4. Kurcaci Pencuri

21 6 11
                                    

“Nggak ada salahnya juga, kan?” Yudis mengalihkan pandangannya dari jendela, lalu menoleh, menatapku dengan tangan menopang dagu. “Toh kalau banyak yang ikut, kan makin seru.”

Aku berdecih. Mood-ku sudah buruk sejak kemarin malam dan sampai sekarang rasanya masih sama. Aku tetap nggak mau pergi ke pasar malam bareng April.

Dia nggak bisa ke sana sendiri, apa? Bareng teman-temannya sendiri atau siapa gitu yang dekat sama dia?

Kenapa harus aku?

Karena aku ini saudara tirinya? Bodoh banget!

Ini juga si Yudis, kenapa sih dia malah setuju dan nggak keberatan kalau April ikut ke pasar malam bareng? Padahal kan dia tahu kalau aku nggak suka sama cewek manja itu.

“April nggak salah apa-apa,” katanya. “Kenapa sih lo benci banget sama dia?”

Aku nggak ngerti apa yang ada di pikiran Yudis waktu dia bertanya seperti itu. Bukannya sudah jelas, ya. April sama mamanya itu orang asing yang nggak kukenal. Mereka yang tiba-tiba masuk ke dalam rumahku, seenaknya mengaku dan mengklaim diri mereka sebagai keluargaKU yang baru. Mereka yang duduk di meja makan yang sama dengan yang ibu gunakan dulu, tidur di bawah atap yang sama, menerima cinta yang seharusnya Ayah berikan untuk Ibu.

Cewek itu. Wanita itu... pencuri. Kurcaci-kurcaci hijau menjijikkan yang suka mencuri emas dari keluarga peri.

Tentu saja aku benci mereka. Aku benci, benci, benci, benci, sampai rasanya aku ingin kabur dan keluar dari rumah itu agar aku nggak perlu melihat wajah mereka lagi.

“Lo terlalu berlebihan, Lia.” Yudis melirik April yang sedang duduk sendirian di pojok kelas. “Gue ngerti lo belum ikhlas ayah lo nikah lagi, tapi sekarang Lo sama April sudah saudaraan. Kalian sudah jadi keluarga.”

Aku dan Yudis memang sudah berteman sangat lama. Kami tumbuh di lingkungan kompleks yang sama, berayun di ayunan yang sama, dan berlari di bawah hujan yang sama juga. Aku hafal banget sifat dan kebiasaan-kebiasaan Yudis, tentang mainan favoritnya, makanan yang dia benci, ketakutannya terhadap serangga, hingga kecintaannya terhadap musik. Sebaliknya, cowok itu juga hafal tentang kepribadianku. Tentang apa-apa saja yang sering membuatku jengkel sampai rasa es krim kesukaanku. Akan tetapi, untuk masalah kali ini...

Kamu nggak ngerti apa-apa, Dis.

Kamu nggak ngerti sesakit apa rasanya waktu aku lihat Ayah berdiri di altar waktu itu. Ayah yang memasangkan cincin ke jari manis wanita asing itu, mengobrol dan duduk berdua di ruang tamu, memasak dan membuat kue bersama di dapur, bersikap seolah sejak awal nggak ada Ibu di dalam kehidupan Ayah.

Kamu yang masih punya keluarga lengkap, Ayah dan Ibu kandung yang masih mencintai satu sama lain, nggak akan pernah ngerti apa yang aku rasakan, Dis.

“Lagian, kenapa kamu sekarang jadi belain si April itu, sih?!” kutatap tajam mata Yudis, mencoba menelisik apa yang ada dalam kepalanya. “Kamu ini temannya siapa sih? Temannya aku atau April?”

Yudis memundurkan sedikit punggungnya, mencoba menjaga jarak dari tatapanku. “Lo tuh temen gue, Lia. Tapi April juga temen gue. Kalian tuh sama. Nggak ada bedanya.”

Aku seketika mengernyit, sama sekali nggak paham apa yang barusan Yudis bilang. Aku dan April itu... sama, di mata Yudis? Yang benar aja. “Aku sudah temanan sama kamu sejak kecil, Dis. Sementara itu, si April. Dia baru pindah sejak Ayah menikah seminggu yang lalu. Kamu belum tahu dia orangnya seperti apa.”

“Itu berarti lo belum tahu juga, kan?”

Aku...memang sejak awal nggak berencana buat dekat sama April. Aku nggak pengen kenalan, apalagi dekat dan berteman sama cewek manja itu. Nggak. Nggak sama sekali.

“Kayaknya gue bener, deh” Senyum miring timbul di wajah Yudis. “Skincare lo lagi habis, ya?”

Aku sontak memukulkan kepalan tanganku ke bahunya. Tapi bukannya kesakitan, cowok itu malah ketawa.

“Habisnya, lo dari tadi marah-marah mulu, sih.”

Melihat pukulanku nggak mempan, kucoba cara lain agar dia jera dan nggak mengalihkan obrolan seenaknya. Kurapatkan ujung jari telunjuk dan ibu jariku, membentuk seperti capit kepiting, mencubit lengan Yudis yang dia tinggalkan di atas meja. Peri kecil membantuku, Api di sayapnya membuat cubitanku terasa lebih panas daripada yang biasanya.

Cowok itu mengaduh kesakitan sambil mengibas-ngibaskan tangannya yang mulai memerah. Dia mengucapkan mantra berkali-kali. Peri-peri kecil muncul, beterbangan sambil mengeluarkan butiran-butiran air hingga cubitanku lepas dan Yudis bisa merasakan lengannya kembali.

“Lo ini, ya!” Yudis menatapku dengan garang. Tangannya bergerak cepat, mengusap-usap bekas merah yang kutinggalkan di lengannya itu. “Dari dulu sampe sekarang sama aja, nyubit-nyubit mulu kerjaan lo.”

Kukeluarkan lidah untuk mengejek. “Biarin.” Kekehan kecil keluar dari tawaku. “Kamu duluan kan yang mulai.”

Yudis berdecih. Dia nggak bisa membalas perkataanku.

Bel tanda masuk kelas berbunyi tepat pukul tujuh. Teman-teman yang tadinya bermain dan berbincang di luar kelas segera masuk dan duduk di bangkunya masing-masing, bersiap untuk jam pelajaran pertama.

Dalam kurun waktu itu, mataku nggak sengaja melirik April. Cewek itu sudah siap dengan buku dan alat-alat tulisnya. Duduknya tegak, tangan terlipat rapi di atas meja.  Rambutnya yang sebahu dia biarkan terurai, rapi dengan jepit kecil berwarna merah yang menelisik di atas telinga.

Dia... masih belum punya teman?

Sudah seminggu lebih sejak pria tanpa wajah itu menyuruh April pindah ke sekolah ini. Aku pernah lihat dia mengobrol sama cewek yang duduk di depannya. Cuma beberapa kali, dan rasanya itu juga bukan obrolan yang panjang. Mungkin cuma tanya ini-itu, kenapa dia pindah dan semacamnya. Saudara tiriku itu juga sepertinya jarang pergi ke kantin. Aku pernah dengar ada beberapa teman sekelas yang mau mengajak April ke kantin bareng, tapi dia menolaknya dengan alasan sudah dibuatkan bekal oleh Mama.

Peri-peri berkumpul di sekeliling cewek itu, api di sayap mereka menyala kecil, seperti kunang-kunang di padang rumput malam hari. Api peri itu nggak cukup untuk membuat April terbakar. Akan tetapi, rasa panas dan cahaya yang menyilaukan mata itu cukup untuk membuatku berpaling, menjauhkan cewek manja itu dari penglihatanku.

***

Promised Fairy (Hiatus) Where stories live. Discover now