Chapter 29

4.1K 374 27
                                    

"Nak, kamu gak mau pulang dulu?" Isma; Ibunda Mahen, bertanya kepada Angga yang masih setia duduk di tempatnya, menunggu Mahen siuman.

Angga menggeleng tak minat. "Aku mau nungguin mas Mahen aja, Bunda," balasnya pelan. Membenamkan kembali kepalanya di atas kasur, bertumpu dengan kedua tangannya yang terlipat.

"Mau sampai kapan, Nak? Sejak 14 jam Mahen masuk rumah sakit, kamu belum istirahat sama sekali. Kasihan Papa sama Daddy kamu khawatirin anak semata wayang mereka. Bunda sama Ayah juga cemas lihat kamu begini terus."

Angga merasakan belaian lembut di kepalanya. Tangis pemuda itupun kembali keluar. "Biarin, aku mau di sini sampai mas Mahen siuman. Tolong jangan paksa aku buat pulang, aku mau di sini, gak mau pulang!" ungkapnya bersikukuh. Masih membenamkan wajahnya guna menyembunyikan raut kacau yang mungkin tak enak dipandang.

"Sayang ...."

Napas Angga melambat. Sontak isakannya pun terhenti. Lirihan yang barusan didengarnya sangat Angga kenali. Ia mengangkat wajahnya secara putus-putus, sembari melihat sebuah tangan yang terpasang selang infus berada di atas kepalanya perlahan-lahan turun.

Di depannya saat ini, oknum yang membuatnya keras kepala hampir beberapa jam lalu, kini telah membuka mata. Memberikan senyum kecil yang amat sangat dirindukannya.

Angga cepat-cepat menoleh ke belakang, di mana Isma juga tengah tersenyum ke arahnya.

"M-Mas Mahen ...." Angga bergumam tak percaya.

Membuat dosen pengampu bahasa inggris tersebut terkekeh kecil dibuatnya. "Apa, Sayang?" balasnya pelan. "Sini deketan, saya kangen pengen peluk kamu."

Alih-alih mendekat, Angga justru tak ada niatan untuk menghampiri Mahen. Dia mengusap lelehan air mata yang turun tatkala menyaksikan sang tunangan yang masih bisa berucap manis disaat kondisinya seperti saat ini. Antara bahagia, sedih, marah, semuanya bercampur.

"Sayang," panggil Mahen lagi. Tangan kirinya berusaha meraih pergelangan Angga dengan susah payah. Bahkan Angga sendiri bisa melihat saat tangan tersebut diangkat guna melawan gravitasi, sedikit gemetar.

Angga langsung menangkap telapak tangan Mahen. Menggenggam erat dan dibawanya kembali ke sisi badan berbalut selimut berwarna putih itu.

"Kalo cuma mau bikin khawatir, minimal jangan sampai masuk rumah sakit!"

Isma yang mendengarnya terkekeh, lantas beranjak dari tempat. "Bunda keluar aja deh. Nggak mau jadi nyamuk," ucapnya bergurau. Ia pergi meninggalkan kedua pasangan tersebut agar bisa lebih leluasa.

"Mas Mahen tau? Aku beneran gak bisa mikirin apa-apa selain mas Mahen yang terus menetap di benak aku. Mas Mahen gak sadar-sadar lebih dari 8 jam, itu bikin aku bener-bener gak bisa berpikir jernih. Aku takut, aku takut mas Mahen nggak kuat, t-terus ninggalin aku, aku nggak mau ...."

"Hei, Sayang, Sayang, lihat saya. Apa yang kamu lanturin sih? Enggak, itu nggak mungkin terjadi. Saya nggak bakalan ninggalin kamu, saya janji." Mahen menarik lembut tangan Angga yang digenggamnya, kemudian merengkuhnya ke dalam pelukan.

Angga kembali mengeluarkan air mata. Tidak peduli mau dianggap cengeng atau bagaimana, tapi Angga sungguh merasa sangat sensitif apabila menyangkut terhadap calon suaminya tersebut.

Mahen mengusap surai hitam si manis secara perlahan. Diam membiarkan Angga menumpahkan segala kesedihannya yang menumpuk di relung hatinya.

"Maaf, Sayang, maaf."

...

"Kamu nggak lanjutin skripsi kamu?"

Angga menggeleng menanggapi pertanyaan Mahen. Ia sibuk menyuapi Mahen dengan semangkuk bubur. "Aku mau ngerawat mas dan memastikan mas Mahen sembuh betul-betul, baru aku lanjutin skripsiku."

"Tapi tinggal beberapa minggu lagi, lho. Kalau kamu nggak ngelanjutin, kamu yang bakal telat lulus. Temen-temennya udah selesai, masa tinggal kamu doang yang jadi mahasiswa tua karena terlambat lulusnya? Di sini ada perawat, ada bunda sama ayah, bahkan papa Jay juga bisa ngerawat saya. Kamu nggak boleh sia-siakan kesempatan ini, Anggara. Fokus pada skripsimu, setelah lulus nanti, kita langsung nikah."

Angga menahan senyumnya yang ingin terbit. Ah, sial, lagi dan lagi, Mahen bisa membuatnya salah tingkah.

"Aku mau kerja dulu, nggak mau cepet-cepet nikah. Mas Mahen kalau nggak sabaran, nikah sendiri aja sana," gurau Angga sembari menyendokkan sesuap bubur.

"Oke, nanti saya culik paksa kamu, terus kita langsung adain pernikahan."

Angga mendengkus. "Ih, mana bisa begitu? Oke, aku nanti kabur, biar mas Mahen nggak bisa nyulik aku karena nggak tau aku ada di mana."

Mahen tersenyum menanggapi ucapan Angga. Tangannya yang menganggur, digunakan untuk membelai rambut Angga. "Saya sayang banget sama kamu, Anggara," ungkapnya pelan. Ia memandang sang tunangan dengan tatapan sendu.

"Aku lebih sayang sama mas Mahen," balas Angga. Tangan kanannya terulur, membawa sendok di genggamannya ke depan mulut Mahen. Namun, Mahen menggeleng.

"Udah, perut saya rasanya mau meledak."

"Tapi mas Mahen baru makan tiga suapan. Ayo sekali lagi. Habis itu janji udah."

Mahen tetap menggeleng. "Udah, kenyang. Kalo dipaksa, nanti saya cium kamu, lho," ujarnya main-main.

"Ya udah, cium aja, asal mas Mahen mau habisin makanannya."

Mahen memilih untuk mengalah. Ia membuka mulutnya. Angga kemudian menyuapkan Mahen dengan penuh kehati-hatian.

"Udah."

"Iya, ini udah nih. Minum dulu baru boleh lanjut istirahat."

Angga mengangkat sedikit kepala belakang Mahen untuk memudahkan sang tunangan saat minum, Ia juga mengarahkan sedotan ke mulut Mahen. Botol berisi air bening itupun Mahen sedot sedikit, lalu setelahnya Mahen menarik diri.

"Ya sudah, mas Mahen istirahat. Aku mau pulang dulu sebentar ambil laptop. Aku bakal selesaiin skripsiku di sini."

Mahen mengangguk singkat. Ia menatap Angga yang hendak membuka pintu ruang rawatnya. "Anggara."

Empunya nama pun menoleh. "Kenapa, Mas? Butuh sesuatu?"

Namun, Mahen menggeleng. Hal itu membuat Angga mendengkus geli merasa dikerjai sang tunangan.

"Gaje banget, deh. Ya udah, mas Mahen kalo butuh apa-apa, bilang sama bunda, ya? Bunda biar aku minta jaga di dalem. Sampai nanti, Mas sayang!"

Pintu bercat cokelat tersebut tertutup. Menghilangkan sosok Angga yang telah pergi dibaliknya. Mahen menghela napasnya lirih. Sorotnya menatap langit-langit rumah sakit, sebelum akhirnya pintu yang sempat tertutup tadi, terbuka lagi oleh gerangan yang merupakan ibundanya.

"Bun, aneh nggak sih, kenapa semua objek yang Mahen lihat jadi blur?"

Pak MahenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang