16. Celetukan Bunga

2.4K 321 14
                                    

"Miss, kata Papa, Miss Shita dulu pacarnya Papa ya, Miss? Kalau begitu sekarang pacarannya dilanjut saja Miss, Papa Bunga Duda loh, Miss!"

Kalimat polos yang diucapkan tanpa beban oleh Bunga tersebut membuatku ternganga dengan wajah bodohku, bukan hanya syok karena bisa-bisanya Rama menceritakan hal yang amat sangat tidak penting ini kepada anaknya, sebuah informasi yang sangat tidak berguna sebenarnya, tapi aku  juga terkejut dengan fakta jika pria yang berlari panik mengejar anaknya tersebut rupanya gagal dalam berumah tangga, hal yang ternyata meleset jauh dari perkiraanku.

Namun yang paling membuatku tercengang dari sepenggal kalimat yang diucapkan oleh Bunga adalah permintaannya yang memintaku untuk melanjutkan hubunganku dengan Papanya yang telah kandas di masalalu.

Mata bulat seperti boneka tersebut mengerjap menatap ke arahku, senyuman tulus terlihat di wajahnya penuh harapan atas apa yang baru saja dia minta kepadaku. Ya Tuhan, Nak. Bagaimana aku harus berbicara denganmu? Kebencian yang sempat merajai hatiku karena Bunga adalah anak dari Rama seketika menguap mendapati bagaimana polosnya makhluk menggemaskan ini di hadapanku, bukan permintaannya barusan yang membuat kebencianku luruh, tapi karena aku melihat ketulusan anak kecil yang polos yang membuatku tersadar jika Bunga sama sekali tidak berhak atas kebencianku karena ulah orangtuanya.

"Ta, mantan Kon yang bikin gagal moveon itu Bapake arek iki?"

Bisikan dari Farah yang turut melongo karena permintaan Bunga membuatku mengangguk pelan, sontak saja Farah langsung ingin menjerit namun rupanya Mamanya Arlan tersebut berhasil meredamnya, bergantian dia menatap Bunga yang masih setia memeluk pinggangku dengan Rama yang berlari menghampiri Bunga, sepertinya sikap tidak terduga Bunga ini juga diluar prediksi pria berseragam sama seperti Fadlan yang baru saja pergi.

"Bujug, makanya kon nggak isa moveon, modelan duda keren ganteng tujuh turunan mirip kek Chanyeol mah aku juga bakalan gamon seumur hidup. Ngerti aku sekarang kenapa kon nggak isa moveon."

Wes ta lah saksenengmu, Rah, Farah!

Tampak jelas di wajah Rama bagaimana syoknya dia saat melihat Bunga sudah nemplok di kakiku, di tangan pria yang berusia 31 tahun tersebut sebuah tas dan kotak bekal makan siang pun ada, rutinitas pagi dan pemandangan yang sangat lazim untuk seorang Bapak-Bapak yang mengantar anaknya sekolah. Sempat pandangan kami bertemu, namun Rama lebih dahulu mengalihkan pandangannya dan lebih memilih untuk membujuk Bunga yang belum mau melepaskan pelukannya yang sangat erat pada pinggangku.

Berada di situasi yang sangat tidak mengenakan seperti ini tentu saja membuatku merasa canggung, rasanya campur aduk saat akhirnya tahu jika kisah hidup Rama yang aku kira sempurna rupanya juga mengalami kegagalan.

"Bunga, lain kali tungguin Papa kalau mau turun, Nak! Sini, lepasin Miss-nya salam sama Papa dulu! Jangan ngerecokin kayak gini, Nak, Ya Allah!"

Rama berusaha menarik Bunga agar menjauh dariku, sengaja aku tidak bereaksi apapun, tidak meminta Bunga menjauh atau apapun, dari jarak yang sedekat ini bisa aku lihat jika telinga pria yang menjadi masalaluku ini memerah, satu kebiasaannya jika dia tengah canggung, rupanya bukan cuma aku yang merasa tidak nyaman dengan situasi ini, begitu pun dengan Rama sendiri, aku hendak memalingkan pandanganku, enggan untuk melihat ke arah Rama dan Bunga karena aku ingin mengeraskan hatiku atas semua hal yang berkaitan dengan masalalu, namun disaat itulah tatapan mataku bertumbuk pada jam tangan yang dikenakan oleh Rama di tangan sebelah kanannya.

7 tahun sudah berlalu, namun aku masih ingat dengan jelas jam tangan yang kacanya sudah retak tersebut karena jam tangan itu adalah hadiah ulang tahun yang aku siapkan untuk Rama sebelum dia memutuskanku. Jam tangan yang saat itu aku lemparkan ke dahinya hingga pelipisnya berdarah. Aku benar-benar sudah melupakan hadiah tersebut, aku berpikir mungkin jam tangan yang harganya tidak seberapa itu mungkin sudah dibuang ke tempat sampah, namun nyatanya jam tangan itu masih ada, melingkar dengan apik di tangan berurat milik pria yang sibuk melepaskan anaknya dari kakiku.

"Bunga, Bunga dengerin Papa, Bunga nggak boleh gangguin Miss kayak gini!"

"Papa apaan, sih! Bunga nggak mau lepasin Miss, Pa. Bunga mau bujuk Miss biar mau jadi Maminya, Bunga. Papa diem, deh!"

Beragam bujukan tidak didengarkan oleh Bunga yang terus  menggelendot di pinggangku yang membuat Rama tampak semakin frustrasi, aku memang sakit hati dengan caranya Rama dalam meninggalkanku dahulu, aku pun pernah mendoakan agar hidupnya tidak bahagia seperti yang aku rasakan, namun saat aku mendapati jika hidup Rama pun tidak baik-baik saja dengan kegagalannya, bahkan tidak pernah terbayangkan sedikitpun di benakku jika Rama akan menjadi seorang single parent yang mengasuh anaknya, perempuan lagi. Sehancur apa hubungannya dengan mantan istrinya hingga hak asuh jatuh pada Rama yang notabene seharusnya anak dibawah 17 tahun akan ikut dengan Sang Ibu? Apapun yang terjadi pada Rama dan istrinya, aku yakin itu bukan hal yang bagus.

"Sudahlah, biarkan saja. Saya tidak keberatan."

Mengalah karena aku risih sendiri dengan pertikaian Ayah dan anak ini, aku memilih mengalah dengan menghentikan Rama yang berusaha membujuk Bunga untuk melepaskanku. Meskipun aku sangat tidak suka dengan Rama, ingatkan aku jika aku masih sangat membencinya, dan sama sekali tidak memaafkannya atas kesalahannya, namun aku tidak bisa menutup mata mendapati tingkah urakan Bunga yang gas ngeeeng dalam berbicara ini, perbedaan besar seornag anak yang tumbuh tanpa di dampingi sosok Ibu yang benar membuat terlihat di diri Bunga. Gadis kecil ini ramah, supel, baik dan periang, namun tetap saja berbicara seblak-blakan yang dia lakukan baru saja seharusnya tidak dilakukan, anak sekecil Bunga harus diajarkan apa yang bisa dikatakan dan apa yang tidak.

"Kemarikan tas dan bekalnya Bunga. Biar saya yang mengantarkan Bunga ke kelasnya."

Bisa aku lihat senyuman Bunga mengembang mendapati tanganku terulur ke arah Papanya, dan mengambil alih tas besar warna pink dan kotak bekalnya tersebut, dengan kebingungan mendapati perubahan sikapku, Rama pun manut-manut saja memberikan semua barang-barang anaknya tersebut kepadaku.

"Terimakasih, Miss. Maaf merepotkan." Sama sepertiku yang berbicara formal, Rama pun melakukan hal yang sama, lucu memang jalan takdir yang menyapa kami berdua, dahulu kami sedekat nadi namun ternyata kini kami begitu asing.

"Nggak perlu terimakasih, sudah tugas saya!" Jawabku ketus dan itu membuat Rama menggaruk tengkuknya yang tidak gatal karena responku yang sangat tidak bersahabat, dengan wajahku yang cemberut dan sama sekali tidak berniat untuk menyembunyikan kekesalanku kepadanya, aku membawa Bunga berbalik pergi dari gerbang meninggalkan Rama bersama dengan Farah yang menahan tawanya.

Namun belum sampai lima langkah aku pergi meninggalkan mantan brengsekku tersebut, bocah kecil yang kelakuannya bertolak belakang dengan wajah cantiknya tersebut kembali mengeluarkan celetukannya yang sangat diluar nalar.

"Miss, kalau kayak gini ini artinya Miss mau kan jadi Maminya Bunga."

Astaga, ini bocah, kenapa dia meminta sesuatu yang sangat serius persis seperti dia ketika meminta kinderjoy? Tidak tahukah Bunga ini kalau masalah antara aku dan Papanya serumit benang kusut yang tidak bisa aku jelaskan semudah 1+1 bisa menjadi gambar jendela?

Kisah Yang Belum UsaiWhere stories live. Discover now