Bertemu Kembali

2.8K 367 28
                                    

"Miss temenin ya, Cantik."

Mendapati sosok mungil berkuncir dua berkalung botol air minum warna pink yang tengah menunggu jemputan sendirian tersebut membuatku mendekat, mendengar teguranku, sosoknya yang kecil untuk usia 6 tahun seketika mendongak, wajah bulat, pipi tembam, rambut lurus warna hitam dengan kulit putih, gadis kecil bernama Bunga yang tidak lain adalah murid baru TK Besar tempatku mengajar ini lebih mirip boneka dibandingkan manusia

Ada banyak anak menggemaskan yang ada di sekolah ini, tapi sosok mungil ini menarik perhatianku, wajahnya begitu familiar untukku seolah aku sudah mengenalnya sangat lama.

"Papa mungkin lupa buat jemput Bunga, Miss! Jadinya ya gini, Bunga harus nunggu Papa selesai sama tugasnya."

Sebuah kejutan untukku, gadis kecil yang aku sangka pendiam ini rupanya seorang yang pandai berbicara, tanpa aku harus bertanya, dia menjelaskan dengan apik dan santun. Sikapnya ini tentu saja membuatku terpana. Aku sudah mendengar dari Siti jika murid barunya begitu pintar namun tidak aku sangka jika gadis mungil yang berasal dari kota asalku tinggal sepintar ini.

"Kalau begitu sini, kasih Miss nomor telepon Mama Bunga. Biar Miss telepon Mama Bunga saja kalau Papa Bunga sibuk."

Aku mengeluarkan ponselku, berniat untuk segera menghubungi wali murid gadis pintar ini namun yang aku temukan justru mata besar seperti boneka tersebut nampak berkaca-kaca, binar indahnya memudar berganti dengan kesedihan. "Jangan telepon Mama Bunga Miss, nanti Mami marah! Nggak usah telepon siapa-siapa Miss, Bunga nunggu saja nggak apa-apa. Papa sibuk tapi pasti jemput Bunga, kalau nggak nanti Bu Ningsih yang jemput Bunga. Jangan bikin Papa khawatir, Miss. Nanti Papa ngebut bawa mobilnya kalau Miss telepon, Bunga nggak suka lihat Papa ngebut-ngebut."

Deg, anak sekecil ini bisa berkata seperti ini? Sungguh mendengarnya saja sudah sangat menyakitkan untukku. Aku adalah anak yang tumbuh menjadi prioritas penuh orangtuaku, mereka selalu mementingkanku diatas segala keperluan dan keterbatasan mereka, hingga sekarang saat aku mendengar anak-anak dudukku yang rata-rata justru anak orang yang lebih dari kecukupan justru merekalah yang dituntut untuk harus mengerti kesibukan orangtua mereka. Dibandingkan orangtua mereka, anak-anak ini justru lebih dekat dengan sosok yang di panggilnya Ibu, bisa aku tebak jika Ibu Ningsih kalau bukan Sus-nya ya ARTnya.

"Hei, jangan menangis. Anak cantik nggak boleh nangis, Sayang. Kalau begitu Miss temenin disini saja, ya."

"Boleh kalau mau nemenin, sini Miss."

Tidak ingin membuat gadis kecil bernama Bunga ini menangis, aku memilih mengalah untuk tidak mendesaknya, aku ingin segera pulang untuk memasak dan rebahan di kamarku tercinta dengan backsound tangisan keponakan dan teriakan kakakku namun sayangnya hati kecilku tidak tega untuk meninggalkan gadis semanis ini hanya dengan satpam, akhirnya aku memutuskan untuk menemani Bunga, dan mendengarnya bercerita banyak hal.

Ya, gadis mungil ini adalah seorang pembicara yang baik dan juga percaya diri. Mata yang sempat berkaca-kaca itu kini kembali menemukan binar hangatnya. Hal penting yang bisa aku tangkap dari cerita Bunga adalah gadis kecil ini lebih dekat dengan Papanya, sejak awal bercerita Bunga hanya menceritakan betapa bangganya dia dengan Papanya yang merupakan seorang Tentara, meskipun sibuk, Papanya akan selalu mengantar jemputnya, itu sebabnya saat Papanya Bunga terlambat, gadis kecil tersebut sama sekali tidak mengeluh.

"Kok kamu baik banget sih, Nak." Ucapku sembari mengusap rambutnya pelan, untuk seornag yang di urus oleh Sang Ayah, Bunga benar-benar terawat, apalagi Bunga berkata jika dia tidak memiliki perawat seperti yang lain melainkan hanya ditemani Ibu yang tugasnya membersihkan dirumah, makin salutlah aku sama ini anak. Dia mandiri dan sangat pintar untuk anak seusianya.

"Bunga harus jadi anak baik, Miss. Biar setiap doa Bunga dikabulin sama Tuhan!" Nahkan, apa nggak kalian klepek-klepek sama sikap manis anak cantik satu ini. "Setiap hari Bunga berdoa supaya Tuhan selalu jaga Papa Bunga. Bunga nggak mau Papa pergi kayak Mama, Miss. Jadi Bunga harus jadi anak baik supaya Tuhan mendengar permintaan Bunga ini."

"Bunga sayang banget ya sama Papa? Sebesar apa sayang Bunga ke Papa, coba Miss lihat!"

Gadis cantik berkuncir dua tersebut berdiri di hadapanku dengan bersemangat, senyuman sumringah muncul di bibirnya saat membicarakan ayahnya dengan kedua tangan terentang lebar, "Sayangnya Bunga sama Papa sebesar dunia ini, Miss. Bunga sayang, sayang, sayang banget sama Papa. Pokoknya Bunga love Papa banyak-banyak, hearteu, hearteu, hearteu." Tidak cukup hanya merentangkan tangannya selebar mungkin untuk menunjukkan seberapa besar rasa sayangnya kepada Sang Ayah, tanda love kecil-kecil dengan tangan ala-ala drama Korea pun tidak ketinggalan diberikan oleh Bunga untuk Ayahnya.

Aku seringkali mendapati sikap manja antara anak dan orangtua mereka, namun sikap so sweet dan romantis Bunga kepada Ayahnya benar-benar berada di level yang berbeda, sosok Papanya Bunga benar-benar sukses menjadi cinta pertama untuk putri kecilnya tersebut.

Dan sungguh melihat betapa manisnya sikap Bunga ini membuatku semakin penasaran kepada sosok Ayah yang sangat di kagumi oleh Bunga. Bukan hanya dengan simbol hati yang banyak, Bunga bahkan kini mengeluarkan kotak bekal dari tas-nya, tampak sisa-sisa makan siang yang tidak habis di dalam sana, terlihat sedikut nasi, ayam teriyaki dan juga brokoli rebus yang tidak tersentuh.

"Nih Miss, tadi pagi Papa masakin buat Bunga loh, kemarin kan temen Bunga, itu si Ditto ngejekin Bunga gegara Bunga nggak di masakin Mama, pagi tadi subuh-subuh Papa masakin buat Bunga dong. Tapi Miss......" tangan kecil itu melambai ke arahku, memintaku untuk mendekat ke arahnya karena Bunga hendak berbisik, menuruti permintaan bocah menggemaskan tersebut aku mendekat, dan benar saja saat itulah aku mendengar celetukannya, "jangan bilang-bilang ke Papa kalau tadi itu Brokolinya nggak Bunga makan gara-gara asin banget, kayaknya Papa tadi numpahin garamnya ke brokoli deh, Bunga mau ngomong tapi takut kalau Papa ngambek, kasihan udah susah-susah masak sampai bau bawang."

Astaga, seketika aku turut tergelak mendengar cerita lucu yang benar-benar tidak aku sangka ini, setali tiga uang denganku, Bunga sendiri pun terkikik geli sendiri, menggemaskan sekali pipinya yang bulat tersebut kini memerah karena tawanya, dan itu membuatku tidak tahan untuk tidak mencubitnya, mengunyel-unyelnya seperti squishy, untuk beberapa saat aku lupa jika yang ada di depanku ini adalah muridku, bukan keponakanku yang bisa bebas aku uyel-uyel atau aku bikin nangis sekalian. Untunglah, Bunga sendiri pun bukan anak yang baperan karena dia sendiri justru tertawa-tawa.

Anak ini benar-benar supel dan menyenangkan.

"Kamu kok lucu banget sih, semoga nanti kalau Miss punya anak, lucunya kayak kamu, ya!"

Bunga yang aku perlakukan seperti boneka kini menyentuh tanganku yang ada dipipinya, aku kira dia akan melepaskan tanganku dan juga protes karena tidak suka sembarangan disentuh, tapi mata seperti boneka tersebut justru mengerjap-ngerjap dengan sangat menggemaskan.

"Kalau gitu Miss jadi Maminya Bunga saja gimana? Mau nggak? Nanti kalau Miss bikin Dedek sama Papa pasti nanti Dedeknya gemesin kayak Bunga."

Heeeeehhh, anak ini, bisa-bisanya! Dan tidak cuma berhenti sampai disana sosok Bunga ini memberi kejutan untukku, sepertinya misi Bunga adalah membuatku terkena serangan jantung karena tiba-tiba karena saat aku belum selesai rasa terkejutku pasal usulannya yang tiba-tiba dan agak diluar nalar, Bunga sudah melonjak berdiri kembali dengan kedua tangan yang melambai-lambai penuh semangat ke arah gerbang, lebih tepatnya ke arah satu sosok yang membuatku pening beberapa waktu lalu. Sosok yang aku kira halusinasi tapi rupanya benar-benar nyata.

"Papa, Miss Shita jadi Mami Bunga boleh ya, Pa!"

Kisah Yang Belum UsaiWhere stories live. Discover now