"Kak Rama?"

Rama tersenyum melihat mata Lahya yang terlihat sangat mengantuk di jam istirahat sekarang. "Kirain tadi udah tidur."

Lahya memperbaiki jibabnya yang sedikit merosot maju. Ia clangak-clinguk mencari Alif yang ia pikir itu hanya awal permulaan di alam mimpinya. Namun, Rama tiba-tiba duduk di sampingnya, menghalangi pencariannya.

"Gak latihan Dek? Jam segini seharusnya mulai latihan, kamu malah masih di perpus. Ingat, tersisa beberapa hari lagi. Kamu harus fokus sama persiapan lomba pencak silat kamu dan belajar abai dengan sikap orang-orang yang ada di sekolah ini ke kamu."

"Kak Rama tadi lihat Gus polisi? Lahya tadi lihat. Lahya pikir itu mimpi, tapi ternyata bukan. Tadi itu Gus polisi, kan?" tanya Lahya mengabaikan perhatian Rama lewat kata.

Rama terus mengikuti arah mata Lahya yang masih mengitari rak-rak buku sekitar. "Dek?"

Saat mata Lahya bertemu dengannya, ia berhasil mengunci manik mata Lahya dengan tatapan datarnya. Ia bahkan memperlihatkan raut wajah tidak sukanya saat Lahya mencari keberadaan polisi muda itu.

"Aku disini loh. Kenapa kamu malah cari orang lain? Aku ngomong apa, kamu malah tanya siapa."

Lahya mengerutkan dahi seraya tersenyum terpaksa. "Kak Rama kenapa, sih? Akhir-akhir ini aneh banget. Lahya dengar, kok, Kak Rama tadi ngomong apa."

"Terus kenapa yang kamu cari Gus polisi-Gus polisi terus?"

"Kak?!" panggil Lahya mulai sulit memahami Rama.

Rama mengambil almamaternya yang terhampar di atas meja. Ia kembali memakainya dengan perasaan kecewa. Susah payah ia mengawasi Lahya sedari tadi, sejak kelas Lahya berlangsung di perpus sampai semua temannya pergi dan tidak ada satu pun yang ingin berinteraksi dengan gadis ini. Ia tidak ingin ada yang menyakiti Lahya lagi seperti kemarin, entah itu secara verbal atau fisik.

Ia bahkan sengaja menutupi Lahya dengan almamaternya saat polisi muda itu datang ke perpustakaan. Sengaja ia melakukan ini semua, menjauhkan Lahya dari polisi itu sementara waktu. Ia tidak ingin fitnah itu menjadi-jadi dan yang akan mendapat imbas besarnya adalah Lahya.

"Di UKS lalu, aku nemenin kamu sampai bangun. Kamu cari siapa? Cari Gus polisi, kan? Waktu kamu kena kasus tespek dan hasil USG. Kamu cari aku? Gak, orang yang pertama bela kamu, itu aku, tapi yang kamu cari dan lihat siapa? Polisi itu, kan? Waktu di makam kemarin, kamu pergi bareng aku, Dek. Tapi kenapa pulangnya bareng polisi itu? Sekarang?" tanya Rama berhasil membulatkan mata Lahya karena terkejut dengan pengakuan rasa sakit hatinya.

Tidak ada nada tinggi dari perkataannya. Semua terdengar pelan, namun penuh penekanan. Matanya pun berhasil menyiratkan rasa kecewanya pada Lahya.

Lahya terlihat tidak mau disudutkan. Ia menarik nafas lalu bertanya, "Kak Rama, kita ini sebenarnya apa? Kak Rama siapanya Lahya? Jangan buat Lahya bingung dengan sikap Kak Rama yang semakin hari makin ambigu."

Rama terpaku menatap ponsel Lahya yang bergetar di atas meja. Terpampang dengan jelas panggilan masuk dengan nama 'Gus Polisi'. Mereka berdua saling tatap setelah melihat nama si pemanggil telepon.

"Kak Rama tau? Sikap Kak Rama aneh," ujar Lahya mengabaikan ponselnya.

"Aku aneh kenapa Dek?" tanya Rama dibarengi mengangkat tangannya tidak tahu.

"Sikap kak Rama gak seperti biasanya. Jangan sampai Lahya geer karena sikap peduli kak Rama yang tinggi. Sekarang klarifikasi ke Lahya, apa maksud sikap kak Rama akhir-akhir ini. Biar Lahya bisa memposisikan diri Lahya."

Rama diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia sebenarnya juga tidak tau kenapa harus seperhatian atau sepeduli ini pada Lahya. Ia juga bingung. Bingung harus mencari jawaban kemana atau kesiapa atas sikapnya sendiri.

ALIFWhere stories live. Discover now