Chapter 28

8K 533 22
                                    

"Keluarga pasien?"

Seluruh penghuni yang menunggu di depan ruang UGD tersebut berdiri. Ayah dan bunda Mahen mendekat, memberitahukan secara tersirat bahwa mereka adalah orang tua pasien.

"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"

Dokter laki-laki yang menangani Mahen itu menarik napas. "Kecelakaan yang dialami pasien menimbulkan beberapa komplikasi di beberapa bagian anggota tubuh. Salah satunya benturan di kepala depan yang membuat pasien mengalami gegar otak ringan."

"Mahen ... anakku ...." Air mata bunda Mahen kembali keluar. Wanita itu menangis lagi untuk yang kesekian. Sang suami di sebelahnya hanya mampu memeluk dan menenangkan sang istri.

"Saat ini pasien harus mendapatkan perawatan intensif. Untuk itu, bila ingin melihat ke dalam, tidak boleh melebihi batas maksimum dua orang, dan juga mohon jangan menimbulkan kebisingan," ucap sang dokter.

Angga berjalan mendekat. Kondisinya tak berbeda jauh dengan ibunda Mahen. Hidungnya memerah, ditambah bekas-bekas air mata membasahi kedua mata dan pipinya.

Ia meraih tangan kanan sang dokter sembari menitikkan air mata, lantas mengutarakan permohonannya. "Dokter, saya mohon, bantu mas Mahen agar sembuh."

"Baik, kami akan mengusahakannya. Harap bersabar, jangan menangis."

....

Johan berlarian diantara lorong-lorong rumah sakit. Kepala keluarga Adhinatha itu sempat shock mendapatkan kabar dari sang istri jika calon mantunya kecelakaan. Johan bahkan masih mengenakan kemeja kantor, karena Ia langsung bablas ke rumah sakit.

Semakin dekat dengan ruang UGD, Johan dapat melihat istri dan anaknya duduk di kursi tunggu depan ruangan. Pria itupun mempercepat langkahnya, menghampiri kedua kesayangannya yang tampak kacau, apalagi putra manisnya.

"Peach, Adek," panggil Johan. Kedua oknum yang merasa dipanggil pun menengok.

"Daddy! Mas Mahen, Dad, Mas Mahen." Angga mengadu tak berdaya pada Johan. Memeluk sang ayah sembari menumpahkan tangisannya lagi.

"Adek, udah, dong, ah. Jangan nangis terus. Adek udah sejam lebih lho nangisnya, nanti matanya sakit," keluh Jay mengingatkan. Ia menatap sang suami berharap biar Johan pula yang gantian menenangkan anak semata wayang mereka.

Johan mengangguk paham. Ia membawa tubuh sang anak kembali duduk di kursi. Tangan kanannya tergerak mengusap pundak Angga yang terasa naik turun akibat sesenggukan.

"Adek, ini rekor adek loh nangis sejam tanpa berhenti sampe tersengguk-sengguk gini. Mau daddy beliin apa? Cimol? Martabak? Bakso? Ayo ngomong, karena adek udah mecahin rekor baru yang bahkan daddy sama papa aja gak bisa."

Jay menatap sang suami dengan pelototan. Apa-apaan itu?

"Adek lagi sedih, daddy jangan bercanda," ungkapnya lirih.

"Tapi 'kan adek keren, bisa nangis selama itu. Seharusnya masuk ke buku rekor punyanya Sandy Cheeks di kartun Spongebob. Daddy yakin, pasti gak ada yang bisa ngalahin rekor adek nangis sejam nonstop." Johan terkekeh sendiri dengan perkataannya. Hanya saja, isakan masih terdengar memerangkap ke dalam rungunya.

"Ayo main tebak-tebakan sama daddy," ajak pria itu belum menyerah.

Jay di sampingnya hanya bisa menggeleng-geleng tak habis pikir. Suaminya itu benar-benar payah, tapi Ia menghargai usaha Johan dalam menenangkan Angga yang terkesan sungguh-sungguh tak ingin melihat putra mereka bersedih, meski dengan cara kelewat absurd.

"Daddy mulai, ya?" tanya Johan memastikan. Tak ada jawaban, tapi Johan paham jika Angga pasti mendengarkannya. "Doa-doa apa yang langsung terkabul?"

Tangisan Angga tak seperti tadi. Isakannya pun mulai memelan. Hanya tinggal sesenggukan saja.

Pak MahenWhere stories live. Discover now