Bab 23

227 25 0
                                    

"Mau kembali ke apartemen?" tanya Reagan, jarinya bergerak menyingkirkan helaian rambut Kalila yang menempel di wanita itu lalu mengusap pipi merahnya yang basah dengan air mata.

Kalila tidak langsung menjawab. Kepalanya masih berusaha untuk memproses kejadian setengah jam lalu. Ya, mereka telah berdiam di dalam mobilnya selama setengah jam tanpa melakukan apapun selain Reagan yang membiarkan Kalila menumpahkan seluruh air matanya sampai habis.

Selang beberapa menit, barulah Kalila menggeleng pelan.

Rasanya jika ia kembali sendirian di ruangan tertutup itu, ia akan mati tercekik rasa sesak.

Reagan mengetuk-ngetuk ibu jarinya di atas setir, menimbang-nimbang kalimat yang akan ia lontarkan sebelum bertanya dengan hati-hati.

"Wanna spend the weekend somewhere else with me?"

Kalila tidak tahu dimana somewhere else yang dimaksud Reagan, pun ia tidak peduli sama sekali. Yang ia pikirkan sekarang hanyalah pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini, kabur ke tempat dimana tidak ada orang yang akan mengenalinya sebagai Kalila si paling menyedihkan.

Pada detik itu pula, Kalila menyadari bahwa ia telah menyerahkan rasa percayanya pada Reagan sepenuhnya.

Kalila mengangguk. "Let's get out of here," balasnya sembari memejamkan mata.

~~~~~

Bahkan ketika Reagan membawanya ke bandara, menaiki pesawat di kelas bisnis dan lepas landas menuju entah kemana, Kalila tidak bertanya. Ia memilih diam mengikuti pria itu tanpa pernah melepaskan genggaman mereka sedetik pun.

Di sepanjang penerbangan, Kalila tertidur pulas akibat akumulasi rasa lelah selama berhari-hari ini menghantamnya tiba-tiba.

Namun ketika Kalila membuka mata, mau tidak mau ia terkejut karena hal yang pertama menyambutnya bukanlah interior pesawat melainkan langit biru dengan semburat oranye. Ia kemudian menyadari bahwa dirinya tengah berada dalam gendongan Reagan.

"Sleep well?" tanya Reagan menunduk menatap mata Kalila.

"Kita dimana?" Kalila mengedarkan pandangan dan mendapati bahwa mereka berada di sebuah pantai berlatar. Di belakang mereka, terdapat sebuah hotel mewah bintang 5 yang sering Kalila lihat dari rekomendasi teman-temannya.

Reagan perlahan menurunkan Kalila yang telah sadar sepenuhnya. "Labuan Bajo."

Mata Kalila melebar, "Dan aku tidur selama perjalanan?" tanyanya yang dijawab anggukan oleh Reagan.

"Impossible," bisik Kalila, wajahnya kontan memerah. Itu artinya Reagan telah menggendongnya sejak mereka turun dari pesawat dan berpindah-pindah armada hingga sampai ke sini.

"Kamu yakin aku nggak pingsan?"

Reagan tertawa, "Based on your snoring, pretty sure you were not."

"I snored?" pekik Kalila tanpa sadar.

Reagan menatapnya lembut, "It's normal, Kalila. Kamu hampir nggak tidur selama empat hari ini."

Kalila memerhatikan hamparan pasir yang diinjaknya dan melepaskan flatshoes nya, lalu takjub ketika telapak kakinya beraentuhan dengan pasir. Sungguh halus dan hangat.

"I noticed you like the sea," gumam Reagan sembari ikut melepaskan sepatunya.

"Apa ini juga salah satu pulau pribadi keluarga kamu?"

Reagan terkekeh, "Sayangnya bukan. Daniel memang dari dulu berusaha untuk mendapatkan pulau ini tapi belum pernah berhasil."

Kalila melemparkan tatapan kesal—yang tentu saja dibuat-buat. Padahal ia hanya bercanda, tapi Reagan berbicara tentang membeli pulau seperti membeli kacang goreng.

"But don't worry, I'm a member," lanjut Reagan mengedipkan satu matanya.

Mereka lalu berjalan menyusuri bibir pantai dalm diam. Air yang mulai pasang sesekali membasahi kaki kedua orang dewasa itu.

"How do you feel?"

"Like crap," jawab Kalila tanpa berniat untuk bermulut manis.

"Mendengar seseorang bilang kalau dia menghancurkan hari pernikahanku hanya karena bosan, tepat di depan wajahku, benar-benar jadi bagian paling buruk dari kisah ini."

"Dia nggak pantas buat kamu."

"Aku tahu," Kalila menghela napas panjang. "Tapi sejujurnya ... alasan dia sedikit banyak ngebantu aku untuk bangkit."

"Maksud kamu?"

Kalila menendang cangkang kerang tak bertuan, "Dari dulu aku selalu mikir bahwa ini semua salahku. Aku yang kurang perhatian, aku yang nggak bisa ngasih apa yang dia mau, aku yang terlalu sibuk dengan kerjaanku sendiri. Semua kemungkinan skenario dimana aku yang jadi penjahat utama sudah terpikirkan olehku. Itu mungkin alasan kenapa mimpi burukku selalu hanya tentang aku yang digunjingkan, bukan dia. Juga kenapa aku selalu takut dan gemetar setiap dengar namanya.

"Mungkin ... aku takut dengan penghakiman yang datang kepadaku karena aku yang salah, bukan Dimas," Kalila tertawa miris.

"Setelah dengar sendiri alasan dia, aku sadar dimana letak masalahnya sejak awal—yang jelas bukan lagi di aku—at least not entirely, dan meskipun ketika pertama kali dengar fakta itu rasanya kayak ada yang menusuk jantungku berkali-kali, aku juga bisa ngerasain ada bagian-bagian yang lega dan terbebas. Aku cuma berharap setelah ini, aku benar-benar bisa hidup dengan damai sepenuhnya."

"You will," balas Reagan dengan keyakinan teguh.

And I'll make sure of it.

Kalila tersenyum kecil, "Thanks, Reg."

"Kamu ... dengar semuanya?" tanya Kalila, mengacu pada pertemuannya dengan Dimas tadi pagi.

"Sebagian besar, ya, aku dengar," jawab Reagan menatap wajah Kalila dari samping.

"Apa kamu tau gimana perasaanku saat dapat pesan pertama dari kamu?" Reagan mengingat kembali pesan yang ia dapatkan dari Kalila tadi pagi.

Kalila mengingat pesan pertama yang dikirimkannya.

'I'm going to meet him'

"Aku hampir gila karena khawatir."

Kalila menyentak kepalanya menatap Reagan yang tersenyum getir, tidak menyangka akan keluar kalimat seperti itu dari mulutnya.

"You didn't tell me where nor answer my calls, so I almost called the police ... untill your next message came."

Kalila mengigit bibirnya, seketika merasa bersalah melihat pria itu yang ternyata mengkhawatirkan dirinya sedemikian rupa. Syukurlah pada detik-detik terakhir, ia memutuskan untuk mengirim lokasinya bertemu dengan Dimas pada Reagan.

"I'm sorry," ucap Kalila.

Reagan menatap wanita itu yang kini menunduk, lalu merutuk dalam hati. Bukan ini yang ia inginkan.

Reagan mengangkat dagu Kalila agar wanita itu menatapnya.

"No, I'm sorry. I just thought for a second that I ... might lose you," telapak tangan lebar dan hangatnya menangkup pipi Kalila yang lembut.

"Jadi ... Kalila, apa kamu bisa janji sama aku untuk nggak akan lagi ketemu—nggak, kalau memang kamu mau ketemu lagi dengannya, janji kamu akan beritahu aku dulu dan kita pergi sama-sama?"

Kalila menangkup tangan Reagan di pipinya dengan tangannya. Matanya membalas tatapan pria itu dengan sama intensnya.

"Aku janji."

Entah mengapa, mengucapkan janji kepada Reagan terasa seperti hal termudah yang pernah ia lakukan.

~~~~

The Lost StarWhere stories live. Discover now