Bab 22

209 24 0
                                    

"Kal, gue berangkat dulu ya," Lea beranjak dari pinggir kasur Kalila. Sorot khawatir yang menetap semalaman di wajahnya tidak kunjung hilang ketika menatap sahabatnya yang tengah berbaring di atas kasur dengan wajah letih.

"Beneran nggak mau gue temenin? Gue bisa kok ambil izin wfh—"

"I'm fine Lea," Kalila memotong, melemparkan senyum terbaik sebisanya. "Seriously, I'm fine. Gue cuman lagi nggak pengen ke kantor aja makanya ambil cuti."

Tapi ini sudah hari keempat.

Lea menahan kata-kata itu di mulutnya dan memilih menghela napas berat, mengetahui dengan jelas bahwa sahabatnya itu sedang berbohong. Namun setelah tiga hari panjang penuh dengan air mata bersamanya, ia tahu yang dibutuhkan Kalila saat ini hanyalah waktu untuk sendiri.

Lea menggertakkan giginya. Liat saja, kalau ia bertemu lagi dengan pria brengsek itu, jangan harap ia akan mengingat sopan santunnya.

"Okay. Tapi kalau ada apa-apa, lo langsung telpon gue—atau Reagan, janji?"

"Janji."

Lea pun beranjak pergi dari kamar Kalila hingga terdengar suara pintu yang terbuka dan tertutup kembali.

Kalila menutupi mata dengan lengannya sejenak, berusaha menjernihkan kepalanya yang sejak semalam hanya penuh dengan hal-hal buruk. Di saat-saat seperti ini, ia benci dengan dirinya sendiri yang masih saja terpengaruh oleh apapun yang berkaitan dengan pria itu.

Ia pikir kehadiran Reagan berhasil membuatnya lukanya sembuh, tidak menyadari bahwa ada luka yang terlalu dalam untuk dapat dijangkau siapapun. Luka dalam yang tersembunyi dan tidak pernah disadarinya sampai akhirnya pemikiran bahwa Dimas akan kembali seketika memantiknya.

Tapi entah pada menit ke berapa, Kalila tiba-tiba saja merasa muak. Ia mengeratkan kepalan tangannya. Ia muak. Muak dengan mimpi buruk. Muak dengan kesedihan. Muak dengan rasa takut. Muak dengan bayang-bayang masa lalu.

Muak dengan dirinya yang menjadi lemah. Muak karena terus menerus mengecewakan dirinya yang dulu. Dulu, sebelum semua ini datang dan mencoba menghancurkannya.

Tapi Kalila tahu, yakin, bahwa dirinya tidak semudah itu untuk dipatahkan dan dihancurkan.

Kalila muak, dan mulai detik ini ia memutuskan untuk bangkit dan melawan.

Dia terpuruk, itu benar, tapi tidak pernah hancur.

~~~~~

Kalila melirik kafe besar yang terletak di tengah kota Jakarta tersebut dari dalam mobil. Tangannya memainkan ponsel, menimbang-nimbang pesan yang telah ia ketik. Bimbang apakah ia seharusnya mengirimkan pesan tersebut atau tidak. Baru setelah beberapa lama, ia memutuskan untuk menekan tombol kirim lalu keluar dari mobil memasuki kafe tersebut.

Kafe ini memang terkenal sehingga susananya cukup ramai walaupun sekarang masih menunjukkan jam kerja, dan memang itu lah yang menjadi alasan Kalila memilih tempat ini. Berjaga-jaga agar lawan bicaranya tidak melakukan hal-hal bodoh.

Kalila mengedarkan pandangannya dan berhenti pada titik di sudut kafe. Seketika jantung Kalila berhenti berdetak selama sepersekian detik. Kurang lebih ia telah membayangkan bahwa ini akan terjadi, tapi oh Tuhan, ia tidak menyangka rasanya akan sesakit ini.

"Kalila!"

"Dimas," sapa Kalila sedikit tercekat. Tangannya terkepal agar tidak meremas dadanya yang sesak.

The Lost StarDonde viven las historias. Descúbrelo ahora