21. Mantra

5 3 6
                                    

Ada satu mantra yang hanya bisa digunakan oleh orang-orang tertentu.

Satu mantra kecil, tapi hanya orang-orang kuat saja yang bisa menggunakannya.

Ibu pernah bilang, idealnya mantra itu diucapkan oleh setidaknya dua orang. Dua hati paling kuat yang sudah saling memahami dan mengerti satu sama lain.

Hanya dengan satu mantra itu, hampir semua masalah akan menghilang. Nggak akan ada lagi peri bersayap merah. Nggak akan ada api dan darah yang berjatuhan. Nggak akan ada lagi awan badai yang menyelimuti hutan dengan warna kelabu. Dengan satu mantra itu, semuanya akan berada di dalam kehangatan peri matahari.

“Apa Ibu bisa menggunakan mantra itu?” aku pernah bertanya seperti itu.

Ibu tersenyum. Tentu, Ibu bisa menggunakan mantra itu. Ibu adalah ratu peri yang hebat, jadi wajar saja kalau dia menggunakan mantra terkuat itu. Di masa lalu, saat perang Troya menghanguskan hampir seluruh isi bumi, Ibu berhasil mengalahkan ratusan ribu pasukan monster dan peri-peri jahat yang berkuasa. Dengan mantra terkuatnya, Ibu memasukkan dan mengunci musuh-musuhnya itu selamanya di dalam kotak pandora.

Ibu yang sangat kuat seperti itu, aku senang dan bangga sekali bisa punya ibu seperti dirinya.

“Apa kamu juga mau menjadi kuat seperti Ibu, Aulia?”

Ibu mengulurkan tangannya, membelai lembut pipiku. Di belakang punggungnya, tumbuh sayap kupu-kupu berwarna putih...? Nggak, sayap itu berwarna bening seperti kristal. Tanpa noda, benar-benar jernih dan bersih seperti air yang turun dari surga.

Cantik.

Kuat.

Sempurna.

Kata apa lagi yang bisa kugunakan untuk mendeskripsikan keindahan sayap sebening itu?

Senyum lebar menghiasi wajahku. “Aku ingin jadi kuat. Aku ingin jadi seperti Ibu.”

Apa aku bisa melakukannya, Bu?

Apa aku bisa mendapatkan sayap seperti itu juga?

Waktu itu Ibu tersenyum. Lengannya yang lembut memelukku. “Ibu yakin kamu pasti bisa, Aulia. Sebagai putri Ibu, putri dari ratu peri, kamu pasti bisa menumbuhkan sayap di hatimu.”

Sayangnya, sampai sekarang aku nggak bisa.

Aku nggak bisa menjadi seperti Ibu.

Di dalam perang besar yang terjadi dalam hidupku saat ini, hanya ada sayap penuh api iblis yang tumbuh perlahan dari belakang punggungku.

***

“Gimana rasanya?” Yudis bertanya. “Enak nggak?”

Kami sedang berada di dapur, membuat sesuatu untuk makan malam. Kurasa ini pertama kalinya aku dan Yudis memasak bersama. Kami membuat sup sayur sederhana dengan bahan-bahan yang tersedia di kulkas dan resep yang kami dapatkan dari internet.

“Lumayan,” jawabku setelah selesai mencicipi. Baunya cukup harum. Rasa asinnya juga sesuai dengan seleraku.

Kuberikan sendok baru kepada Yudis, meminta cowok itu untuk ikut mencicipi. Dengan senyum kecil, dia menyendok kaldu sup yang masih panas di panci, meniupnya sedikit, lalu menyeruputnya dengan penuh pertimbangan.

“Gimana?” aku bertanya.

Yudis mengangguk. Kelihatannya dia suka. “Seenggaknya cukup enak kalau dibandingin sama mi instan.”

Aku nggak tahu harus merespons bagaimana. Apa yang dikatakan Yudis itu bisa dibilang pujian. Aku seharusnya senang mendengarnya. Akan tetapi, peri kelabu dan awan tebalnya membuatku susah untuk tersenyum.

Setelah beberapa persiapan lain, kami akhirnya bersiap untuk makan malam. Nggak seperti makan malam keluarga yang biasa dilakukan di meja makan biasanya, aku dan Yudis lebih memilih untuk menyantap masakan buatan kami berdua itu di ruang tengah. Dengan televisi dan film akhir hari yang menemani, kami duduk di sofa.

“Kayaknya April besok sudah boleh pulang.” Di sela-sela iklan film, Yudis melirikku. “Kakinya memang belum sembuh sepenuhnya, tapi dokter bilang, selama April nggak melakukan aktivitas yang berat, kaki April seharusnya bisa sembuh dengan sendirinya.”

Kutelan makananku. Arah mataku kosong memandang mangkuk supku yang setengah penuh. “Bagus deh kalau begitu.” Aku nggak tahu mau bilang apa lagi.

Kulihat alis Yudis sedikit terangkat, lalu kembali ke posisi semula ketika cowok itu beralih memandang layar televisi.

“Kamu... habis ini balik lagi ke rumah sakit?” Tanpa menatap mata cowok itu, aku bertanya.

Yudis menggeleng. “Nggak,” katanya. “Besok kan sekolah, gue harus ngerjain PR terus bangun pagi-pagi. Gue nggak bisa nginep di rumah sakit. Toh, sudah ada bokap sama nyokap gue yang nemenin April di sana.”

Aku mengerti. Entah kenapa rasanya agak lega mendengar jawaban Yudis, seperti ada angin malam yang segar berembus di belakang tubuhku.

“Ribet juga kan kalau gue entar malam ke rumah sakit, terus paginya pulang ke rumah buat mandi, jemput lo, terus berangkat ke sekolah.”

Sejak awal memang ribet, Dis. Karena itu aku nggak mau kamu ke rumah sakit dan peduli sama April. Kamu seharusnya fokus saja dengan aku, nggak usah pusing memikirkan cewek manja itu.

“Jadi kamu besok tetap boncengin aku ke sekolah, kan?” Seperti biasanya? Seperti yang sejak dulu kamu dan aku lakukan bersama?

Yudis mengangguk. Satu anggukan penuh kepastian, juga satu senyum lebar yang rasanya sudah lama menghilang di antara kami.

“Ya, iya,” serunya. “Emang kalau bukan sama gue, lo mau berangkat sama siapa?”

Apa semuanya bisa kembali seperti semula?

Besok hari Senin. Awal hari yang baru. Apa Yudis dan aku bisa boncengan, berangkat ke sekolah bersama-sama lagi? Duduk semeja seperti biasanya? Tanpa ada api yang membara dari peri bersayap merah, juga awan kelabu yang memisahkan kami?

Apa pertempuran ini akan benar-benar selesai begitu saja?

Aku nggak tahu, tapi kuharap begitu.

Besok April sudah boleh pulang. Itu artinya Yudis nggak perlu ke rumah sakit dan menemani cewek manja itu lagi. Yudis seharusnya masih menganggap April nggak lebih dari sekadar teman biasa. Hubungan mereka berdua nggak berarti apa-apa.

Sementara itu, tanpa April yang menghalangi, aku bisa memperbaiki hubunganku dengan Yudis. Aku bisa menemaninya latihan di ruang band lagi, mendengarkan musik yang dimainkannya bersama dengan Sam dan juga Bobby. Tanpa terganggu oleh April lagi, Yudis juga bisa membantuku membuat lagu baru. Pentas seni sekolah itu sudah semakin dekat, dan aku belum punya gambaran sama sekali bagaimana lirik lagu itu akan kutulis.

Lalu... kalau ada waktu, aku ingin kembali ke pasar malam itu.

Aku tahu mungkin nggak akan semeriah malam pembukaan. Akan tetapi, aku masih ingin naik biang lala dan menikmati semua yang ada di sana bersama dengan Yudis.

***

Promised Fairy (Hiatus) Where stories live. Discover now