Chapter 21

6.8K 632 23
                                    

"Anak ngentot!"

Angga menatap nyalang dua sosok yang membuat wajahnya merah padam. Sialan, sialan, sialan, seharusnya Angga tidak perlu memikirkan untuk memaafkan Mahen jika pada akhirnya Ia lagi dan lagi dibuat naik pitam!

Coba bayangkan, siapa yang tidak tersulut emosi jika calon suamimu mengacak-acak rambut rekan kerjanya sendiri sembari menunjukkan seulas senyum manis bak orang tengah kasmaran?

Tatapan Angga kini menyalang dengan sorot menusuk. Ia meremat bungkus Sari Roti yang sempat dibelinya untuk diberikan kepada Mahen sebagai bentuk permintaan maaf karena telah merajuk. Tak peduli bila roti dalam bungkus tersebut ikut remuk, intinya sekarang Anggara sedang sebal.

"Gue tandain lo berdua!"

Angga berlalu pergi. Ia melempar kemasan roti yang telah burik bungkusannya ke dalam tong sampah.

Hari ini merupakan hari yang paling bikin Angga pengen misuh-misuh, dan orang yang membuatnya habis kesabaran adalah calon suaminya sendiri.

"Emang lo doang yang bisa selingkuh? Awas aja, gue bales lo, Mahen anjing!" gerutunya di sepanjang koridor menuju kelas. Tak mempedulikan berbagai tatapan para murid terhadapnya.

Setiba di kelas, Angga langsung saja duduk. Sama sekali tak mengucap sepatah kata kepada tiga temannya yang melihat dirinya. Angga berekspresi murung. Raihan yang memang peka, kemudian berinisiatif pindah tempat duduk, menjadi duduk di sebelah Angga.

"Kenapa lo, sepet begitu mukanya?"

Nah, ini bukan Raihan yang bicara, melainkan Haikal. Pemuda berstatus kekasih hati dari Raihan itu duduk di depan Angga, menunggu jawaban atas pertanyaannya barusan.

"Apaan sih lo, Kont—"

"Heh, mulutnya!" Raihan langsung saja menyumpal mulut Angga dengan klepon yang dari tadi sedang dimakannya. "Anak bayi gak boleh ya ngomong kasar! Kenapa sih, ada apa? Cepet cerita."

Sambil mengunyah klepon yang masuk secara paksa ke dalam mulutnya, bibir tipis berwarna merah muda itu manyun. "Mahen ngeselin, Han. Masa dia giniin rambutnya Pak Berza, mana keknya Pak Berza salting gitu. Gue gak terima, anying. Calon suami gue itu, arghh!"

"A-aduh ... aduh ... anjing, lepasin, Tolol! Goblok, sakit rambut gue, woi, Anggara!" Natan memekik kencang ketika awalnya Angga mempraktekkan bagaimana ketika Mahen mengelus rambut Pak Berza pada dirinya, tapi berakhir terkena jambakan maut di rambutnya.

Raihan sigap langsung melepas tangan Angga dari rambut sang pacar. Raihan dibuat meringis tatkala melihat beberapa helai rambut Natan tertinggal di telapak tangan Angga, menentukan seberapa kencang dan kuat Angga menjambak rambut Natan.

Haikal tertawa terbahak-bahak. Lucu melihat keributan ini. Sayangnya, Shian tak bisa ikut menyaksikan, mengingat teman baiknya itu berada di fakultas yang berbeda dengan dirinya dan ketiga teman-teman sengkleknya ini.

"Ya gak usah narik-narik rambut juga, Bego! Lo kira gak sakit apa? Marah mah marah aja, jangan gue juga yang lo jadiin pelampiasan!"

Angga hanya mendengkus. Pemuda manis itu membenamkan wajah pada lipatan tangannya di atas meja. Ia tidak mood untuk bercekcok. Benaknya masih terus teringat kejadian yang membuatnya sangat kesal, marah, geram, dan jengkel.

...

Angga sampai di rumah. Baru saja membuka pintu. Ia menenteng sepatunya lalu ditaruh di rak sepatu yang letaknya tak jauh dari pintu utama. Air mukanya masih menampilkan ekspresi murung. Saking murungnya, Angga sudah seperti mayat hidup. Ia berjalan bak orang yang tidak memiliki gairah kehidupan. Langsung saja menjatuhkan badannya ke kursi sofa panjang.

"Gini banget anaknya Pak Johan, pulang-pulang gak salam atau apa, main tiduran aja di sini. Mandi dulu sana, habis itu makan."

Angga berdehem singkat sebagai respons. Ia sungguh sangat lelah, ingin tidur sebentar kalau bisa. Tapi mau bagaimanapun, Angga tidak bisa melawan perkataan papa tersayangnya itu. Disaat hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja, makanan Papanyalah yang menyelamatkan hidup seorang Anggara. Karena dengan makan, Angga bisa menghilangkan sejenak beban pikirannya.

"Kamu kenapa sebenernya?" tanya papa Jay heran. Putra semata wayangnya itu tak biasanya seperti ini.

"Gapapa."

Kedua mata Jay memicing sinis. "Kalo gapapa kok mukanya ditekuk gitu?" Papa Jay masih berusaha agar membuat sang anak berbicara. "Eh, itu mukanya kenapa babak belur gitu, astaga, Anggara?!" pekiknya histeris. Baru sadar jika di wajah sang putra terdapat lebam keunguan.

"Gapapa."

"Dih, sebel deh papa ngomong sama kamu! Jangan kayak anak gadis deh, ditanya kenapa jawabnya gapapa. Kamu itu kenapa, terus muka bonyok-bonyok begitu, habis berantem?"

"Udah tau kenapa nanya."

Jay memperlihatkan ekspresi masam. Sengaja mendengkus keras biar anak semata wayangnya melirik, tapi Angga bersikap acuh tak acuh.

"Terserahlah, papa capek, papa pusing!"

...

Mahen memberhentikan mobilnya di depan sebuah pagar besi berwarna hitam. Ia tersenyum simpul kepada sosok yang duduk di sebelahnya saat ini. Pak Berza. Dosen yang usianya jauh lebih tua tiga tahun dari Mahen itu yang tadi membuat Anggara sangat geram.

Berza turun dari dalam mobil sembari membawa dua paper bag di masing-masing tangannya. "Makasih banyak, Mahen. Saya gak tau lagi musti gimana kalau gak ada kamu. Maaf banget kalau saya bikin kamu kerepotan karena ngurus saya. Calon anak saya lagi pengen ditemenin sama yang ganteng-ganteng," gurau Berza sembari mengelus perutnya yang sedikit menonjol.


"Terima kasih kembali. Kalau begitu nanti titipin salam saya buat kak Theo. Dijaga kandungannya, saya pamit pulang dulu."

"Hati-hati di jalan."

Sepeninggal dirinya dari perkomplekan Berza, Mahen berulang kali menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Ia melaju sedikit kencang membelah jalanan yang ramai oleh kendaraan lain. Ia harus segera ke kediaman Adhinatha sebelum hal yang tidak diinginkanya semakin parah.

Begitu sampai, Mahen tanpa babibu langsung turun dari dalam mobil. Berlari tunggang langgang menuju pintu utama rumah sang mertua guna mengetuk pintu yang memang dari awal sudah terbuka. Sebab, demi menjaga adab dan sopan santun sebelum tuan rumah mengizinkannya masuk.

"Kalian lagi berantem, ya?" Alih-alih mendapat sambutan yang manis seperti sebelumnya, Mahen dipertanyai oleh pertanyaan dari calon ibu mertua.

"Saya harus berbicara empat mata dengan Anggara, Pah."

Jay menghela napas, lalu mengangguk. "Papa gak tau apa yang lagi terjadi sama kalian berdua, tapi sebaiknya kalian segera berbaikan. Papa kan mau cucu, nanti kalau kalian kandas, papa dapet cucu darimana?"

"Mahen usahakan, Pah. Kalau begitu Mahen izin ...." Mahen sengaja tidak melanjutkan kalimatnya, tapi matanya mengode ke lantai dua di mana kamar Angga berada. Jay hanya mengangguk, mempersilakan calon mantunya menjadi pria gentle.

"Dasar anak muda zaman sekarang," celetuk Jay seraya menghidupkan televisi menggunakan remot. Jemarinya sibuk memilah saluran televisi yang akan ditontonnya.

Ia memutuskan untuk menonton berita, sampai pria manis satu anak itu diperdengarkan oleh sayup-sayup suara percekcokan dari arah kamar Angga. Untuk kesekian kalinya, Jay menghela napas. Benar-benar tak habis pikir.

Pak MahenWhere stories live. Discover now