Chapter 5

20.6K 1.7K 108
                                    

"Kamu kalau pulang sendiri, 'kan?" tanya Mahen. Kini kedua anak adam berbeda usia itu berjalan berdampingan menuju basement, tempat di mana mobil Mahen diparkirkan.

"Bapak kalau udah tau, sebaiknya gak usah nanya lagi deh. Udah cepetan ambil itu mobilnya, terus kita pulang. Gak ngerti orang sibuk apa," celetuk Angga tanpa sedikitpun berniat untuk menatap Mahen.

Mahen yang mendapatkan respons ketus begitu hanya bisa menghela napas. "Orang pecicilan kayak kamu bisa sibuk juga ternyata."

"Oh, jelas!"

Mahen mendecih remeh. "Emangnya sibuk ngapain?"

"Ya, sibuk aja. Sibuk gak ngapa-ngapain." Angga kemudian menyengir melihat Mahen yang langsung memandangnya datar. "Lagian ya, Pak, saya sibuk atau enggak itu juga bukan sesuatu yang bakal bikin jadi gak bermanfaat bagi saya. Kalau dikata kesibukan bapak sama saya, jelas jauh lebih sibuk saya."

"Terserah kamu mau bilang apa, saya juga gak peduli. Dan saya tegaskan ulang buat kamu, panggil saya sesuai yang kita sepakati tadi. Sekali kamu manggil saya 'pak' selama kita tidak berada di lingkungan sekolah, hukuman akan berlaku buat kamu."

"Lah, hukuman mulu perasaan dah? Ini sebenarnya kita pacaran dalam konteks apa dan bagaimana sih? Lagian sebutan panggilan juga gak perlu digunain, alay tau gak?"

"Itu harus, karena saya belum setua itu untuk dipanggil 'bapak' oleh anak remaja kayak kamu. Saya juga masih terbilang anak remaja."

"Nyenyenye, serah lo. Pusing kepala gue."

Mahen tak mengindahkan perkataan Angga. Dia sudah masuk ke dalam mobil lalu diikuti Angga yang duduk manis di samping kursi pengemudi. Itupun Mahen yang minta.

"Mau mampir beli makan dulu gak?" tanya Mahen menawarkan. Mobil dosen muda itupun meninggalkan pelataran kampus yang sudah sepi.

"Enggak deh. Tapi saya pengen nyoba bakso kalau boleh."

Mahen terkekeh geli mendengar permintaan Angga. Ada-ada saja anak didiknya itu. "Saya ajak kamu makan bakso langganan saya, mau? dijamin kamu pasti bakalan suka."

"Oke."

...

"Pakㅡ ehh, maksudnya, m-mas Mahen. Saya masih penasaran kenapa tiba-tiba mas minta saya buat jadi pacar mas? Anjirlah, geli gue manggil lo dengan sebutan mas. Panggil 'kak' aja ya mendingan?"

"Saya bakal cerita, tapi gak di sini. Soal nama panggilan, tidak ada toleransi perubahan, harus tetap panggil saya begitu."

Bangcat cekali!

"Dan satu lagi saya peringatkan buat kamu, Anggara. Sekali lagi saya denger kamu mengumpat, dua kali lebih berat hukuman yang kamu dapatkan."

Angga seketika tersedak kuah bakso yang sedang dinikmatinya. Kedua mata sabit itu bahkan sampai melotot menatap Mahen dengan pandangan tak terima.

"Mentang-mentang berkuasa lebih atas mahasiswanya, bisa seenaknya main kasih hukuman. Itu curang, gak adil!" protesnya.

"Sampai protes, bakal mendapatkan tiga kali lipat hukuman dari sebelumnya."

"MAS!!!"

"Pelanggaran satu kali," ujar Mahen. Dia dengan cepat mendekatkan wajahnya kemudian mengecup cepat bibir tipis Angga, yang langsung membuat empunya bibir melotot kaget.

Ingin rasanya Angga menyiram Mahen menggunakan kuah bakso yang sudah terkontaminasi oleh saus beserta sambal supaya rasa kesalnya terhadap sang dosen dapat berkurang.

Bisa-bisanya mencuri kesempatan disaat tidak ada yang melihat mereka berdua. Angga tentu tak terima saat ciuman pertamanya direnggut oleh dosen menyebalkan seperti Mahen.

...

Setelah Mahen membayar makanan mereka kepada si penjual, keduanya segera berlalu dari sana. Tentunya dengan Angga yang enggan berbicara karena marah ketika Mahen menciumnya tadi.

"Biar apa sih ngambek begini?"

Angga melirik sinis ke arah Mahen. "Suka-suka guelah. Kenapa, gak suka?!" tanyanya penuh penekanan. Air muka Angga memperlihatkan wajah sebal yang menurut Mahen tak ada kesan menyeramkannya sama sekali.

"Ada dua alasan kenapa saya minta kamu jadi pacar saya." Alih-alih menanggapi ucapan Angga, Mahen justru mengalihkan pembicaraan ke pembahasan lain. "Alasan yang pertama, sebagai hukuman untuk kamu yang selalu mengulang kesalahan. Alasan kedua, saya tidak punya pilihan selain dengan cara seperti ini, yaitu menjadikan kamu sebagai pacar saya. Untuk apa? Jika saya mengatakan, ini semua karena sebuah tantangan, apakah kamu bakal tonjok saya?"

Angga melirik sekilas kemudian kembali memandang depan, tak lupa dengan menunjukkan seringaiannya. "Tergantung,"

"Kok tergantung?" tanya Mahen.

"Iya, tergantung. Tergantung seberapa berengsek pak Mahen sampai jadiin saya pacar cuma karena tantangan. Mending kita gak usah pacaran kalau gak melibatkan hati sama perasaan. Pak Mahen bisa nyari orang lain yang bisa nerima kenyataan kalo dia bakalan dijadiin bahan tantantan!"

Mahen tersenyum tipis. "Jadi, kamu pengennya saya seriusin?"

"Menurut lo? Lagian ya, orang dimana-mana kalo pacaran karena saling suka, itu berarti 'kan pake cinta. Pak Mahen ngajak pacaran karena tantangan, itu sesuatu yang paling tolol yang pernah ada!" ungkap Angga menggebu-gebu. "Siapa sih yang pengen kalo pacaran gak saling cinta, gak ada! Cuma pak Mahen yang begini. Emang dikira saya robot, gak punya perasaan dan biasa-biasa doang semisal pak Mahen beginiin saya? Enggak!"

Mahen memberhentikan mobilnya di pinggir jalanan. Dia diam sebentar sebelum menoleh ke samping di mana Angga memerhatikan depan sambil memberengut.

"Udah selesai 'kan marah-marahnya? Boleh gantian saya yang bicara?" tanyanya sembari menatap serius mahasiswa disampingnya tersebut.

"Ngomong tinggal ngomong sih, ngapain juga minta izin sama gue."

Mahen hanya tersenyum menanggapi jawaban ketus Angga. "Tapi kayaknya saya gak perlu jelasin juga, karena kamu bakal segera tau maksud dari tantangan yang saya maksudkan dalam hubungan kita."

Mendengar itu, Angga langsung menyalangkan tatapannya dan diakhiri cubitan kencang di paha sang dosen. Hal itu mengundang pekikan keras dari Mahen tatkala merasakan sensasi sakit yang begitu menyakitkan.

"Kalo nyebelin jangan terus-terusan bisa gak sih? Orang macam pak Mahen tuh cuma bisa bikin darah tinggi. Jujur nih ya pak, lo emang nyebelin pake banget. Gak orangnya, gak mata pelajarannya, pokoknya ngeselin! Makasih tumpangannya, saya mau pulang naik taksi aja!"

Angga hendak membuka pintu mobil Mahen, namun dengan cepat Mahen menguncinya. Sebelum Angga melayangkan protesan kepada sang dosen, Mahen sudah terlebih dulu menyela ucapannya.

"Ketika kamu lulus nanti, kita akan menikah."

Angga membeku di tempatnya.

Pak MahenOnde histórias criam vida. Descubra agora