38. Luka terpendam

28 4 0
                                    

Cerita ini hanyalah fiktif belaka

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Bila ada kesamaan nama, alur, tempat dan kejadian maka itu terjadi tanpa disengaja.

Ramaikan cerita ini yaak

°°°°°°°°°°°







Sedari tadi, Essa hanya diam dengan lamunannya. Ia tidak jadi pergi makan bakso seperti yang diinginkannya tadi. Ia lebih memilih berdiam diri di markas. Bersama dengan Garel dan Jhia yang menyelesaikan tugas mereka di sana.

"Lo ngapain dari tadi tarik napas terus? Mau lahiran?" Garel menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.

Essa mendengus kasar. "Sembarangan lo bekicot! Bikin mood gue makin berantakan. Mending lo diem!" Gadis itu menyandarkan tubuhnya dengan tangan yang terlipat di atas dada.

Jhia tersenyum tipis. Ia menggeleng pelan kepada Garel untuk berisyarat agar pemuda itu tidak mengganggunya saat ini. Garel menghela napas, ia kembali menyibukkan dirinya dengan tugas yang tersedia.

"Kapan orang tua gue pulang, ya?"

Jhia menatap ke arah Essa yang telah mengeluarkan buliran bening dari kedua mata indahnya. Ia dan Garel saling tatap, bingung akan cara membujuk Essa dari rasa galau yang menimpanya.

"Gue kangen mereka, mereka ingat gue di sini nggak sih? Mereka masih ada niat buat pulang nggak?" cicitnya dengan tangan yang menghapus aliran air mata.

"Sa," panggil Jhia lembut.

"Sejak kecil, gue selalu nurutin kemauan mereka. Pindah sekolah ke sana kemari karena harus ikut apa yang mereka perintahkan. Sejak kecil gue cuma punya satu orang teman doang, Dean. Tapi juga sempat pisah karena gue harus pindah rumah."

Baiklah, Jhia tidak ingin menyela. Ia beralih duduk di samping gadis itu. Menarik tubuhnya agar bisa ia berikan pelukan hangat. Mungkin, itu adalah cara terbaik saat ini daripada kata-kata menenangkan yang bisa saja akan terdengar menyakitkan.

"Sepenting itukah pekerjaan mereka sampai gue harus tumbuh dalam asuhan pembantu? Gue yang selalu kesepian di rumah, bersyukur karena bisa gabung dengan kalian. Gue senang bisa kenal lo berdua yang waktu itu masih jadi kakak senior di sekolah baru gue."

Usapan lembut Jhia berikan di pundak Essa. Ada rasa sakit yang selama ini ia tahan sendirian. Ada topeng bahagia yang selalu menutupi perasaan sunyi yang menyelimutinya. Dibalik senyuman lebar, ada wajah murung dan kesepian yang selalu mengunjungi di setiap malam.

"Proyek sampai luar negeri itu dikejar, tapi gue yang anak mereka satu-satunya ditinggal. Gue nggak butuh semua uang itu kalau akhirnya gue nggak bahagia, Jhi."

Garel menunduk. Rasa emosional yang Essa keluarkan berdampak besar padanya. Hatinya terenyuh kala mendengar rintihan kecil gadis periang itu. Tak biasanya Essa seperti ini, kali ini ia benar-benar sangat merindukan kedua orang tuanya.

Black MissionWhere stories live. Discover now