24. Perihal sepatu

31 5 0
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi belaka, bila ada kesamaan nama, tokoh, alur dan kejadian maka itu terjadi tanpa disengaja

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Cerita ini hanyalah fiksi belaka, bila ada kesamaan nama, tokoh, alur dan kejadian maka itu terjadi tanpa disengaja.

Semoga menikmati isi cerita.

°°°°°°°°°



Dean bersandar pada sisi tempat tidurnya. Kepalanya ia tumpukan di atas lutut dengan tangan yang masih memegang ponsel dengan layar yang menyala. Kepalanya terasa sedikit pusing.

Sebuah usapan lembut ia rasakan membelai rambutnya. Dean masih belum mengangkat kepalanya, ia merasa ini bukan berasal dari tangan sang ayah.

Lalu siapa? Bukankah di rumah ini hanya mereka berdua yang tinggal?

"Bunda?"

Napas Dean seketika tak beraturan. Melihat wanita tersayangnya yang kembali muncul di hadapan dengan wajah yang tersenyum tenang. Wanita yang selama ini selalu ia rindukan walau mustahil untuk bisa menemuinya kembali. Lalu sekarang, ia melihatnya dengan jelas di depan mata.

Air mata Dean menetes begitu saja. Ia tidak menyangka bahwa wanita penyemangatnya itu kembali membelai kepalanya dengan lembut. Usapan terakhir bahkan sudah tak bisa ia ingat lagi bagaimana rasanya.

"Kamu apa kabar, sayang?"

Pemuda itu berusaha menahan isakannya. Ia memaksa sebuah senyuman di balik keinginannya untuk berteriak histeris akibat kerinduan yang melanda pada sang ibunda.

"Dean baik. Dean kangen sama bunda."

Wanita itu kembali tersenyum dengan tatapan teduh yang ia lemparkan kepada putra tunggalnya itu.

"Bunda khawatir sama kamu. Terus jaga diri dan selalu hati-hati, ya? Selalu waspada dengan keadaan sekitar walau pun itu orang yang dekat dengan kamu."

Dean menelan ludahnya dengan susah payah. "Bunda jangan pergi lagi. Di sini aja temani Dean dan ayah. Kami rindu, Nda. Tolong tetap di sini, bisa ya?"

Pipi Dean dielus lembut oleh sang ibunda. Telapak tangan wanita itu terasa dingin. Dean menggigit bibir bawahnya dengan air mata yang semakin mengalir deras dalam diamnya.

"Ada masanya kita bakal bareng-bareng lagi, sayang. Kita nggak bisa melawan takdir dari Sang Pencipta. Yang harus kamu lakukan, adalah ikhlas. Terima semua ketetapan yang ditakdirkan untuk kamu. Memang sulit, tapi seiring waktu kamu bakal terbiasa untuk menghadapinya."

Pandangan Dean sedikit mengabur. Samar-samar ia melihat tubuh sang ibunda menghilang. Tangannya berusaha menahan tubuh wanita itu akan tetapi nihil. Dean malah semakin tidak bisa menggapainya.

Mata Dean terbuka sempurna dengan keringat dingin yang mengalir di pelipisnya. Napasnya semakin sesak tak karuan. Ternyata semua itu tadi hanya mimpi. Tapi kenapa terasa begitu nyata?

Black MissionOù les histoires vivent. Découvrez maintenant