13. Api di Atas Es Krim

9 4 9
                                    

Pasar malam ini... ramai banget, Bu.

Ibu lihat, kan? Kalau dibandingkan dengan pasar malam yang kita datangi dulu, sepertinya yang ini jauh lebih ramai, deh. Pengunjungnya banyak, rasanya hampir seisi kota datang ke sini malam ini. Pedagang-pedagang yang berjualan juga nggak kalah banyak. Mereka menghias kios-kios mereka dengan lampu-lampu yang cantik. Aku beli sebungkus permen kapas di kios itu, permen kapas yang sama seperti yang dulu ibu belikan untukku.

Ibu, masih ingat kan rasanya bagaimana?

Rencananya, nanti aku juga akan naik komedi putar dan biang lala, bareng sama Sam, Bobby dan Dita. Nggak apa-apa, kan, Bu?

Aku ingat Ibu dulu pernah bilang kalau Ibu itu takut naik biang lala. “Gimana nanti kalau jatuh?” atau, “Gimana nanti kalau mesinnya mati, entah karena kehabisan bahan bakar atau masalah teknis lainnya, lalu kita terperangkap di atas biang lala yang tinggi itu?”

Ibu yang awalnya ketakutan dan kukuh banget itu akhirnya luluh ketika aku terus memaksa. Setelah berdiri di antrean yang panjang, Ibu, aku, dan Ayah pun dapat giliran. Biang lala itu naik dengan perlahan. Aku duduk di pangkuan. Bisa kuingat hangatnya tangan Ibu yang memelukku malam itu.

Semuanya masih tersimpan dengan jelas, terekam sempurna di dalam ingatanku. Pemandangan kota yang kulihat di pucuk paling atas biang lala, rumah-rumah dan orang-orang di bawah yang terlihat kecil seperti semut. Gedung-gedung yang jauh. Kendaraan-kendaraan di jalan raya. Semua terlihat berbeda dari atas sana.

Ibu suka dengan pemandangan itu, kan?

Aku ingat senyum Ibu ketika menunjuk-nunjuk ke luar jendela. Waktu itu Ibu bertanya, “Gedung yang di sana itu tempat Ayah kerja, kan?” Dengan alis yang terangkat, Ibu menoleh menatap Ayah.

Ayah menjawabnya dengan senyum dan anggukan. “Kelihatan kecil banget ya kalau dilihat dari sini.”

“Padahal harusnya besar banget kan, Yah? Lima belas lantai?”

Sebelum Ayah menjawab pertanyaan Ibu itu, aku lebih dulu menanyakan hal lain. “Kalau rumah kita di mana, Bu? Aku mulai menunjuk arah kota secara asal. “Di situ, atau di sebelah situ?”

Ayah mendekatkan wajahnya ke jendela, berusaha untuk mengamati lebih dekat. “Mungkin di sekitar sana.” Dia menunjuk satu titik yang kelihatan sedikit gelap. Area perumahan tempat kami tinggal memang sedikit jauh dari pusat kota. Nggak banyak kendaraan atau gedung-gedung. Hanya rumah-rumah sederhana dengan lampu-lampu jalan yang seadanya, jadi nggak heran kalau area perumahan itu terlihat gelap kalau dilihat dari atas biang lala.

Rumah....

Oh iya, Bu. Kemarin, wanita tua yang dinikahi Ayah itu memasang foto pernikahan mereka di rumah. Bukan cua foto, tapi perabota-perabotan lain juga. Mereka memindahkan barang-barang lama Ibu ke gudang, lalu menggantinya dengan barang-barang baru?

Bagaimana... perasaan Ibu?

Kalau aku... aku nggak bisa, Bu. Peri-peri yang terbang di sekelilingku langsung mengeluarkan api ketika melihat hal itu. Setiap kali meliihat foto mereka di dinding dekat tangga, rasanya panas banget. Sesak.

Rumah yang dulu milik kita. Milik aku, Ibu, dan Ayah. Sekarang sudah jauh berubah. Nggak ada lagi foto Ibu yang bisa kulihat. Nggak ada lagi perabotan milik Ibu yang bisa kurasakan. Aroma-aroma yang ibu tinggalkan di barang-barang itu, sekarang semuanya sudah nggak ada. Semunya sudah menyatu dengan udara gudang yang penuh kotor dan penuh debu.

Ibu... nggak apa-apa, kan?

Maaf, aku nggak bisa berbuat apa-apa.

Aku cuma bisa melihat dan mengutuk mereka dalam diam.

Promised Fairy (Hiatus) Where stories live. Discover now