Chapter 16

8.6K 801 26
                                    

Angga merasa keberatan! Benar, dirinya keberatan saat Mahen memberitahu jika akan menginap malam ini di rumahnya. Ia masih belum memaafkan sepenuhnya dosen muda itu, meskipun tadi siang sempat membuatnya menjerit-jerit seperti anak perawan yang lagi kesengsem. Tapi hanya sebentar, kok. Mungkin dua jam ada. Sampai membuat Jay terheran-heran mengapa anak semata wayangnya itu seperti orang terkena gangguan jiwa.

Kembali lagi pada Anggara. Si manis kesayangan daddy Johan itu sedang melotot garang menatap Mahen. Pasalnya, walau Angga menolak keras, tapi dosen itu mendekati Jay dengan alibi ingin belajar membuat kue. Jay yang pada dasarnya memang suka pada hal-hal yang berkaitan dengan perdapuran, tentu saja langsung setuju. Lagipula Jay sama sekali tak mempermasalahkan apabila calon mantunya itu ingin menginap.

"Saya masih kurang mahir dalam membuat cookies. Pernah nyoba bikin, tapi malah gak jadi adonannya. Nah, karena kebetulan papa Jay pandai, saya mau minta diajarin. Siapa tahu saya bisa bantu papa saat mendapat pesanan banyak."

Jay mengangguk-angguk setuju. "Nggak cuma kebetulan, ya. Papa emang jago kalau dalam urusan begini. Kamu datang ke orang yang tepat. Kalau begitu, agenda kita hari ini adalah mengeksekusi pembuatan cookies. Ayo, langsung kita dibuat. Papa punya banyak stok bahan-bahan," ucap Jay kelewat bersemangat. Pria satu anak itu sudah melegang ke dapur guna mempersiapkan alat dan bahan.

Tersisalah Mahen dan Angga yang saling memandang. Lebih tepatnya sih Angga yang menatap Mahen dengan sengit. Mahen tak menganggap pusing. Ia ikut beranjak menyusul Jay dan mengabaikan Angga yang sudah memanyunkan bibir.

Papa Jay kalau sudah berurusan dengan dapur apalagi pembuatan kue, pasti lupa anak dan suami. Ditambah lagi dengan Mahen yang mencoba menarik perhatian Jay dengan hobi papanya itu, tentu Jay pasti akan lebih memperhatikan Mahen.

"Kenapa kesannya gue kek jadi anak gak dianggap gini? Ngeselin banget!"

...

"Tadaaa ... cookies buatan papa Jay dan calon mantu udah siaaaap~" Jay berseru girang sembari menaruh nampan yang digunakan untuk mengoven adonan cookies di atas meja makan. Menghidangkan kue itu kepada suami dan anak tercinta.

Angga menatap Johan. Omong-omong, pria itu sudah kembali dari kantor beberapa menit yang lalu. Angga mendekatkan diri guna membisikkan sesuatu kepada sang ayah. Yang dibisiki pun hanya mengangguk-angguk saja.

Mahen sedikit tergelak. Kesannya seperti sedang mengikuti kontes memasak. Di mana kini Johan dan Angga menjadi juri penentu yang menilai seberapa enak masakan buatan peserta.

Bapak dan anak itu berbarengan mengambil cookies yang terhidang di depannya. Menggigit pinggiran cookies dan merasakan tekstur renyah dengan rasa yang lumayan. Karena masih hangat, baru keluar dari oven, sangat cocok jika langsung dimakan.

"Gimana saudara-saudara?"

Johan dan Angga mengangguk. Sampai Angga pun mengeluarkan pendapatnya. "Mau dikatakan enak, juga lumayan, kalau mengatakan tidak, papa langsung cosplay jadi T-Rex. Jadi, saya akan memberi nilai 8/10 untuk rasa dan tampilan cookiesnya."

Johan membenarkan perkataan sang anak dengan anggukan. "9/10 untuk penilaian dari saya. Bagus-bagus. Tapi sayangnya, kurang banyak."

"HAHAHAHAHAHA!"

Tidak ada angin, tidak ada hujan, keluarga kecil itu secara serempak tertawa terbahak-bahak. Mahen yang melihat kemudian mengikuti, meski tidak tahu apa yang sedang mereka tertawakan.

"Udah-udah, berhenti ketawanya. Nah, nak Mahen duduk dulu. Om bakal nyiapin makan malam." Jay mengusap pundak Mahen lalu meninggalkan ruang makan. Kini menyisakan Johan, Angga dan dosen muda itu.

"Gak nyangka mantu Om bisa mahir buat cookies, enak pula. Iya, 'kan, Dek?" Johan memuji sembari memasukkan lagi cookies buatan sang istri dan calon mantunya ke dalam mulut. Sedikit terselip kalimat sindiran untuk sang anak yang sudah kembali memasang ekspresi memberengut.

"Karena ada Om Jay yang bantu bimbing, jadi lumayan dapat ilmu dikit-dikit."

Johan mengangguk-angguk paham. Ia melirik Angga yang masih dalam keadaan cemberut. Bibirnya manyun. Kayak bebek kalau kata Johan.

"Beda banget sama yang di sebelah Om. Masak aja kadang suka keliru buat bedain mana garam sama mana gula."

Angga melirik Johan sinis. "Belain terus, belain. Aku marah pokoknya sama Daddy!" Angga beranjak pergi dari ruang makan. Si manis itu mengurung diri di kamar dengan daddy Johan yang tertawa puas lantaran bisa membuat anak semata wayangnya itu kesal.

"Susul bojomu sana. Merajuk, tuh," goda Johan. Mahen menanggapinya dengan senyuman. Ia lalu izin pamit menyusul Angga.

...

"Hey ... tok-tok-tok-tok. Do you wanna build the snowman." Mahen berbisik dari lubang kunci. Berharap si pemilik kamar akan membukakan pintu. "Anggara, bisa kamu keluar dulu?"

Tak ada jawaban. Mahen tersenyum tipis. Kembali mengetuk pintu kayu bercat putih gading yang di depannya ada sebuah tempelan bergambar anak anjing berwarna putih.

"Oke, kalau kamu tetep gak mau buka pintu. Kayaknya emang kehadiran saya menganggu kamu banget, ya? Saya cuma mau bilang, saya gak jadi menginap. Saya pamit pulang dulu. Mimpi indah, Anggara."

Dari dalam kamar, lebih tepatnya di balik pintu yang tertutup itu, Angga sudah menampilkan reaksi panik. Ia langsung membuka pintu, di mana langsung disuguhkan oleh eksistensi Mahen yang masih berada di tempat. Mahen tidak pergi.

"Jangan!" pekiknya. Bibir Angga mengerucut maju. Memandang sang tunangan dengan ekspresi sedih. "Aku seneng kalo mas di sini nemenin aku. Aku cuma bercanda marah sama mas Mahen. Jangan pergi ...."

"Saya ada pekerjㅡ"

"Gak boleh! Gak boleh, gak boleh, gak boleh! Pokoknya gak boleh pergi!" Angga menarik tangan Mahen guna masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu lalu menguncinya. Ia juga menghadang pintu seolah-olah tak membiarkan Mahen yang hendak pergi.

Mahen tersenyum. Angga sangat menggemaskan. Ia mendekati sang tunangan lalu membawanya untuk berbaring di tempat tidur. Mahen juga ikut berbaring di sebelah Angga. Menjadikan lengannya sebagai bantal untuk kesayangannya. Ia memeluk Angga dari samping sembari memberi kecupan-kecupan ringan di rambut hitam Angga.

"Udah, sekarang kamu tidur," titah Mahen.

Angga menggeleng. Menyamankan diri di dalam pelukan Mahen. "Tapi jangan pergi," ungkapnya dengan suara lirih.

"Iya, saya gak kemana-mana. Saya di sini nemenin kamu."

Angga tersenyum senang. Mengangkat sedikit badannya lalu mengecup cepat bibir tipis sang tunangan. Ia kembali ke posisi semula. Mulai menutup mata, membiarkan Mahen yang masih dalam keterkejutan.

Pak MahenOù les histoires vivent. Découvrez maintenant