21. Miss Capek Marah-Marah

2.2K 310 7
                                    

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Nurutin anaknya susah bener, cuma disuruh makan nggak diminta mindahin gunung loh padahal

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Nurutin anaknya susah bener, cuma disuruh makan nggak diminta mindahin gunung loh padahal. Selesai beresin, buruan kesini, nggak enak ini kalau udah dingin."

"............"

"Jangan bikin anakmu kecewa, cukup aku saja."

Aku tidak tahu bagaimana reaksi Rama usai mendengarku berbicara karena selanjutnya aku kembali mengalihkan pandanganku ke lain arah, kemanapun asal tidak memandang pria dari masalaluku tersebut. Untuk beberapa saat aku menyesal sudah berbicara seperti ini kepadanya, tolong jangan berpikir jika aku sok menjadi pahlawan kesiangan karena yang aku lakukan murni karena aku tidak tega melihat wajah kecewa Bunga.

"Miss, Thankyou, Miss." Ucapan terimakasih lirih dari Bunga membuatku menoleh, anak kecil yang sering membuatku pusing karena sering menempel kepadaku tersebut kini tersenyum kecil kepadaku.

"Kenapa bilang terimakasih ke Miss?" Tanyaku tidak paham. Jika ada hal yang aku sukai itu adalah saat aku berbicara dengan Bunga, ada kalanya Bunga membuatku kesal jika sudah sepik-sepik tentang Papanya, namun disaat yang lain Bunga adalah anak kecil yang pintar mengutarakan perasaannya, public speaking Bunga benar-benar bagus untuk anak seusianya. Mungkin kalau sudah dewasa Bunga ini bisa menjadi Jubir Kepresidenan atau kalau tidak ya staf diplomat luar negeri.

"Soalnya Miss baik, sih! Miss bener-bener kayak jadi Maminya Bunga. Hihihihi." Hemmbbb, Bisaan ini bocah, batinku dalam hati sembari mendengus kecil. "Miss, Miss tahu nggak kalau makan bertiga kayak gini udah kayak Happy family yang sering Bunga lihat di TV. Ada Mami, Papa, sama anak. Bunga seneng tahu nggak sih, Miss."

Mendengar perumpaan menyakitkan yang diucapkan Bunga dengan riangnya membuatku segera meletakkan makananku kembali, mendadak aku menjadi tidak berselera untuk makan. Terbiasa melihat Bunga yang tersenyum dan tertawa membuatku lupa jika anak ini adalah anak yang dibesarkan tanpa sosok seorang Ibu.

Sesempurna apapun sosok sang Ayah dalam menjalankan peran, tetap saja ada kekosongan yang tidak bisa digantikan. Aku yang terbiasa dan tumbuh dalam keluarga cemara tidak akan related dengan apa yang dirasakan oleh Bunga, mungkin itu sebabnya aku selalu berusaha memaklumi jika segala sikap Bunga saat anak manis ini mencoba mencari perhatian denganku.

"Dulu Papa sama Mama Bunga memangnya nggak pernah makan bareng?" Tanyaku dengan hati-hati, selama ini aku menahan diri untuk tidak kepo dengan kehidupan pernikahan Rama, tapi melihat Bunga merindukan sosok seorang Ibu tapi tidak dengan sosok Mamanya, membuatku penasaran bagaimana dulu kehidupan Bunga bersama orangtuanya.

"Mama Bunga nggak pernah ada dirumah, ada dirumahnya cuma larut malam sama pagi buta. Nggak pernah nemenin Bunga maem apa bobok, Bunga bobok sendiri, maemnya sama Papa. Bunga udah bilang kan Miss, Mamanya Bunga itu nggak sayang sama Bunga."

Bagaimana bisa seorang anak berusia 6 tahun menceritakan hal ini dengan mudahnya, meskipun ada kegetiran di suara Bunga, tapi senyuman manis itu masih tersungging diwajahnya. Tolong, jika sudah seperti ini, apa kalian yakin bisa mengacuhkan Bunga?

Meskipun Bunga sama sekali tidak kelihatan bersedih, namun aku tetap mengusap rambutnya perlahan, meski aku hanyalah gurunya, namun aku ingin menunjukkan kepada Bunga jika aku menyayanginya.

"Mamanya Bunga sayang sama Bunga, kok."

Bunga menggeleng pelan, "nggak Miss, Mama Bunga nggak sayang sama Bunga sama Papa. Tiap hari Mama ngamuk terus sama Bunga sama Papa juga, teriak-teriak, marah, terus sering nggak pulang, sampai akhirnya Mama pergi dibawa sama Om Giovan dan nggak pulang lagi. Kata Bik Ningsih, Ibunya Dafa, Mama sama Papa cerai, jadi nggak satu rumah lagi. Habis itu Bunga nggak ada lihat Mama."

Dengan lancar Bunga menceritakan tentang apa yang terjadi di dalam hidupnya selancar sebuah kisah menyenangkan, aku yang mendengarnya justru menggigit bibirku nyeri sendiri. Benar ya rupanya, anak kecil yang orang dewasa kira tidak tahu apa-apa nyatanya merekam semua hal yang mereka lihat dengan apik, dan sekarang Bunga mengungkapkan semua yang pernah dia lihat kepadaku.

"Miss, Bunga pengen punya Mami yang sayang sama Bunga sama Papa. Bunga pengen punya keluarga kayak Dafa, ada Ayah, Ibu sama anak."

Hisssss, paling nggak bisa aku tuh kalau sudah berurusan dengan anak kecil yang sedih, jika yang diminta Bunga adalah jajanan, aku tidak akan keberatan menghabiskan gajiku untuk membelikannya asalkan mendung itu menghilang dari wajahnya, sayangnya yang Bunga minta adalah sebuah keluarga.

"Miss, Miss beneran nggak mau jadi......."

"Maaf, bikin kalian nunggu lama."

7 tahun penuh aku merutuki Rama, baru kali ini aku merasa lega karena kedatangannya yang menyelamatkanku dari cecaran permintaan Bunga yang bingung bagaimana aku harus menolaknya tanpa menyakitinya. Jangankan menjadi Ibunya, jika ditanya bagaimana perasaanku sekarang saja aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya, rasanya hampa, ada ketakutan yang aku rasakan setiap kali ada rasa tidak biasa yang menjalar masuk kedalam hatiku. Bagi sebagian orang patah hati dan kandasnya hubungan adalah hal yang biasa, tapi nyatanya tidak untukku, kecewa yang aku rasa membekas terlalu dalam.

"Kamu tidak keberatan aku duduk disini, Ta?" Pertanyaan yang terlontar dari Rama saat melihatku termangu membuatku terhenyak. Sorot mata tajam dari pria yang ada di hadapanku ini membuatku serasa terlempar kepada banyak masa yang sudah menjadi kenangan. Sorot matanya masih sama, namun kini keadaannya yang berbeda.

Farah benar, segalanya sudah berlalu, namun aku masih terjebak pada luka dalam diriku sendiri. Sudah cukup aku menghindar, mengambil waktu untuk berpikir dengan benar dan sekarang waktunya aku mengambil keputusan atas hatiku sendiri.

"Nggak, silahkan. Jangan ngecewain Bunga." Ucapku ringan, dan rasanya sangat melegakan saat akhirnya aku bisa berdamai dengan diriku sendiri. Berhadapan langsung dengan Rama nyatanya tidak seburuk yang aku bayangkan, kenangan menyakitkan tersebut masih tersisa, tapi kini bukan lagi waktuku untuk terus melarikan diri dari trauma, bahkan yang luar biasanya dari diriku adalah aku yang melemparkan senyuman tipisku kepadanya. Hal yang bahkan tidak pernah aku bayangkan dalam hidupku sendiri.

Aku tipe orang yang pembenci, saat seseorang mengecewakanku, maka aku akan membencinya habis-habisan, tapi lagi-lagi, Bunga membuat segalanya menjadi sebuah pengecualian, dan rupanya bukan hanya diriku sendiri yang heran dengan sikapku ini, Rama pun rupanya sama. Pria yang terlihat tidak menua tersebut menatapku sejenak sembari mengerjap keheranan akan sikapku yang sepertinya tidak disangkanya sama sekali ini.

"Miss, Miss nggak marah Papa duduk disini? Kirain Bunga Miss bakal ngambek kayak kemarin-kemarin kalau Papa deketan dikit saja gitu."

Polos sekali pertanyaan dari Bunga ini, ceplas-ceplos mengeluarkan apa yang ada di pikirannya, menggemaskan sekali kejujuran anak sekecil ini.

"Bunga.........." Terdengar suara Rama yang menegur putri kecilnya tersebut atas apa yang Bunga katakan, namun tak pelak aku justru tertawa.

"Kayaknya Miss udah capek deh marah-marah sama Papamu selama ini, energi Miss buat marah-marah sudah terkuras habis sampai nggak bisa marah lagi."

Kisah Yang Belum UsaiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora