23. Pulang

7 3 6
                                    

Sore ini April pulang dari rumah sakit. Entah kebetulan atau bukan, pria tanpa wajah dan wanita tua itu juga baru saja pulang dari pekerjaan mereka yang berada di luar kota.

“Terima kasih karena sudah menjaga putri kami.” Wanita tua dengan blazer berwarna biru tua itu menundukkan kepalanya di hadapan ibu dan ayah Yudis.

“Sama-sama, Bu.” Senyum Ibu Yudis melebar. “Saya senang bisa membantu.”

Wanita tua itu meraih satu tas belanja yang ada di atas meja, lalu memberikan seluruh isi tas itu ke Ibu Yudis. “Ini oleh-oleh,” katanya. “Tolong diterima.”

“Nggak usah repot-repot, Bu.” Walaupun awalnya Ibu Yudis terlihat sungkan, tapi ia tetap menerima bingkisan itu dengan senyum yang terbuka lebar.

Aku dan Yudis berdiri sambil bersandar di salah satu dinding, membiarkan para orang tua berinteraksi satu sama lain. Sepulang sekolah kami langsung datang ke sini, jadi kami masih memakai seragam lengkap yang sudah agak lusuh terkena keringat.

Peri-peri bersayap merah beterbangan. Api kecil yang keluar dari sayap mereka membakar, tapi panasnya nggak cukup kuat untuk menghanguskan apa yang ada di hadapanku. Rasanya seperti berdiri di tengah lapangan tandus saat siang bolong. Sejauh ini aku bisa menghiraukannya dan bersikap seolah nggak terjadi apa-apa.

Yudis juga nggak banyak berkomentar. Cowok itu nggak banyak mengobrol dengan April hari ini dan entah kenapa hal itu membuatku sedikit merasa senang. Dia bersandar dalam diam, menggerakkan ibu jarinya naik-turun untuk melihat-lihat media sosial yang terpampang di layar ponsel.

Angin sore berembus pelan memasuki celah-celah jendela. Untuk melawan kebosanan, aku sesekali mengintip apa yang dilihat Yudis dalam ponselnya itu. Beberapa video lucu, video kucing, video singkat dari konser band-band favoritnya. Foto-foto bass model terbaru dari akun toko musik yang dia ikuti. Lalu ada juga foto dan video dari teman-teman sekolah.

“Itu....” Kulihat ada seseorang yang cukup familier. “Itu Ryan, kan?”

Kutunjuk salah satu foto yang muncul di layar. Seorang cowok dengan wajah tengil, bergaya di hadapan motornya yang sudah dimodif sedemikian rupa. Kelihatannya cukup ramai. Ada beberapa orang juga yang terlihat, tapi aku nggak kenal siapa. Penampilannya seperti remaja berandalan, ada yang rambutnya disemir dengan warna-warna yang mencolok, ada juga yang punya tato di sekujur lengannya. Juga satu lagi yang nggak luput dari penglihatanku, ada Clara. Mantan pacarnya Sam itu juga ada di sana.

“Kayaknya mereka habis balapan kemarin.” Yudis menebak-nebak. Matanya melirikku.

Kulihat tanggal di-upload-nya foto itu. Tepat jam satu pagi ini. Jadi memang kemungkinan balapan dan foto diambil kemarin malam atau mungkin kemarinnya lagi setelah Ryan dan Clara pulang dari pasar malam.

Kudengar napas berat keluar dari mulut Yudis. Peri-peri yang terbang di sekeliling cowok itu juga ikut menggeleng, nggak habis pikir dengan apa yang terlihat di layar.

“Semoga aja Sam nggak ngelihat foto-foto ini, deh.”

Aku mengangguk, menyetujuinya. “Sam pasti sedih banget ya kalau lihat Clara bergaul sama cowok-cowok kayak gitu.” Aku ingat saat di pasar malam, Sam kelihatan emosi banget waktu melihat Clara dan cowok tengil itu jalan bareng.

“Gue nggak ngerti apa yang ada di pikiran cewek itu.” Yudis lanjut menggeser layar ponselnya, menampilkan foto-foto dari akun lain. “Padahal Sam dulu tuh sayang banget sama Clara. Eh, tapi cewek itu malah ninggalin Sam demi cowok petakilan itu.”

“Aku juga nggak ngerti kenapa bisa begitu.”

Saat aku dan Yudis sedang mengobrol, bisa kulihat wanita tua dan pria tanpa wajah itu mulai bersiap-siap. Mereka berbincang dengan dokter untuk memastikan kondisi April sekali lagi, mengemasi barang-barang cewek manja itu, lalu segera mengurus persiapannya untuk pulang ke rumah.

Pria tanpa wajah itu sudah menyiapkan kursi roda di dekat pintu. Dengan di bantu oleh si Wanita Tua dan Ibu Yudis, April bisa beralih dari tempat tidur menuju kursi roda itu tanpa kendala.

 Sudah waktunya.

Pria tanpa wajah itu menoleh ke arahku. Aku mengerti. Yudis juga sepertinya mengerti. Kami berdua melepaskan punggung kami dari dinding, lalu bergegas untuk pulang juga mengikuti mereka.

Di area parkir, awalnya April kesulitan untuk masuk mobil. Kepalanya terbentur atap pintu beberapa kali hingga akhirnya dia berhasil duduk di kursi belakang. Wanita tua itu duduk di sampingnya.

“Aulia, kamu mau pulang naik mobil bareng kami?” Wanita tua itu bertanya. Senyumnya melebar ketika mata kami bertemu.

Kulihat kursi depan masih kosong. Hanya ada tas kerja dan beberapa barang bawaan April. Pria tanpa wajah itu meminggirkan barang-barang itu, seolah mempersilakan untuk masuk dan memberikan tempat duduk untukku di sana.

Akan tetapi, aku menggeleng. “Aku bareng Yudis aja.” Nggak perlu pikir panjang untuk aku bisa membuat keputusan itu. Aku datang ke sini dengan Yudis, jadi aku juga harus pulang dengannya.

Kulirik Yudis. Cowok itu sepertinya juga nggak keberatan.

“Kalau gitu, hati-hati di jalan ya, Yudis, Aulia.”

Kami berdua mengangguk, mengucapkan hati-hati juga kepada mereka. Mesin mobil menyala. Kaca jendela perlahan tertutup. Nggak lama kemudian, mobil yang berisi keluarga palsuku itu pun keluar dari area parkir rumah sakit.

“Kami juga pulang dulu, ya.” Ayah dan Ibu Yudis melambai dari dalam mobil mereka. “Yudis, hati-hati.”

“Aulia, kalau Yudis ngebut, cubit aja hidungnya.”

Aku tertawa. “Siap, Om.” kuangkat telapak tanganku lurus ke atas alis, bersikap seperti sedang hormat upacara. Ayah Yudis terkekeh.

Yudis menggerutu. “Bisa-bisa gue nih yang gantian masuk rumah sakit.”

“Apa yang kamu bilang?”

“Nggak. Bukan apa-apa.” Cowok itu menggaruk kepalanya, membuat rambutnya terlihat semakin berantakan. “Lagian cuma naik sepeda doang, mana bisa ngebut.”

“Yang penting hati-hati.” Ibu Yudis tersenyum. Peri dengan sayap emas membuat senyum itu terlihat hangat. “Jangan sampai Aulia kenapa-napa.”

Yudis menghela napas. “Iya, iya,” katanya.

“Ya sudah.” Ayah Yudis mengakhiri obrolan. “Kami pulang dulu, ya.” Beberapa menit selanjutnya, mobil keluarga Yudis itu pun keluar dari area parkir.

Ayah dan Ibu Yudis selalu baik kepadaku. Sejak dulu Mereka selalu memperlakukanku seolah aku ini anak kandung mereka sendiri. Mereka nggak keberatan kalau aku sering bermain di rumah mereka, entah itu hanya bermain ayunan di halaman depan atau bermain petak umpet di dalam rumah. Benar-benar keluarga yang hangat. Sekalipun aku nggak pernah dengar Yudis mengomel atau berkomentar buruk tentang keluarganya itu.

Kadang, aku sampai iri dengannya.

***

Promised Fairy (Hiatus) Where stories live. Discover now