26. Binatang Buas

5 3 0
                                    

"Muka lo... kenapa, Sam?" Bobby yang lebih dulu bertanya, mewakili rasa penasaran kami semua.

Sam tetap menunduk, menyembunyikan ujung kelopak matanya yang membiru jauh di bawah bayang-bayang. Cowok itu jelas nggak mau menjawab, bahkan nggak mau memandang wajah kami. Sambil menghindari kontak mata, dia melangkah menuju rak gitar yang tersusun di sebelah sofa,

Apa yang terjadi?

Aku ingin bertanya, tapi nggak ada kata-kata yang berhasil keluar dari mulutku. Suaraku tertahan, teredam oleh kepak sayap peri-peri yang bergerak cepat.

Kulirik Yudis. Cowok itu sepertinya juga ingin menanyakan hal yang sama. Mau dilihat dari sudut mana pun, jelas ada sesuatu yang menimpa Sam. Seragam gitaris band kami itu kotor dan terlihat berantakan banget. Dasinya longgar dan hampir lepas. Kerah kemejanya kusut, seolah habis ditarik secara paksa oleh seseorang.

Dia berjalan seperti seorang mayat hidup. Pelan, dengan napas yang keluar dari mulut. Sam menenteng tas gitar di tangannya. Tas gitar itu juga kelihatan kotor banget. Penuh debu dan pasir, beberapa bahkan ada yang membentuk seperti jejak sepatu. Benda yang ada di dalamnya? Aku nggak tahu. Tas yang seharusnya berisi gitar milik Sam itu tampak sangat rapuh. Bahkan, rasanya aku bisa dengar bunyi kayu-kayu yang mengguncang satu sama lain ketika Sam berjalan.

"Ayo latihan," katanya. Sam meletakkan tasnya di atas sofa, lalu meraih gitar milik anggota ekskul band lain yang tersimpan di pojok ruangan.

"Jawab dulu pertanyaan gue!" Bobby terlihat sudah seperti kehilangan kesabaran. Tangannya mengepal kuat, dan matanya menatap tajam, meminta penjelasan dari Sam. "Itu mata lo lebam kenapa? Terus gitar lo itu juga kenapa?"

Perlahan Sam mengangkat wajahnya, membalas pertanyaan Bobby dengan senyuman. "Ini?" Dia mengusap ujung matanya yang membiru. "Cuma kepeleset doang tadi di kelas, terus kepentok meja."

Sam menggaruk kepalanya dan tertawa, seolah apa yang barusan dia bilang itu adalah sesuatu yang lucu. Akan tetapi, nggak ada satu pun dari kami yang ikut tertawa. Aku, Yudis, Bobby, dan Dita, hanya saling pandang, memenuhi diri kami sendiri dengan rasa ragu dan nggak percaya.

Kalau hanya karena terpeleset, nggak mungkin seragam Sam bisa sekotor dan seberantakan itu. Lebam di mata itu juga sepertinya nggak mungkin karena kepentok meja begitu saja. Lalu apa yang terjadi dengan gitarnya itu....

"Lo habis berantem, kan?" Bobby mendekat, memastikan nggak ada kebohongan lagi dari wajah sahabatnya itu. "Berantem sama siapa? Ryan, si cowok berandalan itu?"

Sam nggak menjawab. Tapi, dari sikap diamnya itu, kami tahu kalau apa yang dikatakan Bobby itu mungkin benar.

Selama ini, Sam nggak pernah punya musuh. Dia cowok baik yang suka berteman dengan semua orang. Nggak mungkin cowok seperti Sam terlibat dengan perkelahian, kecuali ada seseorang yang lebih dulu memulainya.

"Gue tadi nggak sengaja ketemu sama Clara di lorong." Sam mulai bercerita. "Gue suruh dia buat nggak usah deket-deket lagi sama Ryan."

Bobby menepuk jidatnya sendiri. "Lo masih mikirin mantan lo itu?" Dia bertanya, alisnya mengerut, penuh rasa heran. "Move on, Sam. Move on! Sampai kapan sih lo mau kayak gini? Biarin aja tuh cewek deket sama Ryan. Toh dia juga udah ninggalin elo, kan?"

Sam menggeleng. "Gue nggak bisa, Bob." Peri-peri memanas. Sayap-sayap mereka terbakar di antara dua cowok itu. "Gue emang nggak punya hubungan apa-apa lagi sama Clara, tapi tetap, gue masih sayang sama dia. Gue nggak mau dia kenapa-kenapa. Gue khawatir kalau dia deket-deket sama Ryan."

"Tapi nggak kayak gini juga, Bego!" Emosi Bobby sudah mencapai puncaknya. Bisa kulihat tubuh cowok bertubuh gempal itu mulai gemetar. Kuku-kukunya pun mulai memanjang, membentuk cakar tajam di balik telapak tangannya yang mengepal.

Satu hentakan kaki Bobby membuat seluruh isi ruang band itu bergetar. Cowok itu berbalik badan, matanya yang melotot menatap lurus ke arah pintu keluar.

"Lo mau ngapain?"

Sebelum Bobby melangkah, Sam sempat menahannya. Dia mencengkeram lengan Bobby, mencegah cowok itu beranjak dari tempatnya.

"Lepasin gue, Sam."

Sam nggak ingin melepaskan lengan Bobby. Walaupun begitu, tubuhnya yang sudah babak belur nggak punya cukup kekuatan untuk menahan amarah makhluk buas itu.

Bobby terus memberontak, mengguncangkan lengannya dengan membabi buta sampai akhirnya lepas dari cengkeraman Sam.

Yudis menghadang dari ambang pintu. Kedua tangannya terentang lebar, menghalangi jalan keluar Bobby. "Lo mau berante...."

"Minggir!"

Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Bobby mendorong tubuh Yudis sampai cowok itu hampir terjatuh dan terbentur ke sisi pintu. Untungnya, Yudis sama sekali nggak terluka.

Yudis dengan cepat bangkit, lalu mengejar cowok bertubuh gempal itu. Aku dan Dita pun mengikutinya.

"Udah, Bob. Udah." Dita memegangi lengan Bobby, tapi itu nggak cukup untuk membuatnya berhenti. "Balik ke ruang band aja, yuk."

"Dita bener, Bob," ujarku, berharap Bobby bisa mengerti. "Kekerasan bukan jawaban. Tenang, oke?"

Dengan cepat Bobby melirikku. "Tenang?" tanyanya. "Lo nyuruh gue buat tenang? Si Ryan itu sudah mukul sama ngehancurin gitar Sam, Lia. Cowok itu udah kelewatan. Kita nggak bisa biarin dia seenaknya kayak gitu."

"Aku tahu. Tapi kan...."

Langkah Bobby semakin cepat. Ledakan emosi sudah membuat cowok itu kehilangan akal.

"Terus lo mau apa?!" Nada suara Yudis ikut meninggi. "Lo mau balas dendam? Nggak bakal bisa, Bob. Lo nggak bisa berantem. Yang ada entar lo malah ikut babak belur kayak Sam."

Akan tetapi, Bobby sepertinya nggak peduli. Dia terus berjalan, suara hentakan kakinya memenuhi lorong. Dia nggak bisa dihentikan sekeras apa pun kami mencoba. Yang ada malah tubuhnya semakin membesar. Rambut dan bulu-bulu di sekujur tubuhnya memanjang. Cakarnya menghitam, dan taring mencuat dari balik bibirnya. Ketika sampai di ujung lorong, cowok itu sudah sepenuhnya berubah menjadi beruang.

"Ini buruk." Kudengar Yudis bergumam.

"Gimana ini?" kedua tangan Dita gemetar. Air mata menggenang di ujung kelopak matanya. "Aku nggak mau Bobby kenapa-napa."

Aku tahu. Aku juga sama.

"Aulia, pergi ke ruang guru sekarang!" Yudis menyuruhku. Mata kami bertemu. Dia menatapku dengan penuh rasa percaya. "Kita nggak bisa berhentiin Bobby. Kita perlu guru buat melerai perkelahian mereka."

Aku mengerti. Mungkin itu memang satu-satunya solusi agar Bobby nggak jadi balas dendam dan berantem dengan Ryan.

Aku mengangguk. "Kalau gitu kalian jagain Bobby. Aku panggil guru sebentar."

Yudis menyetujuinya. Dita juga sama.

"Hati-hati." Aku dan Yudis mengucapkannya dengan bersamaan.

Di ujung lorong, aku belok ke koridor kanan, meninggalkan Yudis dan menuju tempat ruang guru berada.

Aku berlari secepat yang aku bisa, menerobos murid-murid lain yang baru saja keluar dari kelas dan ingin pulang ke rumah.

Yudis mempercayaiku dan aku berjanji.

Aku akan memanggil guru, lalu menghentikan amukan Bobby sebelum hal-hal buruk terjadi cowok itu.

***

Promised Fairy (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang