13. Nasihat Yang Menohok

2.7K 337 18
                                    

"Sudah tenang kamu sekarang?"

Aku masih sesenggukan usai menangis hebat seperti anak kecil, dan saat Mbak Risa memberikan segelas teh hangat kepadaku aku masih belum bisa berbicara karena nafasku yang memburu.

"Kamu kenapa Ta, kayaknya habis nangis! Ma, itu si Tante kenapa?" Tidak cukup hanya Mbak Risa yang ada di hadapanku, Mas Aska, Papanya Aira yang baru saja kembali dari kantornya, seorang kakak ipar yang kelewat baik ini kini menatapku penuh rasa penasaran saat dua bersisian dengan istrinya.

"Habis ketemu mantannya yang dulu bikin dia patah hati sampai masuk rumah sakit, Pa."

Tanpa sungkan dan enteng sekali Mbak Risa menjawab pertanyaan suaminya, dan tentu saja mendengar hal ini sontak saja Mas Aska langsung menegakkan tubuhnya bersiap bertanya secara mendetail.

"Mantan pacarmu yang Tentara itu, Ta? Yang bener dia ada di sini? Di Surabaya sini?"

"Malahan anaknya tuh si Mantan sekolah di tempat Shita ngajar, makanya nangis dah tuh si Shita, Pa."

Mendengar penuturan dari istrinya, Mas Aska menatapku dengan pandangan iba dan kasihan. Sedikit informasi, kakakku yang menjadi konsultan design interior ini adalah anak tunggal, jangan pernah berpikiran kedekatanku dengannya dengan pemikiran yang tidak-tidak karena baginya aku adalah adiknya yang tidak pernah dimiliki, jangankan genit pada adik iparnya, cinta Kakak iparku ini sudah habis pada Kakakku yang sering banget kosplay menjadi singa gunung, itu sebabnya saat mendapatiku menangis, kekhawatiran Mas Aska sama persis seperti Mbak Risa. Romantisme pasangan yang bahasa tubuhnya adalah satu berantem satu pengalah itu membuatku sedikit iri.

"Haduh kasihan banget kamu! Udahlah dulu mendadak ditinggal kawin. Patah hati sampai kecelakaan motor di rawat semingguan di rumah sakit, eeeeh susah-susah lari ke Surabaya malah ketemu lagi. Mateng kon bakale ngulang anake arek mantan!"

"Mas Aska, jangan ngomong kek gitu!" Teriakku tidak terima, saat Mas Aska yang berbicara entah kenapa terdengar sangat mengenaskan sekaligus memalukan disaat bersamaan.

"Lah habisnya kok bisa sih sekebetulan ini? Terus gimana reaksi dia waktu dia ketemu kamu lagi, Ta? Dia ada minta maaf gitu sama kamu? Atau justru dia pura-pura nggak ada masalah diantara kalian?" Tanyanya semakin penasaran dan mengingat bagaimana dengan mudahnya Rama berkata nice to meet you, aku lega lihat kamu baik-baik saja, membuatku rasanya ingin mengunyah meja sekarang juga! Jika sebelumnya aku menangis karena frustrasi, maka sekarang aku benar-benar kesal bukan kepalang hingga rasanya aku tidak sanggup bercerita lagi, itu sebabnya Mbak Risa yang mengulang kembali semua yang sudah aku ceritakan kepada suaminya, dan aku sangat berterimakasih kepada kepekaan Kakakkku yang sering ngereog ini. Dengan perhatian Mas Aska mendengarkan sampai akhirnya saat Mbak Risa sudah selesai dia mengangguk-angguk pelan.

"Ya kalau kamu masih marah sama dia, ya wajarlah, Ta. Nggak apa-apa marah saja, jangan ditahan, sikapmu ini manusiawi kok buat orang yang dipermainkan bahkan tanpa ada kata maaf dan alasan. Orang yang sabarnya seluas Samudera emang cuma ada di sinetron, tapi......" nah tapinya ini loh, sudah bisa aku pastikan jika Mas Aska menceramahiku, berbeda dengan Kakakku yang darderdor bahkan tanpa segan langsung berteriak saat itu juga, Mas Aska adalah tipe orang yang membesarkan hati terlebih dahulu sebelum akhirnya dia menyampaikan pendapatnya. Hal yang sebenarnya tidak disukai oleh orang yang tengah marah karena disaat seperti yang aku rasa sekarang, kami tidak butuh nasihat melainkan dukungan, hal yang salah, dan kalian tidak boleh menirunya karena walau bagaimanapun kalian harus mendengarkan nasihat dari seornag yang berpikiran waras. "....... yang lalu biarkan berlalu, Shita. Rama, istrinya, dan anaknya, itu semua masalalu yang harus kamu tinggalkan, tidak perlu berdamai jika kamu belum bisa, kamu hanya perlu menjaga dirimu sendiri agar tidak semakin terluka tapi usahakan, usahakan dengan sangat agar kamu tidak menyakiti siapapun dalam usahamu menjaga dirimu sendiri ini. Kamu tidak perlu berbaik-baik kepada mereka, hindari bertemu mereka jika bertemu mereka menyakitimu. Mereka buruk, tapi kamu juga tidak boleh buruk seperti mereka. Dan Mas sangat yakin, adik Mas ini bukan orang jahat."

Ucapan lembut dari Mas Aska yang begitu dewasa membuat mataku terbuka, secara tidak langsung Mas Aska menasehatiku untuk tidak bersikap buruk bahkan sampai menyakiti Bunga. Tidak, bukan inginku menyakiti anak manis tersebut, tapi kenyataan jika gadis menggemaskan itu adalah putri kecil dari Rama yang membuatku sulit untuk menerima.

"Shita, terdengar naif memang nasihat Masmu ini, tapi yang Mas Aska bilang benar. Kamu jangan jadi orang jahat apalagi ke anak kecil hanya karena orangtuanya jahat. Baku hantam memang perlu untuk mereka yang sudah menyakiti kita, tapi saat kita mencoba berdamai dengan segalanya, Tuhan akan memberikan kemudahan. Lihatlah, Mbak. Ditinggalin Prayudha karena katanya keluarga kita nggak sepadan, nyatanya Tuhan kirim Mas Aska yang lebih segalanya. Hal yang sama pun berlaku buat kamu. Jadi berhenti menangis, berhenti marah, jalani hidupmu perlahan jangan berhenti di angka 22 tahun, mengerti?! Atau kamu mau Mbak jadwalin ke psikolog, sepertinya kamu sudah terlalu parah kejebak masalalunya."

"Mam, jangan begitu!" Mas Aska yang mendengar kata psikolog sontak langsung menepuk paha istrinya, terdengar renyah sekali tepukannya karena gemas, "Shita hanya perlu menyelesaikan masalalunya yang belum selesai. Seringkali takdir membawa seseorang untuk bertemu kembali itu karena ada sesuatu yang harus diselesaikan. Tapi usulan Mama boleh juga sih kalau memang Shita masih terus kayak gini, intinya Shita........."

Dua orang pasangan suami istri yang sebelumnya berdebat asyik sendiri tersebut sontak melihat ke arahku, aku hanya punya satu Kakak, yaitu Mbak Risa, namun nyatanya Tuhan begitu baik mengirimkan Mas Aska juga yang tidak kalah pengertiannya kepadaku, tidak segan dia memujiku, namun dia juga mengarahkanku. Pasangan yang ada di hadapanku ini membuatku merasa jika keluarga seperti inilah yang aku harapkan kelak.

"Hadapi saja semampumu, dan tenang saja, ada kami yang akan melindungimu, mendampingimu, dan mendengar semua keluh kesahmu. Sudah, ceramah Mas cukup sampai disini, sekarang mandilah dan kita akan makan-makan biar kamu nggak merana kayak gini."

Mbak Risa menarikku untuk bangkit, mendorongku agar beranjak mandi yang langsung aku turuti tanpa ada bantahan, ya sepertinya aku memang butuh penyegaran untuk otakku yang terasa panas mengepul.

"Tante Shita........."

Tepat saat aku selesai mandi, suara riang dari Aira membuatku menoleh. Sosok menggemaskan yang berkuncir dua tersebut membuatku sontak teringat pada Bunga tadi siang, seketika rasa bersalah menjalar dihatiku, aku bersuara begitu ketusnya kepada bocah kecil tersebut saat tahu jika dia adalah anak dari Rama tanpa berpikir betapa kecewanya Bunga saat me dengar kalimatku yang sangat jahat.

Bodohnya kamu ini Shita, mencampuradukkan kecewa pada seorang yang tidak semestinya. Inilah yang aku benci dari diriku, seringkali bertindak lebih dahulu tanpa memikirkan apa yang akan terjadi.

"Tante, ini mukena Tante sudah kering, Papa sama Mama minta Tante buat sholat dulu sebelum pergi. Kata Papa, Tante harus banyak-banyak berdoa sama Allah biar Allah kasih mudah segala masalah yang sedang Tante hadapi."

Damn! Kakak iparku itu memang orang nomor satu jika urusan menasehati secara halus.

Kisah Yang Belum UsaiWhere stories live. Discover now