29. Desember

133 23 0
                                    


***

Hanya tinggal menghitung hari untuk pergantian tahun dan beberapa bulan setelahnya orang-orang akan merayakan hari kelulusannya, aku menerawang tentang waktu-waktu yang telah berlalu di tahun ini. Di usiaku yang ketujuh belas tahun banyak yang telah terjadi, segala hal yang tak kupahami tapi kini mulai kumengerti. Seperti cinta, mungkin.

Tiga hari berlalu sejak aku meninggalkan rumah sakit, selama itu pula aku tidak pernah menginjakan kakiku keluar rumah dan memilih berdiam diri di kamar merenungi semua kekecewaan dan rasa sakit yang seseorang torehkan padaku.

Aku kira setelah masa-masa sulit itu semuanya akan berjalan baik, tetapi hal itu salah.

Sembari menghela nafas panjang, mataku menatap cincin yang melingkar di jari manisku pemberian dari orang yang terus menghantui diriku, menciptakan semua emosi aneh yang baru kali ini aku rasakan.

Keyakinanku padanya kini mulai goyah sejak gadis itu mengecup pipinya, hatiku selalu saja teriris sakit tiap kali mengingatnya. Aku mulai ragu lagi dengan perasaannya, walaupun bukan Naruto yang memulainya tetap saja dia tidak menolak dan menjelaskan apapun yang terjadi tetapi seolah sangat sengaja menunjukkannya padaku dan itu sangat menyakitkan.

Hubungan ini terasa mengambang, tak mengapung dan tenggelam. Aku pun berpikir untuk mengakhirinya walaupun aku masih sangat mencintainya, lebih baik berakhir daripada masing-masing dari kami. saling menyakiti.

Tok! Tok! Tok!

"Sakura"

Ketukan tadi membuyarkan lamunanku, suara lembut dari ibu memanggil namaku. Ah aku lupa, tadi aku mengunci pintu karena kupikir aku tidak ingin Reno ataupun ibu mendapati diriku yang terlihat kacau.

"tunggu bu, aku sedang pakai baju" dustaku.

Aku berdiri di depan cermin, dan memberi riasan tipis di wajahku yang sembab. Segera aku berlari ke arah pintu dan membukanya. Ibu berdiri disana, tetapi dia tidak sendirian. Dibelakangnya ada sosok lain yang membuatku serasa kehabisan nafas.

"hai Sakura-chan"

"ayah.."

Ibu menyingkir didepanku membuat pria itu maju selangkah dari tempatku berdiri, dia tersenyum hangat hingga matanya menyipit. "apa kabar, nak?" tanyanya.

Untuk beberapa detik aku berdiri mematung, udara terasa menipis di paru-paruku. Beberapa kali aku mengepalkan tanganku memastikan ini bukan sebuah mimpi, sampai kemudian aku sadar ini adalah kenyataan saat dekapan hangat yang selalu kurindukan itu merengkuh tubuh kecilku, dia memelukku.

"maafkan ayah, Sakura-chan"

Detik berikutnya, tangisku pun pecah di bahunya yang lebar. Air mataku yang berlinang membasahi pakaiannya. Aku seperti anak kecil yang kehilangan permen, menangis sejadi-jadinya dipelukan ayah. Isakanku terdengar memilukan karena rasa rindu yang telah meluap lebar di dadaku, seolah aku mendapat sandaran atas beban yang telah kupikir selama ini. Segala tekanan dan rasa frustasi kutuang dalam pelukan dari gadis kecil yang merindukan ayahnya.

"a-ayah hiks..a-aku hiks ay-ayah.. hiks" bibirku tak sanggup berbicara lagi, aku hanya ingin ayah tahu jika selama ini aku rapuh tanpanya.

Dia balas memeluk pinggangku, mengelus rambutku dengan lembut. Inilah yang paling aku rindukan selama ini.

"iya nak, ayah tahu" ucapnya.

"hiks..hiks..ayah.." aku meracau di bahunya yang basah karena air mataku.

"sst..anak ayah tidak boleh menangis, nanti cantiknya hilang" kekehnya.

Setelah menangis cukup lama, aku melepaskan pelukanku. Ayah mengelus pipiku yang masih basah karena air mata, dia mengecup keningku lama. "apa kabar, nak?" tanyanya.

My Fox (Completed)Where stories live. Discover now