Nice to meet you, Shita.

2.9K 375 15
                                    

"Papa, Miss Shita jadi Mami Bunga boleh ya, Pa!"

Papa? Astaga, ingin rasanya aku menertawakan hidupku yang sudah sangat seperti sinetron ini. Bisa kalian tebak kan siapa yang dipanggil Bunga Papa itu siapa? Diantara berjuta manusia di bumi ini, diantara jutaan kilometer kota yang ada di Indonesia, dan diantara ratusan TK yang ada di Surabaya, kenapa? Kenapa harus anak dari mantan pacarku ini yang ada di hadapanku? Puncak komedi tertinggi dalam hidupku adalah menjadi guru yang mengajar dari anak mantan pacarku.

Tolong, jika ini di jadikan drama memuakkan di Indosiar, aku rasa judul ini sudah sangat cocok. Seperti orang bodoh aku mematung di tempatku saat melihat sosok yang 7 tahun sama sekali tidak ada perubahan tersebut semakin mendekat, tubuh tegapnya masih sama, mungkin justru makin terisi terlihat dari bisepnya yang tidak tersembunyi dibalik lengan seragamnya yang di gulung. Berbeda denganku yang hancur berantakan bahkan sampai masuk rumah sakit karena kecelakaan berkat ulahnya, pria yang sudah menorehkan luka kepadaku tersebut tampak baik-baik saja.

Ya ampun, memangnya kamu berharap dia bagaimana Shita? Berharap dia akan menyesal dan mendapatkan karma buruk karena sudah meninggalkanmu? Tidak, karma seperti itu hanya ada di dalam sinetron atau Part novel bukan dalam kehidupan nyata. Tentu saja dia akan baik-baik saja, bahkan hidup seorang Rama Farid pasti akan sempurna, karier bagus karena memiliki mertua seorang Tentara yang akan memuluskan kariernya, juga dengan istri seorang dokter, profesi yang seringkali di sebut pasangan ideal dari para Perwira tentara, aku merasa bodoh sekali disini karena hancur sendirian sementara pria di hadapanku ini, bahagia sejahtera bahkan memiliki seorang putri yang menggemaskan.

Semakin pria yang sudah menghancurkanku tersebut mendekat. Semakin senyuman yang sebelumnya tersungging di bibirku seketika luruh tanpa bisa aku cegah, aku tidak sebaik itu untuk tetap bisa baik-baik saja terhadap seorang yang sudah melukaiku.

Diantara banyaknya kebetulan yang ada di dunia ini, mungkin inilah Part yang paling aku benci. Semuanya terlalu menyakitkan, bayang-bayang masalalu tersebut muncul kembali setelah susah payah aku singkirkan hingga tanpa aku sadari, aku mundur menjauh saat Ayah dan anak itu saling memeluk.

"Maafin Papa jemputnya terlambat, ya!"

Bisa aku dengar permintaan maaf dari Rama kepada Bunga, kata maaf yang tidak pernah dia ucapkan saat dia dengan kesadaran penuh menghancurkan hati dan harapku dengan sangat kejinya.

Ingin rasanya aku berlari menjauh dari dua orang yang ada di hadapanku ini karena aku sudah tidak bisa menahan perasaanku yang sudah berkecamuk di dalam dada, sayangnya profesionalitas seorang pengajar tidak mengizinkanku untuk ngacir pergi begitu saja. Sedari tadi aku menemani Bunga sudah seharusnya aku mengembalikannya kepada Ayahnya.

"Nggak apa-apa, Pa. Bunga tahu kok Papa pasti sibuk. Lagian disini Bunga nggak sendirian kok Pa, Bunga di temenin Miss Shita. Miss, kenalin ini Papanya Bunga."

Dengan polosnya Bunga memperkenalkanku kepada Ayahnya, mata bulat itu berbinar menatap ke arahku, dan sekarang saat dia bersisian dengan Ayahnya aku tersadar kenapa wajahnya begitu familiar dimataku, karena Bunga benar-benar fotokopian Rama Farid dalam versi mungil berambut panjang. Lagi dan lagi, rasanya aku ingin menertawakan diriku yang mendadak merasa bodoh ini saat menyadarinya.

Menuruti permintaan anaknya, Rama mendongak, menatap tepat ke arahku yang balas menatap tepat ke matanya, terlalu banyak hal yang terlihat di sorot matanya namun sayang aku sudah terlanjur sakit hati dengan sikapnya, jangan mengira jika aku akan memalingkan pandanganku darinya karena aku tidak semenyedihkan itu untuk melakukan hal yang akan membuatnya besar kepala mendapatiku yang masih berkubang pada luka yang dia torehkan.

Aku bukan orang baik dan juga bukan orang yang berhati malaikat, sikap manisku kepada Bunga entah kenapa kini sulit untuk aku lakukan lagi saat tahu jika Bunga adalah putri dari orang-orang yang sudah melukaiku, aku tahu jika tidak seharusnya aku turut menjauh dari anak yang sama sekali tidak tahu apa-apa soal masalah yang aku alami, tapi yakinlah jika sikapku ini sangat manusiawi untuk seorang yang pernah di campakkan tanpa kata maaf dan penjelasan seperti badut hiburan yang dibuang saat dia mulai serius dengan hidupnya.

Tangan tersebut terulur ke arahku, entah apa yang dia pikirkan, seolah tanpa dosa sama sekali sosok Rama berbicara, "Nice to meet you, Shita. Lega melihatmu baik-baik saja."

Aku melihat tangan itu untuk beberapa saat, tidak ada niat sedikitpun untukku menyambut uluran tangannya, aku melihat tangan itu bergantian dengan wajahnya yang sama sekali tidak berubah, tujuh tahun berlalu siapa yang menyangka jika pertemuan kami kembali dengan cara seperti ini? Terlalu sinetron untuk sebuah kenyataan. Senyuman yang tersungging dibibirnya nyatanya membuatku semakin benci kepadanya./

"Aku? Tentu saja aku baik-baik saja!" Jawabku singkat, mengacuhkan uluran tangannya yang melayang di udara tanpa sambutan, senyuman sinis pun tidak luput dari wajahku karena aku bukan seorang penganut sekte jika sudah jadi mantan bisa menjadi teman. Omong kosong tentang semua hal itu karena aku membenci mantanku satu-satunya ini. Sikapku yang sangat tidak bersahabat ini sontak membuat wajah Rama seketika berubah, campuran antara penyesalan sekaligus helaan nafas lelah.
"Bagus jika Anda sudah datang menjemput, kalau begitu saya permisi dan usahakan lain kali menjemput tepat waktu. Sikap Anda ini amat sangat tidak bertanggungjawab."

Katakan aku keterlaluan dalam berbicara, namun rasa marahku mendapati kenyataan jika hidup seorang yang sudah menghancurkanku begitu sempurna tidak bisa aku kendalikan. Aku merasa dunia begitu tidak adil untukku hingga melupakan keprofesialanku sebagai seorang pengajar. Sebisa mungkin, aku bahkan menghindari pandangan bingung dari Bunga melihat perubahan sikapku yang tiba-tiba, aku berjalan melewati mereka begitu saja.

"Kalau begitu saya permisi."

Ucapku tanpa ekspresi, tanpa menoleh lagi, aku terus melangkah pergi. Kedua tanganku terkepal, menahan rasa sesak yang tidak nyaman. Sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata namun aku merasa tidak seharusnya takdir membawaku bertemu dengan Rama kembali. Susah payah aku bangkit dari keterpurukan, namun ujung-ujungnya kami kembali bertemu dan aku harus melihatnya yang kini menjadi sosok seorang Ayah yang sempurna untuk anaknya.

Astaga, aku mengajar anak mantan pacarku sendiri. Ini benar-benar menggelikan. Rasanya sia-sia aku pergi dari Solo ke Surabaya, bukannya menemukan sosok baru yang akan menjadi sumber bahagiaku, aku kembali bertemu dengan Rama lagi.

"Shita, tunggu......"

Teriakan yang memanggil namaku tersebut menggema di pelataran parkir sekolah yang mulai sepi, alisku terangkat tinggi saat Rama berlari menghampiriku, tidak ada nafas yang tersengal menunjukkan betapa baiknya fisik yang dimiliki oleh Abdinegara satu ini. Jangan berharap aku memasang wajah ramah karena tidak ada dalam kamusku bersikap baik kepada orang yang sudah menyakitiku.

"Apa? Saya mau pulang! Minggir, waktu luang saya sudah tersita karena harus menemani anak Anda!"

Kembali, kata jahat terucap dari bibirku, namun aku sama sekali tidak menyesalinya, sebisa mungkin aku ingin menyakitinya seperti dia yang sudah menyakitiku.

"Silahkan kalau kamu ingin membenciku, tapi tolong jangan libatkan Bunga. Sikapmu barusan menyakitinya. Anakku, dia tidak bertanggungjawab atas kesalahan yang sudah aku perbuat kepadamu."

Kisah Yang Belum UsaiWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu