Chapter 8

13.9K 1.2K 47
                                    

Tak terasa acara makan malam bersama diselingi kegiatan obrolan ringan di kediaman Adhinatha berlalu begitu cepat, sampai mereka tak menyadari waktu yang semakin larut. Apalagi di luar tengah hujan gerimis. Mahen terpaksa menetap sebentar sekiranya sampai sedikit mereda. Namun makin dirinya menunggu, justru makin deras hujan di luar.

"Menginap aja, nak Mahen. Kalau menunggu, kemungkinan akan reda disaat orang-orang masih terlelap. Bukannya besok kamu ada kelas mengajar? Paman bisa membersihkan kamar tamu buat kamu."

"Eh? gak usah paman Jay. Saya bakalan tidur di sofa aja. Lagian cuma semalem, daripada capek-capek bersihin kamar, mendingan sekalian aja saya yang tidur di sofa."

"Loh, kamu kan di sini tamu. Masa tidur di sofa?"

Mahen menggaruk tengkuknya meskipun tidak merasakan gatal. Ia merasa tidak enak karena tak ingin merepotkan calon mertuanya. "Gak papa paman. Saya udah biasa tidur di sofa."

"Pak Mahen tidur di kamar aku, Pa."

Kedua laki-laki itu menengok secara bersamaan. Mahen sempat ingin menolak, namun Angga langsung menyeretnya menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Jay menggeleng-gelengkan kepalanya. Merasa aneh oleh sifat anaknya yang sering berubah-ubah.

Angga menyodorkan kaos putih berlengan pendek serta celana training sebagai baju ganti Mahen. Tidak mungkin bukan semisal Mahen mengenakan kemeja dan celana jeans untuk tidur?

"Makasih calon istri."

Lelaki manis itu melempar baju dan celana di tangannya hingga mengenai wajah rupawan Mahen. Tak mengatakan apapun, langsung membaringkan tubuhnya sambil membuka-buka halaman novel.

"Itu novelnya kebalik, masih bisa dibaca?"

Angga tersadar lalu membalikkan bukunya. Sial, wajahnya makin memerah. Ia tersipu oleh ungkapan Mahen tadi yang membuatnya tak bisa fokus.

"Sana ganti bajunya!"

Alih-alih mematuhi perintah Angga, lelaki itu justru malah merebahkan badannya di samping Angga. Merengkuh supaya semakin dekat hingga Mahen dapat mencium aroma manis dari tubuh Angga yang membuatnya tak bisa menjauh barang sedikit saja.

"Masss, apaan sih peluk-peluk? Minggiiirr!" Angga meronta kecil agar bisa terlepas dari dekapan Mahen.

Lelaki itu tak mengindahkan. Tetap pada posisi ternyamannya memeluk sang terkasih. Angga menghela lemas. Tak lagi memberontak. Membiarkan Mahen berbuat sesuka hati sekiranya sampai merasa puas. Mau dikata menolak juga sepertinya tidak sungguh-sungguh. Angga pun merasakan kenyamanan dalam posisi seperti sekarang ini.

"Kamu hangat," gumam Mahen makin mengeratkan pelukan. Ia sangat menyukai aroma lembut dari badan Angga yang membuatnya enggan berjauhan.

Angga mengambil posisi menyamping. Meski ada secuil keraguan, tapi niatnya untuk memeluk balik sang dosen tak urung. Ia dapat melihat wajah tampan Mahen dari jarak yang sangat dekat. Mengagumkan. Angga tak pernah menyangka sebelumnya, dapat menyaksikan salah satu ciptaan Tuhan dari sekian banyak ciptaan-Nya yang lain, tapi baginya, Mahen adalah yang paling sempurna.

Membungkamkan Angga dalam sekejap. Pandangannya memandang penuh kekaguman oleh sosok di depannya yang tak lama lagi akan bersatus sebagai pasangan hidupnya. Tak ayal bila para mahasiswa maupun mahasiswi di kampus jatuh pada pesona sang dosen bahasa inggris tersebut. Mahen mempunyai caranya tersendiri untuk menarik para pengagumnya.

"Anggara."

Angga berkedip selepas tak sadar dirinya melamun. "Hah?"

Dengan perlahan, kedua kelopak mata yang terpejam itu berangsur-angsur terbuka. Menampilkan iris kecokelatan yang begitu indah tengah menatap balik sang kekasih. Keduanya saling bertukar pandang. Menyelami masing-masing keelokan yang dimiliki dengan perasaan membuncah.

"Kamu cantik."

Angga bergeming. Pupil matanya bergerak-gerak sesekali berkedip. Hal itu mengundang kekehan berasal dari Mahen yang tak kuasa menahan gemas. Ia tak tanggung-tanggung untuk menarik pipi gembil merah merona Angga.

"Hahaha gemes banget sih. Udah, sekarang kamu tidur. Udah malem. Saya ganti baju dulu." Mahen beranjak dari tempat tidur. Berjalan masuk ke dalam kamar mandi.

Angga langsung menyentuh dada. Berdetak kencang tak semestinya. Ia menjerit dalam diamnya sanubari. Menumpahkan segala yang dirasakan sambil menahan teriakan yang ingin sekali keluar dari mulutnya.

Siapa kira, ternyata dibalik sifat menyebalkan Mahen, tersimpan sifat romantis yang sukses membuat Angga seperti gadis yang baru saja mendapat kecupan dari kekasihnya.

"Ini kenapa pipi gue panas banget, anying!" Angga menyentuh pipinya yang memang sedikit hangat. Mungkin saat Haikal melihat kondisinya, sudah dipastikan dirinya akan menjadi bulan-bulanan sepupunya itu.

Pak MahenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang