Chapter 13

13.8K 1K 13
                                    

:D


"Angga, main, yuk?"

Pagi-pagi buta seperti ini, hanya orang gila yang bisa dengan seenak jidatnya berteriak-teriak didepan rumah orang. Katakanlah bahwa urat malu Natan telah putus, tapi kalau kata Raihan, itu memang fakta. Pukul 05.46 dini hari, disaat bumantra masih belum jelas menampakkan aruna yang menandakan telah pagi sepenuhnya. Benar-benar manusia gila.

Alih-alih disuguhkan pemilik rumah yang membukakan pintu, Natan justru dibuat terkaget-kaget begitu muncul seekor anjing ras Pit Bull dari samping tembok pagar kediaman Adhinatha. Itu bukan peliharaan Daddy Johan ataupun Angga, tapi memang seringkali berkeliaran disekitar komplek. Hewan itu dikenal cukup galak.

"GUK ... GUK!"

Natan dengan brutal menggoyang-goyangkan pagar besi didepannya saat anjing itu menghampiri. Ia berusaha memanjat pagar guna menghindari anjing yang kini menggonggong dibawahnya. "Woy Angga, tolongin gue, cuk! Jangan gigit gue, ampuuuun. Minta maap udah bikin rusuh. Gue cuma mau ngajak kawan gue joging. Baperan banget lo jadi anjing!"

"GUK ... GUK ... GUK!"

"Elah nyusahin banget, sih. Angga, keluar woi. Maaaak ... toloooong ... arghhh!"

Angga mendecak marah mendengar keributan di luar rumahnya. Siapa sih gerangan yang membuatnya terbangun disaat masih bisa mengarungi alam mimpi?

Menghela napas. Sambil berdiri bersedekap dada, memandang kebisingan yang diciptakan oleh Natan dari balkon kamar. "Anak tolol." Selepas berseru penuh sarkasme, Angga berjalan kembali masuk ke dalam. Ia hanya ingin membasuh muka, menggosok gigi, setelah itu ganti baju. Sesuai agendanya hari ini, ia akan pergi joging bersama Natan. Membiarkan sohibnya yang sedang berjuang keras agar tidak terkena gigitan anjing itu, menjerit-jerit histeris.

...

"Bukannya Haikal nginep di rumah lo?" tanya Natan disela-sela melakukan pemanasan. Dia berhasil selamat dari anjing galak berkat bantuan Angga yang entah secara ajaib, anjing itu mampu mematuhi Angga bak majikan kesayangan.

"He'em, tapi pas gue ajak joging dianya cuma ham-hem doang. Kalau sampai dia ngebacot di grup, jangan segan buat ingetin gue untuk nyumpel mulutnya pakai kaos kaki."

Natan tertawa keras. Paling suka moment pergelutan antara kedua sepupu ini saat sudah beradu argumen. "Siaaaap," tuturnya dengan melakukan gerakan tangan lurus menyamping yang ditekan menggunakan tangan satunya. Tak lama kemudian, Natan menyudahi pemanasannya untuk beristirahat. Ia berkacak pinggang, menatap Angga yang duduk di kursi, yang menjadi tempat mereka bersinggah. "Tapi gue masih penasaran sama satu hal."

"Apaan?"

Natan mendudukkan dirinya di sebelah Angga. "Hubungan lo sama pak Mahen. Gue emang gak tau ada apa diantara kalian, tapi lo berdua sus banget."

Telapak tangan Angga saling bertautan. Kedua sudut bibir itu berangsur-angsur tertarik membentuk senyum canggung. Bahkan teman-temannya sendiri mengatakan jika dirinya berhubungan dengan sang dosen, meski kenyataannya memang benar. Hanya saja, apakah sikap Angta dalam menjalani hubungan diam-diam bersama Mahen terlalu jelas, sampai-sampai para kawannya bisa berpendapat bahwasanya ia dan Mahen tengah menjalin hubungan.

"E-enggak. Ngawur aja lo. Mana ada!"

Alih-alih dapat mempercayai sanggahanya, Natan makin menatap Angga penuh selidik. Kini jemari-jemari itu saling bergerak abstrak. Menghalau rasa kekhawatiran dengan mengkondisikan ekspresi agar tidak menunjukkan raut panik. Bahkan kini jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Lo pikir, gue tolol?"

Duuuh, Angga jadi makin merasa gugup. Walaupun terkadang Natan sedikit gila, tapi dalam urusan tebak-menebak seperti ini, dialah jagonya. Tak heran saat pertama kali mendekati Raihan, ia bisa dengan gamblang dan berani mengutarakan perasaan timbal balik dari si manis itu hingga membuat Raihan tersipu malu. Angga masih mengingat kejadian lampau yang membuatnya ingin muntah.

Namun, bagaimana cara Angga harus berbohong? Alasan apa yang musti ia berikan kepada Natan yang kini tengah memandangnya bak seorang polisi yang sedang menginterogasi narapidana pembunuhan? Tak ada objek alasan untuk diberikan. Meminta bantuan juga kepada siapa selain mengandalkan otak pintarnya untuk berdusta?

"Gue haus, mau nyari Nasi Goreng dulu. Mau nitip, gak?"

Natan menjitak kepala Angga. Menimbulkan pekikan tak terima dari si empu. "Jangan bertele-tele lagi. Jelasin ke gue, sejujurnya. Gue gak butuh kebohongan lo," serunya penuh penekanan, pemaksaan, dan penindasan. Itu menurut apa yang Angga rasakan dari aura menyeramkan Natan.

"Ck! Gak ada yang harus dijelasin. Mendingan kita lanjut joging. Matahari makin naik, nih. Mana makin ramai, makin banyak orang pula. Gue habis ini ada urusan."

"Iya. Urusan ngedate sama pak Mahen, kan?"

...

"Mas, kita batal untuk hari ini!"

"Loh, kenapa?"

"Natan maksa aku buat jelasin tentang hubungan kita. Dia bisa nebak kalau hari ini kita ada ngedate. Dia bilang bakalan buktiin. Aku takut semisal Natan ngikutin kita. Tuh anak kalau gabut bisa bahaya."

"Hm, ya sudah kalau begitu. Mau diganti jadi kencan virtual aja? Saya lagi butuh penyemangat."

"Dengan senang hati, Yang Mulia."

Panggilan yang semula suara tadi, beralih menjadi sebuah panggilan video. Dari layar laptop, terpampang jelas wajah tampan Mahen. Background di belakang Mahen sepertinya dia tengah berada di ruang guru. Angga tersenyum hingga kedua matanya menyipit cantik. Melambaikan tangannya kepada sang tunangan yang tampaknya sedang disibukan oleh pekerjaannya sebagai seorang dosen.

"Kamu manis banget. Paman Jay di rumah?"

Angga memanyunkan bibir. "Ini kamu puji aku, tapi nyariinnya papaku. Gak jelas, deh."

"Ya, kan saya nanyain calon mertua dulu. Barangkali dengan apa yang saya ucapkan, bisa makin buat rekat hubungan kita karena restu mertua."

"Serah lo dah. Btw, mas Mahen kapan ke kampusnya? Banyak banget, ya, pekerjaan kamu?"

"Hahaha, tenang aja. Udah biasa juga ngurus beginian, apalagi dalam jumlah banyak. Kalau dibilang sibuk, mungkin iya. Semisal kita jadi ngedate, agaknya pekerjaan saya bakal kelar besok. Tapi beruntunglah takdir membawakan Natan buat batalin agenda. Jadi, saya bisa ngebut buat menyelesaikan."

"Oooh ... jadi lo seneng kita batal ngedate?"

Dari layar laptop itu, Mahen membulatkan kedua matanya dari balik kacamata baca yang ia kenakan. Woi, dia salah ngomong!

"E-ehh ... bukan begitu. Maksudnya, saya senang. Hanya saja, saya dapat tugas mendadak yang gak bisa bikin kita bener-bener pergi ngedate bareng hari ini. Terus kamu bilang takut Natan ngikutin kita pas lagi kencan, makanya kamu batalin rencana kita. Jadi, saya bisa lanjut menyelesaikan pekerjaan saya sebagai gantinya."

Angga masih menampilkan ketiadaan ekspresi. Hal itu membuat Mahen meringis kecil. Merasa amat bersalah karena ucapannya mengandung ambiguitas yang membuat salah paham sang tunangan. Bisa gawat jika Angga marah. Membujuknya susah!

"Pas pulang, bawain martabak."

Mahen mengangguk. "Kalau perlu nanti saya bawain sekalian susu cokelat kesukaan kamu."

"Sama McDonald's?"

"He'em, McDonald's juga."

"Jangan lupa seblak. Teruuuuss ... es krim!"

"Tunggu-tunggu. Kamu bisa habisin semuanya?"

"Bisalah. Kata siapa gak bisa?"

Mahen tersenyum. Lebih mengarah tersenyum penuh tekanan. Tapi demi si manis agar tak merajuk, maka Mahen akan menyanggupinya dengan senang hati.

Pak MahenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang