Bab 31

152 15 2
                                    

Kalila menatap Reagan dengan perasaan campur aduk. Tidak sekalipun ia membayangkan pria yang telah mengisi hari-harinya selama beberapa bulan terakhir akan mengatakan hal itu padanya. Kalila merasa seperti dihipnotis dan masuk ke alam mimpi, mimpi yang ia diam-diam berharap tidak akan pernah terbangun darinya.

Tangan lebar itu beralih dari pipi Kalila, dan untuk sepersekian detik ia tercekat akibat kehangatan yang tiba-tiba hilang.

Pertengkaran mereka—jika memang itu bisa disebut sebagai bertengkar—tadi membuat Kalila tidak menyadari akan angin laut malam yang semakin membekukan.

Namun tidak butuh waktu lama untuk rasa hangat itu kembali, dan kali ini melingkupi seluruh tubuh bagian atasnya berkat jas Reagan yang tersampir di bahunya. Meninggalkan pria itu hanya dengan kemeja dan rompi hitamnya.

Regan kemudian menuntunnya untuk duduk di depan perapian elektrik yang memang tersedia di teras tersebut.

Seketika Kalila merasakan de javu. Momen ini, mirip seperti saat mereka berada di pulau waktu itu. Duduk di depan api unggun, tanpa ada orang lain di antara mereka. Hanya mereka berdua. Seperti saat ini. Namun kali ini, Reagan tidak duduk di seberangnya dengan penuh kehati-hatian, melainkan duduk tepat di sampingnya dan menggenggamnya. Kalila menatap kedua tangan besar Reagan yang menggenggamnya hingga miliknya sendiri tidak terlihat.

"I want to tell you a story," suara itu menarik perhatiannya kembali pada wajah sempurna milik pria di hadapannya. Mau tidak mau ia teringat akan ucapan salah satu gadis muda tadi.

'a fine looking man with a sexy brain'.

"Aku dan Alice—termasuk Noah, Daniel dan beberapa sepupu kami—besar bersama sejak TK hingga remaja. Entah gimana caranya, Alice berhasil membujuk orang tua kami sehingga kami semua berada di sekolah yang sama sampai SMA. Dulu kami nggak terpisahkan, kayak sekawanan domba yang melakukan semua hal bersama, terutama aku, Alice, Noah ... dan sepupuku Lily," suara Reagan tercekat dengan sangat jelas ketika menyebutkan nama terakhir.

"Karena umur kami berempat yang seangkatan, kami hampir selalu berada di satu kelas yang sama. Jadi kamu bisa bayangkan bagaimana dekatnya kami waktu itu."

Kalila mengangguk. Bahkan setelah sempat beberapa tahun terpisah, ia dan Lea seringkali bertingkah layaknya anak kembar yang tidak pernah terpisahkan. Jadi ia bisa paham bagaimana hubungan Reagan dan teman serta sepupunya itu.

"But then something happened in the first year of high school," Reagan berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "At our annual family gathering, Lily ... took her own life."

Kalila sontak terkesiap, tangan berbalik menggenggam Reagan. "Your cousin's death ..."

Reagan mengangguk membenarkan, "Ya, kematian Lily yang membuatku kabur ke US. Kejadian waktu itu terlalu mendadak. Nggak ada satu pun dari kami yang menduga kalau ada yang salah dengan Lily. Padahal kami hampir setiap hari ketemu, bercanda, tapi nggak ada satu orang pun dari kami bertiga yang sadar kalau Lily ternyata mengalami Panic Disorder dan depresi selama bertahun-tahun," mata tajam itu kini berubah sendu. Kesakitan yang tadi sempat dilihatnya kini terpampang jelas di sana.

"Satu orang pun, Kalila," bisik Reagan putus asa.

"Bahkan aku sebagai saudaranya nggak tahu kalau dia sempat beberapa kali ke psikiater kalau aku nggak menemukan diary nya waktu itu. Aku nggak sadar bahwa ekspresi kosongnya yang sempat kulihat beberapa kali seharusnya cukup menjadi alarm bagi kami. But it's already too late. Lily's gone. And no one really knew how to cope with the grief at that time."

Duka. Kesedihan. Kalila selama ini bertanya-tanya apa memang ada cara yang paling benar untuk mengatasi perasaan itu. Duka akibat kematian, duka atas penghianatan, apakah ada panduan baku untuk itu semua? Apakah ada cara tertentu untuk manusia seharusnya mengatasi duka? Kalila sudah lama bertanya-tanya tentang ini. Bertanya-tanya apakah mungkin cara berduka yang ia lakukan kemarin merupakan sesuatu yang salah? Apakah cara Reagan salah? Lantas mana yang benar?

"Aku yang saat itu masih emosional dan digerogoti rasa bersalah memutuskan untuk pergi meninggalkan semua hal yang bisa mengingatkanku pada Lily. Sedangkan Noah memilih untuk beralih pada alkohol. Dan Alice ... aku tahu dia seharusnya yang paling sedih diantara kita karena dia dan Lily merupakan satu-satunya perempuan di lingkaran pertemanan kami. Tapi aku cuma pernah melihatnya menangis satu kali, saat kami semua mendengar kabar itu. Alice bahkan nggak menangis ketika Lily dimakamkan, justru ia berusaha menenangkan aku dan Noah. But then I left, and all of a sudden she lost all her closest friends at the same time.

"Itu juga yang menyebabkan Alice akhirnya pindah ke US dan mencariku. Dia nggak pernah bilang tapi aku tahu bahwa itu juga caranya berduka. Dan ... seperti yang pernah aku bilang, kami sempat pacaran sebentar. But apparently, that's not how you overcome grief. Not by depending on a person who has the very same grief as yours. And because it was never that kind of love from the start, it's easy for us to go back as friends."

Reagan kembali menggenggam tangan Kalila, memaksa wanita itu menatap kedua mata tajam yang kembali memancarkan keteguhan absolutnya di sana.

"Lalu kamu datang, Kalila. Di malam itu. Di pesta itu. Dengan ekspresi yang sama seperti Lily. Pada awalnya aku khawatir karena kamu mengingatkanku akan masa laluku. Tapi nggak butuh waktu lama buatku mulai benar-benar peduli sama kamu. Dan entah kapan tepatnya, aku mulai menyukai satu persatu hal tentang kamu," ibu jari reagan mengusap tepi bibir dan smile line di pipi Kalila, membuat darahnya berdesir.

"Your laugh, your smile, your sincerity, your strength. Kita memang sama-sama pernah berduka, tapi kamu jauh lebih kuat dibandingkan aku. You fought your grief, refusing to be its subject. One of the things that I admire about you. Dan tanpa sadar, aku sudah jatuh cinta sama kamu. Mungkin ini terdengar bullshit, tapi kamu orang pertama yang membuatku merasakan perasaan ini. Karena selama ini aku terlalu sibuk terpuruk dengan kejadian di masa lalu, berlarut dengan lukaku, sampai akhirnya kamu datang dan menunjukkanku cara menyembuhkannya."

Kedua sudut bibir Reagan naik ke atas, membuat lengkungan menyerupai indahnya bulan sabit di atas mereka.

"Sejujurnya bukan seperti ini rencananya ketika aku akhirnya menyatakan perasaanku. Tapi ... aku benar-benar mencintai kamu, Kalila. Aku tahu kamu masih butuh waktu—"

"Aku juga."

Mulut Reagan belum sempat menutup, dan sekarang pria itu mematung bagai ikan koi seraya menatap Kalila seolah tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.

Giliran Kalila yang tersenyum, menangkup tangan hangat yang kini bergetar di pipinya.

Kalah sudah, pikirnya. Mau seberapa keras pun ia menolak hatinya, membungkusnya dengan perasaan bersalah, jauh di dalam dirinya Kalila tahu bahwa alasan sesungguhnya adalah karena hatinya telah jatuh kepada pria itu, dan ia takut. Takut jika ia membuat kesalahan yang sama.

"Aku juga mencintai kamu. I love you, Reagan Djokosoedarjo," Kalila menangkup tangan yang bergemetar di pipinya, "I truly do."

Tapi tidak lagi. Kalila memutuskan bahwa ia tidak akan menjadikan masa lalunya sebagai penghambat atas keputusan-keputusan yang akan dia ambil.

Satu detik. Dua detik. Di detik ketiga, senyuman semanis bulan sabit itu merekah sempurna hingga menyentuh dua mata cemerlangnya.

Dan Kalila bersumpah, ia tidak pernah melihat hal yang lebih indah dari itu.

The Lost StarWhere stories live. Discover now