BAB 7

223 25 2
                                    

Sejak hari sabtu itu, hubungan Kalila dan Reagan membaik. Bukan berarti mereka bermusuhan, hanya saja sebelumnya seperti ada batas tak kasat mata yang memaksa Kalila untuk selalu berhati-hati dan sebisa mungkin mengindari Reagan. Namun sekarang mereka bak sepasang sahabat lama. Mereka rutin bertukar pesan singkat yang kebanyakan membahas hal-hal tidak penting seperti lalu lintas jakarta yang semakin kacau atau sekedar mengeluh atas makan siang yang tidak enak.

Sesekali mereka juga membahas masalah pekerjaan satu sama lain. The good thing is, mereka berdua merupakan pendengar yang baik. Reagan biasanya membahas soal rapat-rapat yang harus ia hadiri namun sering berjalan dengan tidak efisien. Sedangkan Kalila, yah, apa lagi kalau bukan tentang atasannya yang super genit.

Reagan beberapa kali menyarankan untuk melapor ke HR dan Kalila pernah melakukannya, namun ternyata pak Gunawan bukan orang sembarangan—atasannya itu adalah 'titipan' salah satu direktur.

That's it. Jalan buntu. Skakmat. Lucunya ia tidak terkejut.

Sejauh ini, Kalila mengakalinya dengan selalu mengajak salah satu temannya, atau duduk jauh dari bosnya itu ketika mereka mengadakan meeting. Untunglah teman-temannya paham dan bersedia membantunya setiap ada kesempatan.

RING RING

"Halo, Le?" sapa Kalila yang tengah bersandar di sofa menghadap TV. Layar 40 inci itu sedang menayangkan tayangan ulang sitkom Friends.

"Lo lagi dimana?" tanya Lea di seberang sambungan.

"Apartemen."

"Rencana hari ini ngapain?"

"Hmm, paling rewatch Friends season 3, 4. Kenapa? Lo mau ngajakin gue beli Ferragamo inceran lo kemarin itu?"

"Ih, bukan. Itu sih gue udah beli kemarin," tukas Lea yang membuat Kalila berdecak kagum. Lea jarang berpikir dua kali jika berbicara tentang fashion.

"Terus apa dong?"

Ada jeda lama sebelum Lea akhirnya menjawab.

"Nyokap lo nelpon gue," ucapan Lea kini terdengar ragu-ragu. Seolah bisa melihat air muka Kalila yang tiba-tiba berubah.

"Doi minta tolong buat bujukin lo supaya mau ke rumah hari ini, atau kalau nggak at least kasih tau alamat apart lo yang sekarang biar mereka yang samperin," ujar Lea dengan nada menggantung. Kalila memejamkan mata dan menghebuskan napas dengan berat.

Lea terdengar ikut menghela napas, "Gue tau, banyak hal terjadi setengah tahun belakangan ini. Gue tau gimana dampaknya ke lo dan gue juga tau lo butuh waktu untuk sembuh sendirian," katanya menggantung.

"Tapi siapa tahu, Kal, dengan ketemu mereka, sekedar ngobrol lagi dengan mereka justru bakalan mempermudah proses penyembuhan batin lo," lanjut Lea.

Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Kalila.

Terdengar hembusan napas pasrah dari seberang, "Pilihannya di lo, Kal. Tapi gue harap lo nggak akan menyesali apapun keputusan yang lo ambil. Yaudah, gue mau lanjut masak nasi goreng, ya. Love you, muah."

Tut. Sambungan terputus.

————————

Kalila berdiri di halaman luas sebuah rumah bergaya klasik modern. Udara segar khas dataran tinggi keluar masuk mengisi paru-parunya.

Bogor.

Terakhir kali ia menginjakkan rumah ini adalah hampir satu tahun yang lalu. Tidak banyak yang berubah, kecuali beberapa jenis bunga baru di pekarangan yang sudah pasti koleksi baru ibunya. Juga kandang besar di pinggir halaman berisi burung parkit yang kini tengah bernyanyi seakan menyambutnya. Kalau burung ini sudah pasti koleksi sang ayah.

The Lost StarWhere stories live. Discover now