Masalalu Yang Menjadi Trauma

3K 340 10
                                    

Entah berapa lama aku berputar-putar sepanjang jalan, yang aku tahu hanyalah terus berjalan menarik handle gas sekuat yang motor matic-ku bisa membawaku pergi menjauh dari rasa sakit hatiku. Ya, seperti orang bodoh aku berputar-putar tanpa arah dan tujuan yang jelas, sepanjang jalan aku menangis sesenggukan di bawah hujan, rasanya menyenangkan sekaligus melegakan meskipun saat berhenti di lampu merah ada saja tatapan aneh yang aku dapatkan karena menyadari jika ada tangis di sela tubuhku yang basah kuyup seperti tikus.

Di saat sebagaian pengemudi motor lainnya memilih untuk berteduh, aku justru nekad menerobos hujan sebagai pelarian kesedihan dan kemarahanku, semuanya serba tiba-tiba untukku dan terasa begitu tidak adil ini. Ingin rasanya aku mengamuk marah tapi harus kepada siapa aku luapkan perasaan kecewaku ini? Marah kepada sosok Mas Rama dan gadis yang hendak dinikahinya pun terasa sia-sia karena hanya tinggal sejengkal lagi mereka akan menikah.

Aku yang diberi mimpi namun ujung-ujungnya wanita lain yang dinikahi, ingin pulang dan menangis dikamar tapi kesedihanku hanya akan membuat orangtuaku khawatir. Aku hanya tinggal punya Ibu tidak mungkin aku akan membuat beliau berkecil hati saat tahu anaknya yang beliau susah payah sekolahkan menjadi seornag guru nyatanya dilepeh mentah-mentah demi seorang calon dokter yang dari wangi parfumnya saja sudah aroma duit.

Mungkin aku akan terus mengendarai motorku sampai ujung pulau Jawa sana seandainya saja keapesan lainnya tidak menghampiriku, ditengah asyik-asyiknya aku menangis di tengah derasnya hujan, tiba-tiba saja motorku terjerumus ke lubang besar besar yang tidak terlihat karena genangan air yang membuatku kehilangan kehilangan kendali, sepersekian detik aku berusaha mengendalikan motorku, tapi jalanan yang licin dan pandangan berkabut ujung-ujungnya membuatku jatuh terlempar dari motorku dengan cara yang sangat mengenaskan. Nasib baik tidak ada kendaraan di belakang dan samping-sampingku, mungkin jika dalam kondisi ramai yang ada aku justru terlindas kendaraan lain.

Sontak saja, melihat motorku yang ada jauh disana, dan tubuhku yang mulai merasakan nyeri karena terlempar jatuh, tangis yang sempat mereda itu kembali turun, seperti anak kecil aku menangis heboh, benar-benar menangis meraung-raung seperti anak kecil merasakan betapa sialnya hidupku sekarang ini. Rasanya tidak ada hal bagus dalam hidupku yang serba pas-pasan, wajah pas-pasan, ekonomi pas-pasan, pendidikan pas-pasan, dan karena semua yang serba pas-pasan ini hampir semua hal menjadikanku ban serep untuk mereka.

Ya Tuhan, salah apa aku sebenarnya hingga Engkau mengujiku seperti ini?
Kebahagiaan macam apa yang ingin aku berikan kepadaku sampai-sampai Engkau memperlakukanku sekeji ini untuk menempaku?

"Astaghfirullah, Mbak....."

Dalam perasaan yang sudah tidak karuan lagi karena rasa sakit fisik dan hati aku mendengar suara-suara orang yang berdatangan mengerubungiku, entahlah apa yang mereka lakukan kepadaku, rasanya terlalu sakit hingga aku enggan untuk merasakannya lagi. Bodoh? Ya mungkin itu kata yang pantas tersemat untukku karena saat kesedihan menenggelamkanku ujung-ujungnya hanya dirikulah yang di rugikan, dan hanya tubuhku yang hancur.

Hari itu, aku masih ingat jelas bagaimana disaat derasnya hujan, dan bagaimana hancurnya duniaku yang penuh dengan kecewa, namun disaat bersamaan aku pun sadar jika menyalahkan siapapun tidak akan mengubah keadaan dan tidak akan ada yang menolong diriku selain diriku sendiri.

Shita, Ramamu, dia bukan milikmu. Dia hanya sebuah wujud cinta pertama yang datang memberimu pelajaran bukan seorang yang datang untuk menetap di dalam hidupmu. Sudahi tangismu dan tinggalkan dia menjadi bagian masalalu, bangkitlah, perbaiki dirimu agar orang-orang yang menatapmu sebelah mata tidak lagi meremehkanmu, terpuruk hanya akan menghancurkan dirimu, dan membuat ibumu, satu-satunya orang tua yang kamu miliki bersedih.

................................. .................................

"Shita, kalau makan jangan ngelamun! Itu makananmu keburu dimakan setan!"

Suara bentakan keras dari Kakakku, Mbak Risa, membuatku tersadar jika sendok yang aku pegang menggantung di depan mulutku, melihat rintik hujan yang mulai turun di pagi hari membuatku teringat hal nahas yang terjadi padaku tujuh tahun lalu.

Waktu dengan cepat berlalu, namun luka yang aku kira sudah sembuh itu nyatanya masih ada yang berubah hanyalah aku yang terbiasa dengan rasa kecewanya.

"Iya, ini dimakan! Nggak usah teriak-teriak kek Tarzan!"

"Ya gimana nggak teriak kalau kamu saja bengong kayak ayam tetangga! Kurang-kurangin ngelamun inget si brengsek Rama. Manusia kek dia nggak pantes kamu inget."

Bukan Ramanya yang membuatku  tidak bisa beranjak, tapi rasa sakitnya yang tidak mau pergi, bukan cuma Mbak Risa yang muak, aku pun ingin segera mengakhiri kisah yang seharusnya sudah usai 7 tahun lalu namun sayangnya takdir membuat segalanya menjadi begitu berbelit-belit.

Kisah Yang Belum UsaiWhere stories live. Discover now