3. Gadis Pengganggu

21 7 4
                                    

Ada banyak kenangan yang Ibu tinggalkan dalam diriku.

Mulai dari pagi, waktu Ibu membangunkanku dengan kecupan. Gorden jendela yang dia buka lebar-lebar, memaksa sinar matahari untuk masuk dan menerangi kamar. Wangi kopi yang dia buatkan untuk Ayah, juga harum roti bakar yang sudah siap menungguku di meja makan. Caranya mengendarai mobil yang pelan dan terlalu berhati-hati. Es krim yang kami nikmati sepulang sekolah. Ibu yang membantuku mengerjakan PR, mengajariku banyak hal yang nggak kumengerti. Hingga malam, sebelum aku tidur di balik selimut, ibu membacakan dongeng tentang peri-peri.

Tentang pasar malam. Sejauh aku bisa mengingat, aku pernah satu kali pergi ke pasar malam bersama Ibu dan Ayah. Entah umur berapa aku waktu itu, sudah masuk SD apa belum. Yang pasti, aku ingat hari itu kami tertawa lepas.

Di bawah langit malam penuh bintang dan kembang api yang bermekaran. Aku dan permen kapas di tangan. Ibu dengan minumannya. Lalu Ayah yang berjalan di belakang, membawa banyak barang termasuk boneka dan beberapa mainan yang kami beli dari kios-kios sekitar. Biang lala yang membawa kami ke atas awan. Komedi putar yang penuh cahaya kelap-kelip. Kereta-keretaan kecil dengan rel berlika-liku seperti roller coaster. Mesin capit boneka, permainan melempar bola. Itu malam paling melelahkan sekaligus paling menyenangkan yang tersimpan dalam ingatanku.

 Minggu depan pasar malam yang sama akan dibuka lagi.

Aku ingin pergi ke sana. Ingin, ingin, ingin banget!

Aku ingin mengenang kembali apa-apa saja yang pernah kulakukan bersama Ibu. Melihat kembang api, makan permen kapas, sampai naik biang lala. Satu hari paling menyenangkan yang pernah kulalui bersama Ibu. Aku ingin hari itu kembali.

“Plis, ya.” Aku memohon sambil menyatukan kedua tanganku di ruang band. “Izinin Yudis bolos latihan satu kali aja.”

Sam dan Bobby memperhatikanku. Teman-teman satu band Yudis itu mengerutkan kening. Bibir mereka terangkat, lalu nggak lama kemudian menyemburkan tawa.

“Santai aja, kali.” Sam menggenjreng gitar listriknya yang sudah disetem, lalu menyandarkan gitar merah kesayangannya itu di sebelah speaker. “Lo kayak nggak kenal kita-kita aja.”

Bobby yang duduk di belakang drum setnya terkekeh. “Kita juga bakal pergi ke sana, kok. Udah lama banget kan pasar malam kayak gitu nggak ada di kota ini.”

Seketika itu dadaku terasa ringan. Senyum kecil terbit di wajahku. “Kalian juga mau datang ke acara pembukaan itu?”

“Rencananya sih gitu.”

Aku menoleh, menatap Yudis yang duduk sambil mengeluarkan bas dari tasnya. “Kamu dengar itu, kan? Itu artinya kamu juga bakal pergi, kan? Ya kan? Ya kan?”

Nggak ada latihan band minggu ini, itu artinya Yudis sudah nggak punya alasan lain. Dia bisa menemani aku datang ke pasar malam itu. Kami bisa berangkat bareng, main bareng, persis seperti yang sudah kami janjikan waktu berangkat sekolah tadi pagi.

Batang bunga mawar yang menghubungkan kelingkingku dan kelingking Yudis bergerak lagi, meliuk-liuk, mengelilingi dan mengikat jari kami dengan erat.

Peri-peri kecil beterbangan, menaburkan bubuk-bubuk harapan di ujung kuncup bunga mawar. Tinggal satu mantra kecil. Satu mantra yang harus diucapkan Yudis agar bunga mawar yang menghubungkan hati kami itu bisa mekar sempurna.

“Iya, iya, gue janji.”

Warna merah seketika merekah di seluruh ruangan ini. Yudis sudah berjanji. Mantra yang dia ucapkan sudah terekam dan akan tersimpan selamanya di dalam kotak pandora yang dijaga oleh ratu peri.

Yudis nggak bisa mengingkari janji itu.

Yudis nggak bisa berbohong.

Apa pun yang terjadi, kami akan datang ke pasar malam itu bersama.

***

“Di dekat taman kota itu mau ada pembukaan pasar malam ya, Pa?” Wanita itu bertanya waktu kami duduk di meja makan. “Bisa nggak sih kita ke luar kotanya diundur aja?”

Pria tanpa wajah yang duduk di sebelah wanita itu menghembuskan napas berat. “Nggak bisa, Ma.” Aroma kopi hitam memenuhi ruangan, bercampur dengan angin malam dan siaran televisi yang menayangkan acara berita hari ini. “Pak direktur sendiri yang minta kita menangani klien itu.”

Wanita itu tampak kecewa. Dia memanyunkan bibir, lalu melahap makanannya tanpa selera. Sepertinya dia ingin pergi ke acara pembukaan pasar malam itu, tapi karena ada pekerjaan, wanita itu jadi nggak bisa datang.

Aku... nggak terlalu ambil pusing.

Kuhabiskan roti lapisku dalam diam. Kututup telingaku rapat-rapat, berusaha agar suara dua orang itu nggak masuk ke dalam indra pendengaran. Wanita tua yang mengaku sebagai ibu tiri dan menyebut dirinya sendiri dengan sebutan ‘mama’ itu. Juga pria tanpa wajah yang dia sebut ‘papa’. Dua orang itu bebas melakukan apa saja yang mereka mau asalkan nggak mengganggu dan mengusikku.

“Ah, padahal Mama pengen banget pergi ke pasar malam itu.” Wanita itu memutar bola matanya. Pandangannya beralih, menatap cewek seumuranku yang duduk di hadapannya. “April pengen pergi ke pasar malam  juga, nggak?”

Cewek itu memakan roti lapis isi telur makan malamnya dengan lahap, meminum es sari apelnya yang tinggal setengah gelas, lalu tersenyum lebar. “Pengen, sih. Tapi... kalau Mama sama Papa nggak bisa datang juga nggak apa-apa, kok.”

“Acara pembukaannya memang nggak bisa, tapi kalau besok-besoknya pasti bisa, kok.” Pria tanpa wajah itu berusaha menengahi. “Setelah Papa sama Mama pulang dari luar kota, kita sekeluarga ke pasar malam itu bareng, gimana?”

“Atau mungkin, kamu mau pergi ke tempat lain? pergi makan-makan di mall, misalnya?” Wanita itu bertanya, ingin memberikan pilihan lain untuk putrinya. “Atau ke taman hiburan yang lain? Ke Disneyland atau ke mana gitu?”

April menggeleng sambil terus mengunyah potongan roti lapisnya. Ke pasar malam itu aja, Ma. Aku pengen naik biang lala.”

Wanita tua yang duduk di hadapannya itu tersenyum, lalu mengusap kepala April dengan lembut. “Nanti, ya. Setelah Papa sama Mama pulang.

Dengan penuh semangat, April mengangguk. Dia kelihatan nggak keberatan kalau harus menunggu dan melewatkan acara pembukaan pasar malam itu. Namun, Pria tanpa wajah yang sedang menghabiskan segelas kopinya itu pemikiran lain.

“Gimana kalau... kamu ke pasar malam itu bareng sama Aulia aja?” Pria tanpa wajah itu menatapku. “Aulia, kamu bakal ke pasar malam itu bareng Yudis, kan? Ajak April sekalian, ya. Nanti papa kasih uang saku lebih buat kalian.”

Aku nggak menjawab. Aku masih fokus sama roti lapisku sendiri yang susah ditelan.

Pria itu... minta apa? Aku nggak salah dengar, kan?

Pria yang jari kelingkingnya terputus karena duri-duri mawar itu? Pria yang sudah kehilangan wajahnya karena terbakar oleh api suci para peri itu? Pria yang sudah mengingkari janjinya denganku itu...  mau aku berbuat apa?

Pergi ke pasar malam bareng April? Yang benar aja!

“Kamu mau kan, Aulia? Acara pembukaan itu pasti meriah banget. Sayang rasanya kalau April nggak bisa ke sana hari itu.”

Pria tanpa wajah itu memohon. Wanita yang duduk di hadapannya itu juga melakukan yang sama. Mereka melihatku dengan mata penuh harapan, mengabaikan status yang kami miliki di keluarga palsu ini, dan bertanya seolah aku ini seperti sosok kakak yang bisa diandalkan.

“Kami minggu depan akan ke luar kota. Ada pekerjaan. Kamu mau kan pergi ke pasar malam itu sama April?”

Aku nggak bisa. Aku nggak mau. Pasar malam itu seharusnya jadi tempat untuk aku mengenang masa laluku dengan Ibu. Aku nggak mau ada orang yang mengganggu, termasuk saudara tiriku yang manja itu.

***

Promised Fairy (Hiatus) Where stories live. Discover now