11. Api Yang Membakar Menara

7 4 4
                                    

Aku masih nggak bisa percaya dengan apa yang baru saja cowok itu katakan.

Yudis... benar-benar akan mengingkari janjinya denganku?

Jari kelingkingku sakit. Batang mawar menjalar keluar dari ujung kuku, duri-durinya merobek kulit. Darah menetes dari satu titik, mewarnai lantai lorong rumah sakit itu dengan warna merah. Di sekelilingku, peri-peri terbakar. Panasnya menyengat, membuatku ingin segera lari ke suatu tempat yang jauh, lalu meringkuk di dalam kegelapan.

Di hadapanku, Yudis seharusnya juga merasakan hal yang sama.

Duri-duri mawar melilit tubuh Yudis dengan sangat erat. Bisa kulihat baju dan kulitnya terkoyak, terbakar oleh api. Darah-darah bercucuran memenuhi lengan cowok itu. Walaupun begitu, Yudis masih kelihatan baik-baik saja. Wajahnya tenang dan cenderung datar, seolah nggak terjadi apa-apa. Wajah yang sama seperti yang kulihat dulu waktu Ayah menikah dengan wanita tua itu.

Wajah seorang pembohong.

Aku ingin membakarnya. Ingin, ingin, ingin mata dan hidung cowok itu leleh, atau hangus tak bersisa. Seharusnya aku bisa melakukan itu kan? Aku bisa membakar tubuh Ayah di pernikahannya waktu itu. Aku bisa menghilangkan wajahnya dan membuatnya menjadi pria tanpa wajah yang sekarang ini tinggal di rumahku. Kalau aku bisa melakukan itu kepada Ayah, seharusnya aku bisa melakukan hal yang sama kepada Yudis.

Lalu kenapa? Kenapa sekarang cowok itu nggak hangus?

Kenapa tubuh Yudis masih utuh, nggak menjadi abu seperti yang kumau?

Apa sayap dari peri-peri itu kurang panas?

Apa amarah dan rasa kecewaku masih kurang?

Atau mungkin.... karena peri bersayap bunga yang beterbangan di sekitar Yudis itu?

Kenapa aku nggak bisa membakar peri itu?

Peri dengan sayap berbentuk kelopak mawar itu menyembuhkan Yudis. Dia mengeluarkan bubuk-bubuk ajaib dari kantongnya, lalu menaburkan serbuk bercahaya di sekujur tubuh cowok itu, menutup kembali kulit-kulit yang robek akibat lilitan duri-duri mawar, mengobati luka bakar dari panasnya peri-per api.

Peri bunga kecil itu nggak bisa terbakar. Walaupun begitu, dia juga nggak bisa memadamkan api yang membakar tubuh Yudis itu sampai benar-benar padam.

"jadi kamu beneran serius, kamu bakal ingkarin janji kamu sendiri, Dis?" aku tanya sekali lagi, berharap satu keajaiban kecil yang aku tahu nggak bakal terjadi semudah itu.

Yudis nggak mengubah keputusannya. Dia tetap ingin berada di sini dan menemani April yang sedang sakit. Sejak kecil, cowok itu memang keras kepala. aku tahu banget hal itu.

"Jangan ribut di sini, Lia. Ini rumah sakit. Lo nggak mau kan perdebatan sepele ini sampai ganggu orang lain?" Yudis melangkah mendekat, tangannya terulur, seolah ingin meraih lenganku dan membawanya ke tempat lain. Namun, sebelum hal itu terjadi, aku lebih dulu menjauh. Nggak membiarkan cowok itu memegang tanganku.

Ini bukan hal yang sepele. Perdebatan ini belum selesai, dan aku nggak mau pergi ke mana-mana.

Satu-satunya tempat yang ingin kutuju cuma pasar malam itu, bersama dengan Yudis sesuai dengan janjinya padaku. Cuma itu. Nggak ada yang lain.

"Kita bisa ke pasar itu besok atau hari lain setelah ayahmu dan Tante Melissa pulang," Yudis bilang seperti itu sebagai alasan. "Pasar malam itu nggak akan pergi ke mana-mana? Kita masih bisa pergi lain waktu."

"Memang. Tapi, kamu janji hari ini. Malam pembukaan pasar malam itu. Malam yang paling meriah. Seharusnya kamu nggak ingkarin janji itu gitu aja, Dis."

Yudis menggaruk kepalanya dengan frustrasi, lalu mengacungkan telunjuknya yang panjang tepat ke pintu kamar tempat April dirawat. "Lo sekarang kok jadi egois gini sih, Lia. Gue nggak paham sama lo." Matanya semakin tajam, menatapku di antara bara api. "Saudara lo itu lagi sakit. Dia habis kecelakaan. Emangnya lo nggak khawatir dia bakal kenapa-napa, gitu?!"

Lagi, alasan demi alasan dia keluarkan. Peri-peri dengan sayap merah mulai menyebar, Sekelompok besar mulai memisahkan diri dari kawanannya, terbang masuk ke kamar yang ditunjuk Yudis.

Benar, kamar itu. Kamar tempat April tergeletak itu....

Seharusnya aku tahu, cewek manja itulah penyebab semua ini terjadi. Perdebatan ini terjadi gara-gara dia. Yudis jadi ingkar janji begini juga gara-gara dia.

Peri-peri bersayap api itu membakar habis tempat tidur April, membuat hampir seluruh tubuhnya berubah menjadi gumpalan abu.

Cewek manja itu....

Andai saja dia nggak jadi saudara tiriku.

Andai saja dia nggak nggak pernah masuk ke dalam kehidupanku.

Kutatap tajam mata Yudis, membakar cahaya redup yang tinggal dalam bola matanya. "Kamu... pilih aku atau April?"

Yudis nggak bisa menjawab. Satu detik, dua detik, rasanya seperti seribu tahun.

"Ini bukan tentang pilihan, Lia."

Lagi-lagi dia mengelak. Dia bukannya nggak bisa jawab, dia cuma nggak mau berkata yang sejujurnya. Namun, nggak masalah. Dari matanya itu aku tahu. Nggak perlu dijawab pun aku sudah tahu.

"Kamu lebih milih April, kan?"

Yudis berdecih. "Udah gue bilang, ini bukan tentang lo atau April. Ini tentang sesuatu yang penting dan sesuatu yang nggak terlalu penting. Kesehatan April itu penting. Dia butuh ditemani. Sementara lo, Lia? Lo cuma mau main ke pasar malam."

"Jadi maksudmu pasar malam itu nggak penting? Begitu?"

Yudis menurunkan kepalanya sedikit, kuanggap itu sebagai anggukan. "Kalau dibandingin sama kebutuhannya April saat ini, memang pasar malam lo itu...."

Sudah cukup. Aku nggak mau dengar.

Kuambil ponsel yang ada di dalam tasku, lalu kubenamkan diriku dalam layar benda pipih itu.

Kalau Yudis nggak mau menemaniku pergi ke pasar malam, aku nggak apa-apa. Aku masih punya teman lain. Aku nggak butuh Yudis.

Kugerakkan jari-jariku dengan cepat, mencari nama Sam dalam daftar kontak. Cowok itu sebelumnya pernah bilang kalau dia dan Bobby juga akan pergi ke pasar malam, jadi aku mencoba menghubunginya, berharap dia bisa menjemput dan membiarkan aku ikut dengan mereka.

Satu panggilan keluar dari ponselku. Sam mengangkatnya dengan cukup cepat. Setelah salam halo yang nggak terlalu penting, aku langsung tanpa basa-basi meminta cowok itu untuk datang ke sini.

Sam, sesuai yang kuduga, tanpa banyak tanya langsung menyetujuinya. "Sepuluh menit lagi gue sampe," katanya. Bisa kudengar suara mesin motor yang menyala, "Lo udah siap-siap, kan?"

Tentu saja. Aku sudah sangat siap. Aku ingin segera pergi dari rumah sakit ini. Semuanya sudah terbakar. Lobi, lorong-lorong, sampai ruang rawat yang ditempati April, api besar sudah memakan semuanya. Aku benar-benar sudah nggak tahan berada di tempat ini lagi. Panas api-api itu bisa membuatku gila.

Sam sepertinya mengerti hal itu. Dia menutup teleponnya, lalu bergegas sesuai apa yang dia bilang.

Sepuluh menit lagi.

"Lo yakin mau pergi?" Waktu aku merapikan kembali tas dan pakaianku, Yudis bertanya. "Lo nggak kasihan apa sama April?"

"Kasihan kenapa?" Kulirik cowok itu sedikit, lalu dengan cepat kualihkan pandangan. Aku nggak mau melihat mata Yudis. Nggak mau melihat peri bersayap mawar yang beterbangan di sekitarnya.

"April itu saudara lo. Walaupun saudara tiri, tapi gue yakin April pengen lo ada di sini buat nemenin dia."

Aku menggeleng. "April itu bukan saudara gue."

Yudis berdecih. Matanya menusukku. "Sampai kapan sih lo mau bertingkah kekanak-kanakan kayak gini?"

Keputusanku sudah bulat. Nggak peduli apa yang terjadi, aku akan tetap pergi ke pasar malam itu. Aku tetap akan melihat kembang api, naik wahana yang kumau, makan jajanan yang kuingin. Semua hal yang pernah Ibu dan aku lakukan dulu.

Tanpa menoleh ke belakang, aku melangkah, meninggalkan Yudis dan rumah sakit yang hampir hangus itu.

Sam mungkin sudah menungguku di luar.

Seperti seorang Pangeran yang menaiki kuda putih, dia akan membawaku pergi jauh dari menara terkutuk ini.

***

Promised Fairy (Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang