Bab 9

201 20 0
                                    

"Pagi, Mbak," sapa Roup—OB kantor ketika Kalila keluar dari lift di lantai 11. Kalila membalas sapa dengan anggukan dan sudut bibir yang naik beberapa senti, melangkahkan kaki menuju kerumunan orang yang ia tahu pasti sedang melakukan apa.

"Eh, morning, Kal!" sapa Hary saat Kalila berusaha menerobos kerumunan yanng menghalangi akses menuju kubikelnya.

"Buset buset, ada gibahan apaan nih pagi-pagi udah rame begini? Ikutan dong!" seru Arkan yang baru datang tak lama setelah Kalila.

"Ck, bukan gibahan tapi berita, Arkan! Hot news," tukas Alyssa sambil memukul lengan Arkan pelan. "Terutama buat Kalila! Pas banget banget nih lo dateng!"

Kalila melirik Alyssa yang berseri-seri menatapnya. Satu alisnya terangkat yang ia tahu akan memberikan kesan bahwa dirinya tertarik dan meminta Alyssa untuk melanjutkan—walau sebetulnya ia tidak peduli sama sekali.

"Jadi lo pada tau kan kemaren gue ke Greece seminggu?"

Indy memutar bola mata, "Pamerin aja terus business trip lo itu."

"Yee, kan biar konteksnya jelas dulu—"

"Iya iya udah lo ke Greece. Terus? Ada apaan di Greece?" sela Hary tidak sabar.

Alyssa memajukan bibirnya namun tetap melanjutkan,"Gue ke sana kan last minute gantiin Joshua nemenin bu Jess ketemu client. Dari awal sampe tuh gue udah ngerasa aneh karena gue disuruh langsung ke hotel sendirian. Akhirnya gue—"

Kalila menatap wajah Alyssa yang sedang bercerita dengan menggebu-gebu. Mata khas kaukasoid itu melebar dan tampak berbinar. Dibandingkan ceritanya, Kalila lebih tertarik dengan ekspresi yang dimiliki Alyssa.

Ekspresi wanita itu, Kalila sering melihatnya akhir-akhir ini. Di wajah Lea ketika membicarakan Leo, atau di wajah ibu ketika berbicara tentang ayah, dan bahkan dulu sekali, di cermin ketika Kalila berkaca di hari pernikahannya.

Sekarang yang ia temukan setiap pagi di depan cermin hanya ekspresi kosong. Tidak ada sedikit jejak pun yang memberikan petunjuk bahwa setidaknya sekali seumur hidup, Kalila pernah memakai ekspresi wajah seperti yang dipakai Alyssa sekarang ini.

Bahkan ketika pulang dari berkeliling Jakarta melakukan hobinya, Kalila tetap tidak menemukan itu—binar terang di mata Alyssa. Padahal ia sudah berhasil melatih raut wajahnya.

Hanya matanya... tinggal matanya yang—

"—Kal,"

"Hoi, Kal!" Hary menjentikkan jari di depan wajah Kalila.

"Yah, malah ngelamun orangnya. Lo denger gak daritadi Alyssa ngomongin apa?"

Nggak tau dan nggak mau tau, batin Kalila. Tapi tidak mungkin ia mengatakan hal itu. Jadi ia memutar memorinya dari sepotong-sepotong kalimat Alyssa yang sempat mampir di telinga.

"Iya, Gavin sama bu Jess. Bukan urusan gue," balas Kalila.

"Tapi kan belum lama ini Gavin pernah mepetin lo, Kal!" kata Alyssa. "Bayangin dong berarti kemaren pas ngedeketin lo, dia lagi berhubungan sama bu Jess. Gue sih tersinggung ya."

Gue nggak.

"Tapi mantep juga itu si Gavin bisa dapetin janda kaya raya. Bokapnya bu Jess kan direktur Jaya Group," timpal Indy menyebutkan salah satu dari  sepuluh grup konglomerasi bisnis terkaya di Indonesia.

"Hardian Subakti, kan? Emang Gavin juga oke sih perawakannya. Eksmud vibe gitu."

"Yaelah tampang begitu doang. Mendingan gue," ujar Baskoro lalu mengangkat tangannya untuk memperlihatkan otot yang selama ini ia latih susah payah.

Arkan, Hary, dan Indy langsung melemparkan tatapan ingin muntah. Sedangkan Kalila sudah lama tenggelam pada kertas-kertas di atas mejanya.

—————————

Kalila bersandar di dinding kaca. Dari atas sini, ia bisa menatap ribuan lampu merah dan putih yang memenuhi jalanan Jakarta setiap jam pulang kerja itu.

"Kal gue balik duluan ya. Lo nunggu gak macet lagi?" tanya Arkan. Kalila mengangguk namun tatapannya tidak beralih dari lampu-lampu tersebut.

Lama keheningan menemani Kalila sehingga ia pikir Arkan sudah pergi. Sampai suara laki-laki itu kembali terdengar.

"By the way, lo ... lagi ada yang mau diceritain, nggak?"

Kali ini Kalila menoleh dan mendapati tatapan yang telah ia dapati ribuan kali dalam satu tahun terakhir ini.

Tatapan khawatir.

"Kenapa lo mikir gitu?"

Arkan mengedikkan bahu, "Soalnya gue ngerasa akhir-akhir ini lo kayak sering ngelamun aja. Tepatnya dari hari senin, sih. Dan lo juga skipping lunch buat tidur. Is everything okay?"

Kalila tersenyum lalu mengangguk, "Everything's fine. Cuma kecapean aja karena weekend bolak balik Bogor."

Arkan terlihat bernapas lega. "Alright, kalau lo kesulitan ngambil cuti gara-gara pak Gunawan bilang aja, Kal. Biar nanti gue yang cover tenang."

Kalila tertawa, "Siap bos," ujarnha mengacungkan dua jempol.

"And Arkan?" panggil Kalila ketika laki-laki itu hendak memasuki lift.

"Yes?"

"Thanks for asking."

—————————

Kalila menurunkan kaca jendela mobil dan meraih benda kotak berwarna putih dari tasnya. Kemudian ia mengeluarkan isinya, menyalakan benda silinder itu dan menghisapnya.

"Uhuk uhuk!" Kalila terbatuk-batuk, namun ia tetap berusaha menghisap benda itu sampai habis. Pada dasarnya Kalila bukan perokok. Bahkan, ini rokok pertama yang ia beli atas dasar penasaran karena melihat banyak temannya yang menenangkan pikiran dengan merokok.

Kalila membuang puntung bekas tersebut ke tempat sampah yang ia lewati ketika keluar dari basement kantor. Sepertinya ia gagal memahami apa yang disukai orang-orang dari benda kecil tersebut karena yang tertinggal kini hanyalah rasa pusing. Serta bau rokok yang menempel di baju dan mobilnya.

—————————

The Lost StarWhere stories live. Discover now