14. Aurora

13 3 7
                                    

Sampai sekarang, aku nggak ngerti kenapa Sam dan Clara bisa putus.

Mereka memang bukan tipe pasangan yang suka mengumbar kemesraan di tempat umum. Mereka nggak pernah bergandengan tangan sewaktu jalan ke kantin, jarang berbagi makanan, dan posisi duduknya pun nggak terlalu dekat satu sama lain. Daripada disebut pasangan, kurasa hubungan Sam dan Clara itu lebih cocok kalau disebut teman dekat.

Satu-satunya momen yang menunjukkan kalau mereka itu punya hubungan istimewa itu ketika Sam menyanyikan lagu untuk Clara. Aku masih ingat. Walaupun cewek itu jarang banget menemani Sam latihan, tapi dia pernah beberapa kali datang ke ruang band.

Sepulang sekolah, entah hari apa itu, aku ingat Sam berdiri di hadapan Clara. Petikan gitarnya selembut bulu angsa. Melodi yang penuh warna membuat waktu serasa berhenti. Mawar bermekaran di seisi ruangan, burung merpati putih melebarkan sayapnya lebar-lebar. Peri-peri menari di udara, menyambut kedatangan dewi Aphrodite yang turun bersamaan dengan para cupid.

Di bawah cahaya surga sore itu, hanya ada satu sosok yang berada dalam kilau mata Sam. Satu gadis berambut panjang yang nggak bisa lepas dari penglihatan cowok itu. Dia yang selalu membuat Sam tersenyum ketika sedang menyanyikan lagu.

Clara...

Aku nggak ngerti apa yang ada di pikiran cewek itu.

“Bosan,” katanya. Sam menceritakannya padaku.

Clara yang nggak terlalu tertarik dalam dunia musik, lama-kelamaan bosan dengan hubungan mereka. Dia bosan menemani Sam di ruang band. Bosan mendengar nada-nada yang terasa sama setiap harinya. Cewek itu ingin jalan-jalan, kencan ke tempat-tempat yang romantis seperti teman-teman dia yang lain. Apa yang Sam berikan padanya di ruang band itu baginya bukan sesuatu yang spesial.

“Walaupun begitu....” Kulihat tangan Sam mengepal erat, menggebuk pahanya sendiri berkali-kali. “Kenapa, sih?! Kenapa dia malah jadian sama cowok brengsek itu?!”

Kutepuk dan kuusap punggung cowok itu, berusaha untuk membuatnya lebih tenang. Tanpa kata. Tanpa komentar. Kubiarkan Sam meluapkan emosinya.

Peri-peri bersayap merah terbang tanpa arah, lalu hilang begitu saja ditelan kegelapan malam.

“Gue nggak masalah kalau Clara jadian sama siapa aja. Tapi ya, jangan sama si Ryan itu juga.” Pukulan Sam berhenti, tapi tangannya masih tetap terkepal. Tatapannya kosong, memandang ke arah tanah. “Cowok brengsek kayak Ryan itu... nggak pantas buat Clara.”

Aku mengerti.

Walaupun aku nggak bisa merasakan bagaimana rasa sesak dan sakit hatinya Sam saat ini, tapi aku paham. Rasanya dada yang seperti terbakar. Aku juga merasakan hal yang kurang-lebih sama waktu aku melihat Ayah pertama kali mengenalkan wanita tua itu padaku. Juga saat Yudis....

Yudis yang lebih memilih untuk menemani April di rumah sakit ketimbang pergi ke pasar malam denganku itu....

Sakit, sih. Tapi, apa rasa sesak yang kurasakan karena Yudis itu sama dengan apa yang saat ini Sam rasakan?

Kami yang sama-sama terbakar api kekecewaan. Nggak, seharusnya Sam yang lebih sakit saat ini. Clara, orang yang dia cintai pergi berkencan dengan cowok lain, cowok brengsek yang Sam nggak suka. Sementara itu aku. Yudis hanya menemani April yang sedang sakit. Memang benar aku nggak suka sama saudara tiriku itu, tapi kan...

Aku... nggak tahu lagi apa yang sedang kupikirkan. Semuanya berputar-putar seperti seorang peri kecil yang terjebak di dalam labirin.

Bangun, Aulia, bangun! Kamu datang ke pasar malam ini buat bersenang-senang, kan? Kamu ingin mengenang kembali apa-apa saja yang pernah kamu lakukan dengan Ibumu.

Promised Fairy (Hiatus) Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon