Prolog

768 29 0
                                    

T/W: Suicide attempts, depression


Intim.

Itu hal pertama yang terlintas di benak Kalila ketika kakinya memijak rumput sintetis, memasuki area pesta. Ia berdiri di dekat patung Cupid yang mengeluarkan air mancur dari ujung anak panahnya. Sudut ini sempurna bagi Kalila dimana ia bisa mengamati banyak hal di sekitarnya sekaligus.

Lampu-lampu kuning redup saling bersilangan dan menggantung dengan cantiknya di atas kepala, alih-alih putih terang.

Dekorasi bunga berwarna putih dan merah muda  terlihat di setiap sudutnya, alih-alih putih dan emas.

Area yang dikelilingi oleh ruang terbuka tanpa atap, alih-alih dinding beratap tinggi.

Para pramusaji berkeliling membawa baki berisi Cocktail, alih-alih cheesecake dan souffle.

Lalu pandangan Kalila tertuju kepada pasangan pengantin yang sedang bercengkrama dengan para tamu. Mengamati raut yang tercetak di wajah keduanya.

Senyum terkembang dan mata berbinar, alih-alih merengut dan berkaca-kaca.

Ucapan selamat mengalir dari setiap orang yang menghampiri mereka, alih-alih keprihatinan dan gunjingan.

Tawa dan kebahagiaan terasa kental menyelimuti keduanya, alih-alih makian dan kekecewaan.

Mengapa berbeda, pikir Kalila. Bertanya-tanya apa yang membuat dua hal yang harusnya sama menjadi sangat bertolak belakang.

Mungkin karena hari itu tidak ada patung anak kecil bersayap yang dipercaya bisa membuat dua orang jatuh cinta? Atau mungkin karena tidak ada bunga berwarna merah muda yang melambangkan cinta dan kasih sayang?

Jika ada satu saja dari hal-hal tersebut yang diubah, alih-alih bertanya-tanya bagaimana rasanya, apakah mungkin ia bisa merasakan sendiri tawa dan senyum bahagia itu? Kalila penasaran.

Tapi mungkin, tidak peduli seberapa banyak hal yang diubah pada hari itu, seberapa banyak usaha yang dikeluarkan untuk kembali ke masa lalu untuk melakukan semua hal secara berbeda, hasilnya tetap akan sama.

Karena mungkin, bukan di situ letak masalahnya. Bukan pada lampu-lampu dan dekorasi bunga itu. Bukan pula pada patung bocah bugil itu. Melainkan pada dirinya.

Mungkin, memang dirinya yang tidak cocok untuk merasakan kebahagiaan semacam ini. Mungkin, memang ia masalahnya.

Suara tawa kencang dari sekumpulan orang di dekatnya mengejutkan Kalila dan menyadarkannya dari labirin pikirannya.

Damn it, the drug has worn off.

Awalnya ia datang hanya untuk sekadar mengamati, sekaligus membuktikan bahwa ia tidak selemah yang orang disekitarnya pikirkan. Tidak selemah yang dokternya katakan. Namun sekarang pikiran-pikiran itu kembali memenuhi kepalanya tanpa bisa dicegah, bersamaan dengan perasaan gelisah hingga membuat dirinya kewalahan. Kalila memeriksa tasnya—hanya untuk kembali bersumpah serapah karena tidak menemukan botol silinder kuning yang saat ini ia butuhkan.

Namun tepat ketika ia mendongak, seorang pramusaji melewatinya. Refleks Kalila mengambil minuman yang dibawa pemuda itu dan langsung menegaknya seperti musafir kehausan. Diikuti penyesalan karena rasa terbakar yang muncul di tenggorokannya. Mungkin jika Lea ada di sini, sahabatnya itu akan memarahi dirinya yang bersikap ceroboh. Karena siapapun yang mengenal Kalila tahu bahwa ia lightweight. Tapi Lea tidak ada di sini. Begitu juga dengan obatnya. Sedangkan ia hampir kewalahan akibat otaknya yang tidak ingin berhenti berisik, terutama ketika memberi sinyal bahwa dirinya sedang diperhatikan.

Oleh siapa? Entah lah. Mungkin kenalan dari kenalannya lagi. Ia tidak bisa peduli ketika jantungnya mulai berdegup kencang dan keringat dingin mengucur. Menyadari bahwa segelas Cocktail tadi tidak cukup untuk mengatasi perasaan yang ingin meledak di dalam dirinya, Kalila bergegas pergi dari sana. Meninggalkan tempat yang ia tahu menjadi pemicunya sejak awal.

-----------------

Langkah Kalila berhenti di atas sebuah dermaga kecil di pinggir danau. Ia tidak tahu apa yang membawanya sampai ke sini. Ia bahkan tidak ingat jalan yang dilewatinya menuju tempat ini. Yang jelas, Kalila ingat bahwa dirinya tidak ingin langsung pulang sehingga ia pergi ke arah yang berlawanan dengan lokasi mobilnya terparkir.

Air danau di hadapannya terlihat tenang. Tanpa riak maupun gelembung yang terlihat. Setidaknya itu yang diperlihatkan oleh lampu lima watt yang menggantung di pinggir dermaga. Sedangkan sisanya yang tidak terlihat? Kalila bertanya-tanya apakah sama seperti dirinya yang sekarang berantakan.

Bertanya-tanya apakah ada peluang bahwa air di danau ini mirip dengan dirinya? Penuh riak dan tidak stabil.

Dan pada suatu momen, entah pada menit berapa sejak ia berdiri di sana, Kalila memutuskan bahwa ia sudah lelah menduga-duga. Lelah bertanya-tanya tanpa mendapatkan jawaban pasti. Lelah berharap pada angan-angan kosong. Lelah mendengarkan kepalanya yang tidak mau diam. Lelah melihat orang tuanya kecewa. Lelah membuat sahabatnya bersedih.

Kalila lelah. Dengan kehidupan.

Ia menatap air danau yang tenang itu sekali lagi.

Ia harus mencari tahu sendiri jawaban dari pertanyaannya. Dan langkah pertama dimulai dengan mencari tahu apakah danau ini mirip dengannya atau tidak.

Mencari tahu ... apakah tenggelam sesakit yang buku-buku itu ceritakan.

—-----------

The Lost StarWhere stories live. Discover now