia dan kanvas putihnya yang perlahan mulai penuh dengan warna. Beberapa menit tanpa suara. Kami fokus dengan pekerjaan kami masing-masing hingga akhirnya aku menyerah dan membanting pulpenku ke tanah.

Nggak ada yang bisa kutulis. Nggak ada satu kalimat atau kata-kata apa pun yang muncul dari dalam kepalaku.

“Kau bisa membantuku?” Eruvia terlihat cukup pintar, jadi aku bertanya seperti itu padanya.

Akan tetapi, cowok itu menggeleng dan mengeluarkan mantra. “Aku tidak bisa,” katanya. “Merangkai kata-kata itu bukan keahlianku. Aku lebih suka mewujudkan kata-kata ke dalam bentuk persona yang bisa kulihat. Membuat majas dan metafora itu terlalu rumit bagiku.”

Kutundukkan kepalaku yang terasa berat. Sejak awal aku memang nggak yakin. Ini masalahku sendiri, lirik laguku sendiri, jadi nggak mungkin rasanya kalau aku bergantung dengan orang lain.

“Putri peri, angkat kepalamu. Tegakkan tubuhmu.” Eruvia menatapku. “Aku memang nggak bisa membantumu menulis lagu-lagu itu. Akan tetapi....”

Awan yang menutupi matahari sudah pergi. Cahaya hangat menerpa  wajahku yang tersembunyi di bawah ranting dan dahan-dahan pohon.

“Putri Au Liara Emeraldina, aku bisa membantumu keluar dari hutan.”

***

Promised Fairy (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang