6. Matahari Terbenam

15 4 6
                                    

“Lia, kamu minggu depan jadi pergi ke pasar malam itu?”

Aku nggak ngerti kenapa April menanyakan pertanyaan yang bodoh banget seperti itu. Tentu saja aku tetap akan pergi. Mungkin bagi April atau sebagian orang, pasar malam itu kelihatan seperti acara untuk senang-senang biasa. Akan tetapi, bagiku nggak begitu. Pasar malam itu penting banget untukku.

“Kamu....” Aku ingin bilang ke April agar cewek manja nggak usah mengganggu. Dia boleh saja pergi ke pasar malam itu sendiri atau bersama teman-temannya yang lain asalkan nggak dekat-dekat denganku, nggak mengikutiku, dan nggak menampakkan wajahnya di hadapanku. Peri-peri bersayap api yang terbang di sekitarnya bisa membuat seluruh pasar malam itu terbakar, dan aku tentu nggak mau hal itu terjadi.

April tersenyum. Di kursi panjang dekat pos satpam tempat kami duduk saat ini, ada seekor kucing putih yang berjalan ke arah kami. April memainkan jarinya untuk memanggil kucing itu. Lalu saat sudah dekat, cewek manja itu mengelus bulu-bulu kucing tadi dan menaruhnya di pangkuan.

“Kamu pergi berdua aja sama Yudis.” Dia menatapku dengan mata yang sayu, seperti anak kecil yang mengantuk dan ingin cepat-cepat pergi ke kamar tidur. “Aku nggak jadi ikut,” katanya

Dahiku mengerut waktu mendengar hal itu. Aku senang kalau dia nggak jadi pergi ke pasar malam. Tapi, nggak tahu kenapa rasanya ada yang aneh.

“Kenapa?” aku bertanya. Aku ingat kemarin waktu makan malam, April bilang ke mamanya kalau dia ingin pergi ke pasar malam itu, ingin naik biang lala. Kenapa sekarang dia berubah pikiran.

April menggeleng. Kucing yang berguling di pangkuannya mengeong. “Nggak apa-apa.” Suara April terdengar sendu. Pelan banget, sampai rasanya hampir nggak bisa kudengar. “Aku nggak mau mengganggu kalian berdua.”

Cuma itu? Nggak ada alasan lain? Kalau begitu, bagus deh kalau dia sadar.

“Kalian berdua itu... mau pacaran, kan?”

Hah? Apa yang dia bilang? Seketika rasanya kepalaku kayak kejatuhan batu besar. Peri-peri beterbangan tanpa arah, berputar-putar seperti orang linglung yang nggak tau mau ke mana.

Kalian itu... maksudnya aku sama Yudis? Begitu yang April maksud?

Aku menggeleng kuat-kuat. “Nggak, nggak, nggak, nggak. Aku sama Yudis nggak pacaran!” Aku nggak ngerti kenapa April bisa berpikiran seperti itu. “Kami cuma sahabatan doang!”

April kelihatan terkejut. Bola matanya membesar, menatapku dengan pipi yang memerah, malu karena kesalahpahamannya sendiri. “Eh? Beneran? Kupikir kalian....”

“Nggak!”

Kupeluk buku catatan yang berisi lirik-lirik lagu itu lebih dalam. Peri-peri... aku nggak tau apa yang peri-peri kecil itu lakukan. Mereka beterbangan di sekitar wajahku, membuat pipiku terasa panas dan berwarna merah merona.

April yang duduk di sebelahku menundukkan kepalanya. Untuk memecah keheningan, cewek manja itu mengeluarkan satu mantra. Butiran-butiran air keluar dari tubuh peri-peri di sekelilingnya. “Kalian kelihatan dekat banget, jadi kukira kalian....”

“Nggak.” Aku menggeleng, lagi, lagi, dan lagi. “Bukan begitu.”

April terdiam untuk waktu yang cukup lama. Rasa canggung terasa pekat di antara kami.

Kucing putih itu turun dari pangkuan April, lalu berjalan ke arahku. Dia mengusap-usapkan kepalanya ke kakiku, seolah memintaku untuk mengusap bulunya juga. Aku nggak terlalu suka dengan hewan, jadi aku mengelusnya sedikit, lalu membiarkan kucing itu pergi nggak lama kemudian.

“Kamu... tetap nggak jadi pergi ke pasar malam itu, kan?” aku bertanya, mengembalikan obrolan kami ke topik yang semula.

April tersenyum lebar. “Aku jaga rumah saja. Papa-Mama ke luar kota, jadi nggak ada orang. Bahaya kan kalau ada maling yang masuk.”

Promised Fairy (Hiatus) Where stories live. Discover now