8. Insiden

12 4 5
                                    

Bagaimana pendapatku tentang April?

Untuk saat ini aku nggak terlalu terganggu dengan kehadiran cewek itu. Kami jarang berinteraksi di sekolah. Di rumah pun kami juga jarang mengobrol. Pria tanpa wajah dan wanita tua itu mungkin menganggap April seperti sesosok adik kecil dalam keluarga palsu mereka. Namun, aku nggak begitu.

Aku menganggap April nggak lebih dari sekadar teman biasa. Bukan teman dekat, sahabat, apalagi adik. Peri-peri kecil bersayap merah yang beterbangan di sekitar April nggak memperbolehkanku berada terlalu dekat dengannya. Api-apinya kecil, nggak cukup untuk membakar sekujur tubuh cewek itu. Walaupun begitu, tetap saja dadaku terasa panas kalau aku melihat wajahnya terlalu lama.

“Kalau kamu?” Aku menoleh, menatap wajah cowok berambut acak-acakan yang duduk di sebelahku. “Menurutmu, April itu gimana anaknya?”

Yudis melirikku, lalu mengedikkan bahu. “Biasa aja,” katanya.

Aku mengernyit. Dahiku mengerut, mengharapkan jawaban yang lebih spesifik darinya. Biasa itu... apa maksudnya? Apa dia menganggap April sama seperti teman-teman sekelas yang lain? Sama seperti teman-teman satu band-nya? Atau sama seperti aku?

Yudis hanya diam. Sudut bibirnya tertarik, membentuk satu senyum kecil yang nggak kumengerti. Lalu setelah beberapa lama, cowok itu pun akhirnya menjawab, “Teman biasa.”

Peri kecil mendarat di jari kelingkingku. Yang dibilang Yudis itu bukan janji, tapi aku berharap kalau dia nggak bohong.

Yudis menganggap April nggak lebih dari sekadar teman biasa. Kalimat itu terdengar jelas di telingaku. Aku menangkap setiap katanya. Suara, nada, dan intonasi yang keluar dari mulut Yudis sudah terekam, kusimpan selamanya di dalam kotak pandora.

Hingga hari ini, aku masih percaya.

“Besok kita jadi ke pasar malam, kan?” tanyaku waktu kami melewati area taman kota itu setelah pulang sekolah. Angin sore membelai rambutku. Langit berwarna oranye keemasan menyatu dengan daun-daun yang berguguran.

Yudis mengayuh sepedanya lebih lambat, lalu menoleh ke arah taman, tempat pasar malam itu akan dibuka besok. Nggak seperti kemarin atau hari-hari sebelumnya, Wahana-wahana yang berada di tengah kota itu sekarang sudah terlihat wujudnya. Banyak stan-stan yang sudah bersiap, lengkap dengan spanduk dan papan promosinya masing-masing. Lampu-lampu sepertinya juga sudah hampir terpasang semua, mungkin tinggal beberapa aksesoris tambahan.

Tempat itu menjadi cukup ramai, membuatku semakin nggak sabar dan jadi menduga-duga apa-apa saja yang bisa kulakukan di sana besok.

“”Besok, ya! Besok!” Aku tertawa, menepuk-nepuk pundak Yudis dengan penuh semangat.

Cowok itu mengaduh kesakitan. “Iya, iya,” katanya sambil merintih, mendesis seperti ular. “Nggak usah mukul-mukul gitu, napa. Bisa nabrak nih.”

Melihat Yudis yang hampir kehilangan keseimbangan, aku menghentikan pukulanku, lalu mengeluarkan mantra. Peri-peri bersayap biru mengeluarkan embun-embun yang sejuk, mendinginkan kepalaku dan Yudis di bawah sinar matahari.

“Santai aja, entar gue temenin naik semua wahana yang lo mau. Gue temenin makan es krim atau apa pun deh yang lo pengen.”

Aku tertawa. “Beneran, ya?” kukepalkan tangan ke depan dada. “Awas kalau kamu bohong.”

“Ada syaratnya, tapi.”

“Syarat apa?”

Yudis mendongakkan kepalanya, bibirnya membentuk senyum lebar ketika dia melirikku yang sedang duduk di belakang. “Lo harus selesaiin lirik lagu lo itu, cepetan dikit kalau bisa.”

Promised Fairy (Hiatus) Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz