1. Kelahiran dan Kematian

37 9 12
                                    

“Ayah nggak bakal menikah lagi, kan?”

Aku selalu takut. Ibu tiri itu pasti jahat banget. Aku sering baca di buku. Cinderela yang disiksa dan dianggap seperti pembantu oleh ibu tirinya. Snow White yang diincar dan diracun oleh penyihir suruhan ibu tirinya. Bahkan cerita lokal seperti bawang merah dan bawang putih juga punya ibu tiri yang kejam.

Aku nggak mau punya ibu tiri.

Cuma Ibu satu-satunya ibu di hidupku. Nggak ada wanita lain yang sebaik Ibu, dan nggak ada yang bisa menggantikan tempatnya di keluarga ini.

Aku ingat Ayah dulu pernah berjanji. “Tentu, tidak akan,” katanya. Senyumnya waktu itu membuatku merasa lega. Di depan makam ibu yang bertabur bunga penuh warna, ia mengacungkan jari kelingkingnya ke hadapanku. “Sampai kapan pun, Ibu akan tetap menjadi satu-satunya wanita di hati Ayah.”

Ayah pernah bilang seperti itu, kan? Aku nggak mungkin lupa.

Waktu itu, kelingkingku dan kelingking Ayah bertaut. Ayah berjanji tidak akan mengkhianati perasaan ibu, dan aku berjanji akan lebih semangat bersekolah agar ibu di atas sana tidak kecewa. Janji jari kelingking.

Ratu peri memandang dari ujung langit. Sayapnya membentang, membelah awan kelabu yang menggumpal di atas kami. Dari ujung kelingkingku, keluar batang bunga mawar. Sulur-sulur hijaunya yang merambat melingkari jariku dan jari Ayah, mengikat janji kami berdua.

Ayah nggak bisa mengingkari janji ini.

Aku selalu percaya padanya. Dia Ayah yang bisa kuandalkan, sosok yang berdiri dengan tegak, tempat aku bersandar dan berteduh di bawah badai yang menerjang.

Seharusnya sepeti itu, kan?

Sayangnya, Ayah berubah. Dia bukan sosok Ayah seperti yang kukenal dulu.

Minggu lalu, Ayah menikah lagi.

Pria itu berdiri di atas altar, lengkap dengan jas putih dan kelopak mawar merah yang dikaitkan di dada. Potongan rambut yang jauh lebih rapi dari biasanya. Senyumnya yang hangat waktu melihat mempelai di hadapannya. Ini hari yang membahagiakan untuk Ayah, tapi nggak untukku.

Aku nggak bisa.

Aku nggak mau lihat ini semua.

Apa Ayah benar-benar sudah melupakan Ibu? Apa sudah nggak ada lagi ruang di hati Ayah agar Ibu bisa tetap tinggal di dalamnya?

Apa Ayah sudah melupakan janjinya denganku?

Aku tahu kejadian itu terjadi sudah sangat lama, sudah bertahun-tahun yang lalu sejak hari pemakaman Ibu. Namun, yang namanya janji tetap janji, kan? Ayah nggak boleh lupa. Ayah nggak boleh mengingkarinya begitu saja.

Jauh di dalam hatiku, aku ingin tempat ini runtuh. Aku ingin badai besar datang sekarang juga, lengkap dengan petir yang menyambar, membakar hangus tirai-tirai dan pemandangan yang kusaksikan ini. Sayang, sekuat apa pun aku berharap dan berdoa, itu semua nggak mungkin terjadi. Ramalan cuaca hari ini cerah bersinar. Dari pagi sampai malam, nggak akan ada hujan. Bahkan waktu kulihat di luar pun, nggak ada awan mendung sama sekali.

Aku nggak suka ini.

Kenapa dulu waktu Ibu dimakamkan, cuacanya cenderung mendung dan rasanya mau hujan. Sementara itu hari ini, di hari pernikahan Ayah dengan istri barunya ini...

Aku nggak tahu lagi.

Setelah acara pembukaan, doa, dan sedikit ceramah, sekarang waktunya pembacaan janji suci. Ayah berjanji di atas altar, tunduk di bawah sahaya surga yang mnyilaukan. Ayah berjanji untuk setia mencintai wanita yang berlutut di sebelahnya itu, dalam suka maupun duka, senang maupun susah, sampai maut memisahkan. Janji yang sama seperti yang diucapkan Ayah untuk Ibu dulu.

Peri-peri cinta beterbangan mengitari kedua pasangan itu. Sayap-sayap kecil mereka berkepak lembut, tanpa suara menaburkan serbuk-serbuk berkilauan, doa dari semua orang yang hadir dalam acara pernikahan ini, juga harapan agar Ayah dan wanita itu bisa menjadi keluarga yang utuh.

Jari kelingkingku... sakit.

Di hadapan Ayah, sepasang cincin emas dengan berlian kecil menunggu. Emas yang melambangkan kemurnian cinta mereka. Berlian yang bersifat kuat dan nggak gampang dihancurkan. Lalu jari manis, tempat vena amoris yang akan mengantarkan cinta mereka tepat menuju jantung. Cincin itu akan mengunci perasaan mereka berdua di sana.

Aku nggak terima ini.

Ini nggak boleh terjadi.

Sebelum cincin itu terpasang di jari Ayah, Peri dengan sayap berwarna merah darah muncul dari lantai tempat Ayah berpijak. Udara seketika terasa panas, membuat dadaku terasa sesak. Rangkaian-rangkaian dan buket bunga yang ditaruh sebagai hiasan layu dengan cepat, mengering, sampai akhirnya menjadi debu dan hilang terbawa angin.

Di jari kelingking Ayah, jari yang pernah bertaut dan membuat janji denganku itu... batang bunga berduri mulai menjalar, melilit jari Ayah seperti ular yang membawa manusia ke dalam dosa.

Ini dosa Ayah karena sudah mengingkari janji yang sudah kami buat, mengkhianati kepercayaanku, dan melupakan cinta yang pernah Ibu berikan.

Di atas altar, sayap peri-peri itu menyala terang. Api kecil muncul dari sisi-sisinya, perlahan menjalar naik, membakar tubuh Ayah yang sudah dibutakan oleh nafsu dan dongeng palsu tentang cinta.

Dalam kobaran api itu, kulihat sesuatu yang bersinar. Satu cahaya kecil di tengah lautan darah.

Cincin itu... masih ada di sana.

Cincin yang murni itu bergerak seolah nggak terpengaruh dengan panasnya api yang membara di sekitarnya. Dia terus melaju, sedikit demi sedikit, mengikat jari manis Ayah. Sulur-sulur mawar berduri yang keluar dari janji jari kelingkingku sudah berusaha menahan agar cincin itu nggak bisa masuk lebih dalam, tapi sepertinya sia-sia. Cincin emas itu tetap terpasang, dan sekarang sudah menetap dengan sempurna di pangkal jari manis Ayah.

Ayah... bodoh!

Kenapa, sih?! Apa Ayah benar-benar cinta sama wanita yang berdiri di sebelah Ayah itu? Saking cintanya sampai Ayah sudah nggak peduli lagi dengan janji yang pernah kami buat?

Aku benci Ayah!

Duri-duri mawar menjalar tanpa arah, melilit dan menusuk tubuh Ayah dengan membabi buta. Darah berceceran. Sulur-sulur yang awalnya berwarna hijau itu sekarang penuh warna merah tua. Walaupun begitu, Ayah tetap menatap pasangannya itu dengan lembut..

Nggak peduli pipi dan lengannya yang robek terkena duri, nggak peduli kaki dan tubuhnya yang termakan api, Ayah tetap memberikan senyum hangat di hadapan sang Mempelai yang berdiri di hadapannya itu, seolah dia ingin bilang, “Nggak apa-apa. Jangan khawatir. Kita pasti bisa melewati ini bersama.”

Sebagai respons, wanita itu juga ikut tersenyum. Dengan cincin yang sudah tertaut di jari manis mereka berdua, Ayah dan wanita itu bergenggaman tangan. Sepasang kekasih yang sudah disatukan oleh cinta semurni emas dan sekuat berlian.

Selamat!

Dari lubuk hatiku yang sesak ini, untuk kalian yang berciuman di dalam panas api penghakiman, kuucapkan selamat dan bertepuk tangan.

Dengan ini, Ayah sudah resmi mengkhianati aku.

Aku sudah nggak percaya sama Ayah lagi.

Nggak ada sihir yang bisa mengubah hal itu. Nggak ada mantra yang bisa mengembalikan hubungan kami seperti semula. Aku berdiri di sini sendirian, membakar Ayah dengan apiku sendiri, perwujudan dari rasa kecewa, marah, dan juga sakit hati.

Di hari pernikahan ini, Ayah lahir kembali dalam keluarga yang baru.

Di hari ini juga, dari mata dan hatiku, Ayah sudah mati.

***

Promised Fairy (Hiatus) Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon