Chapter 7

16.6K 1.3K 25
                                    

Angga memberengut seiring dirinya memikirkan rencana pernikahannya bersama sang dosen. Sembari tengkurap, tangannya aktif mengelus Anabul yang merupakan kucing peliharaan kesayangannya.

"Gue masih gak terima. Sebegitu gak kepenginnya Daddy sama Papa semisal gue kedapatan milih pasangan hidup yang gak bener, bahkan sampai repot-repot nyariin pasangan buat gue, itupun seseorang yang gak gue suka. Yaaah, walau kadang bikin emosi, dia juga baik kok, bikin gue baper sama perilakunya malahan."

Angga mendengus kesal, lalu mengubah posisinya menjadi telentang setelah selesai bergumam putus asa. Arah matanya memandang langit-langit kamar sambil terus berpikir banyak hal.

"Ngeselin deh!" pekiknya geram.

"Angga, ke sini sebentar sayang."

Masih dengan ekspresi memberengut, Angga menolehkan kepala menatap pintu kamarnya yang tertutup. Papa Jay menyuruhnya untuk keluar. Dengan berat hati, Angga beranjak dari tempat tidur lalu berjalan keluar menuju di mana Papanya berada.

"Apa sih Pa? aku tuh pengen tidur!" Angga melirik presensi orang lain selain Papanya. Seketika melotot menyadari kala orang tersebut adalah Mahen. "Heh, ngapain bapak ke sini?!" tanyanya setengah berteriak.

"Hushh ... calon suami dateng kok nanyanya ngapain ke sini sih. Pertanyaan gak bermutu banget. Nak Mahen ke sini karena Papa undang buat makan malem bareng. Daddy kamu bentar lagi pulang, kamu lebih baik temenin nak Mahen dulu selagi Papa nyiapin makanan."

Sebelum melayangkan ujaran protes, terlebih dahulu Jay meninggalkan ruang tamu. Menyisakan sang anak bersama calon menantunya di sana.

"Ngapain berdiri kayak patung begitu? Duduk sini, saya mau ngomong sesuatu," perintah Mahen seraya menepuk tempat di sebelahnya yang kosong.

Angga tidak ada alasan untuk kabur. Iapun duduk di samping Mahen dengan wajah memberengut.

"Saya sempat bilang ke kamu buat pacaran sama saya minimal dua minggu, ingat? saya sudah renungkan, dan kesan saya cukup memaksa kamu buat menerima semua permintaan saya. Saya tau kamu gak senang dengan rencana orangtua kita, maka dari itu, izinkan saya buat perjuangin kamu, buat dapatin kamu supaya juga cinta sama saya. Kamu mau kan beri saya waktu dua minggu untuk itu?"

Angga bergeming. Tatapannya memandang selidik sang dosen yang sekiranya hanya beromong kosong. Namun, Mahen tampak bersungguh-sungguh pada ucapannya.

"Kalau saya masih belum bisa buat kamu juga cinta sama saya, gak ada alasan buat saya pertahanin kamu. Saya bakal bilang kepada paman Johan untuk membatalkan perjodohan ini dan kita bakal jalani kehidupan masing-masing tanpa adanya ikatan hubungan diantara kita lagi."

Angga memandang sayu wajah tampan di depannya. Entah mendapatkan bisikan darimana, membuat Angga mendekatkan sedikit badannya lebih merapat kepada sang dosen. Ia meraih tangan kanan Mahen lalu digenggamnya erat.

"Sejak awal, gue gak setuju sama permintaan lo. Gue emang belum ada rasa sama sekali, gue sebel sama lo karena lo adalah dosen paling nyebelin yang pernah gue kenal. Tapi bisa gak sih, gak usah pake waktu buat buktiin bisa atau enggaknya lo bikin gue balas cinta lo? Gue mau kita yang sama-sama berjuang, gue pengen gak cuma lo doang yang kudu berjuang sedangkan di sini gue sebagai pihak penerima. Gue juga bakal berjuang supaya bisa cinta sama lo. Tolong bantu gue buat mewujudkannya."

Genggaman di tangan Mahen semakin menguat. Lelaki tampan yang menjabat sebagai dosen Bahasa Inggris itupun mengembangkan senyumannya. Dia mengangguk, lantas membawa telapak tangan Angga ke dada yang berdetak dan mengusapnya penuh kelembutan.

Cklek

"Daddy pulㅡang." Johan tercengang oleh pemandangan di depannya.

Mendengar suara orang lain selain mereka berdua, lekas Jeno melepas genggaman tangannya. Ia beringsut menjauhi Mahen yang juga tengah memperbaiki posisinya agar duduk tegap dan seperti semula.

"Ekhem! udah akrab aja nih sampai-sampai berduaan pas Daddy atau Papa gak lihat."

"Apaan dih, Dad. Sana-sana ganti baju. Cepetan. Aku udah laper banget nunggu Daddy lama kayak cewek!"

"Cieee ... salting ya anak manisnya Daddy?"

"Daddy!"

"Iya-iya, Daddy pergi nih. Lanjut aja kalian mesra-mesraan, tapi jangan macem-macem!"

"Dad, aku beneran bakal teriak kalo Daddy ngomong lagi!"

Johan mengacungkan kedua jarinya (jari telunjuk dan jari tengah) guna memberi perdamaian kepada Angga. Pria itu berjalan naik ke lantai dua, meninggalkan kedua sejoli muda yang sedang saling terkekeh.

...

"Nak Mahen, tambah atuh nasinya. Biar kenyang," titah Jay.

"Hehehe, iya paman Jay nanti kalau ngerasa kurang bakalan tambah kok. Masakan paman the best pokoknya."

Mahen melirik Angga yang makan makanannya dalam diam. Ia tersenyum tipis melihat cara makan Angga yang begitu menggemaskan.

Kedua pipi semi berisi tersebut menggembung dengan bibir yang mengerucut maju. Kalau kata Mahen, Angga lebih terlihat mirip seperti anak balita.

"Paman belum tahu banyak tentang kamu, Mahen. Kamu menjabat sebagai dosen Bahasa Inggris itu udah sejak kapan?"

Mahen menaruh tisu yang habis dibuatnya mengelap bibir. "Saya menjadi dosen sudah cukup lama, mungkin sekitar 5 tahun yang lalu. Saya lulus kuliah langsung mendapat panggilan pekerjaan, dan pertama kali mengajar saya sempat menjadi wakil, gak lama sih cuma berjalan beberapa bulan doang. Setahun kemudian saya mutusin lanjut studi lagi supaya biar bisa jadi dosen, hingga sekarang."

"Terus, Angga kalau di kampus gimana?"

Mendengar namanya disebut, sontak membuat Angga menaikan kelopak matanya memandang Mahen. Kebetulan tempat duduk Mahen berada tepat di hadapannya.

"Ya begitulah paman, begajulan. Tapi gak setiap hari Angga bikin onar. Paman tahu sendiri 'kan, anak remaja itu liar karena pengen bersenang-senang meskipun caranya salah."

Johan mengangguk setuju. "Angga, kurangi nakalnya. Udah mau nikah harus kudu bersikap dewasa. Malu sama nanti anak kalian kalo gak bisa berubah sikapnya."

"Iyaaaa!"

"Dinasehati responsnya yang bagus dong, anak Daddy yang cantik."

"Sumpah deh!" Ini Angga udah lemes banget meladeni Daddynya yang suka sekali menggodanya.

Apalagi melihat Mahen yang ketawa-ketiwi menyaksikan tanggapan Angga. Ayolah, Angga juga tahu dia harus bagaimana. Bersikap dewasa Angga bisa, namun itu semua membutuhkan suatu proses yang luar biasa.

"Lihat nak Mahen, ngambek tuh anaknya. Gak usah ditemenin."

"Daddy, astaga!" Angga mengelus dadanya sabar. "Pa, suaminya ngeselin banget tuh, heran deh!" adu Angga kepada Jay yang tertawa menonton aksi sang suami dan anak.

"Hihh, apaan, gak genlte banget mainnya ngaduan."

"Terserah aku dong."

"Yang ngaduan gak usah ditemenin."

"Daddy sok asik!"

"Emang asik kok, ya gak, nak Mahen?"

Mahen mengangguk saja. Tak mampu berhenti untuk tidak mentertawakan kegaduhan di ruang makan antara calon mertua dan calon istrinya.

"Curang lo, gak dukung calon istri sendiri!" protes Angga.

"Nah, merajuk tuh anaknya," ucap Jay menimpali.

"Tau ah, males. Semuanya nyebelin!"

Berakhir ketiga laki-laki di ruang makan itu tertawa lepas. Lucu melihat air muka Angga yang memberengut sebab terkesan imut saat dipandang.

Pak MahenWhere stories live. Discover now