"Bagaimana kalau aku cerita ke media, soal bayi yang aku kandung bukan bayi Mas?"

"Pasti akan sangat heboh." Tarima tak bisa lagi berkompromi akan rasa jengkel pada sosok suami kontraknya.

"Jangan mencari masalah, Tari."

Tarima memutuskan diam. Tersadar tiba-tiba perdebatan dengan Sadha tak akan dapat menghasilkan akhir yang baik bagi mereka.

Termasuk permintaan maaf ingin didengar dari pria itu karena tuduhan padanya. Akan tetapi, seperti sulit akan didapatkan sekarang.

"Tolong pulanglah dengan saya."

Tarima menggeleng segera. "Aku nggak mau, Mas. Aku akan tetap di sini."

"Lagi pula, aku sudah minta Mas menceraikan aku, tapi kenapa belum dilakukan?"

"Saya tidak akan menceraikanmu, Tari."

"Pulanglah bersama saya."

"Untuk apa aku ke rumah, Mas?" Tarima pun meninggikan suara karena amarah tersulut lagi oleh perintah dari suami kontraknya.

"Kita bercerai saja."

"Aku yang akan gugat ke pengadilan." Tarima dengan mantap mengutarakan niatan.

"Tidak bisa, Tari. Orangtua saya akan marah."

"Mereka menyayangimu sebagai menantu mereka. Orangtua saya juga menunggu bayi yang kamu kandung sebagai cucu mereka."

"Aku akan bilang bayiku bukan darah daging Mas."

"Tidak bisa, Tari."

"Saya butuh bayi itu untuk memenuhi ekspektasi orangtua saya memiliki cucu, walau tidak anak saya."

Tarima ingin sekali menampar suami kontraknya.

Kata-kata pria itu terlalu menyakitkan, apalagi jika sudah menyinggung tentang janin yang ada di rahimnya.

Namun, melampiaskan emosi dengan marah-marah, hanya akan berakhir tanpa hasil memuaskan hatinya.

Yang diinginkan adalah permintaan maaf Sadha secara tulus. Dan harus didapatkan bagaimana pun caranya.

Lalu, tiba-tiba muncul ide licik di benaknya.

Akan cukup menarik jika direalisasikan dan melihat sang suami kontrak bertekuk lutut padanya.

"Mas Sadha ingin aku pulang?"

"Aku punya syarat." Tarima langsung menjawab, setelah melihat suami kontraknya mengangguk kecil.

Kian mantap menjalankan rencana terselubungnya..

"Syarat apa yang kamu minta?"

"Cintai aku, Mas."

"Lebih mudah untuk Mas nggak suka denganku, dibanding Mas mencintaiku, 'kan?"

"Kalau Mas sudah bisa mencintaiku, akan aku ikut pulang bersama Mas."

"Jika Mas nggak bisa mencintaiku dalam waktu tiga bulan, kita berpisah saja. Bayi yang aku kandung akan sepenuhnya tanggung jawabku."

Tarima menantang Sadha. Amat yakin pria itu tak akan pernah bisa memberikan hati untuknya.

Tentu nanti, Sadha akan menyerah dan mengabulkan permintaannya untuk bercerai.

"Sekarang Mas lebih baik pulang dan pikirkan matang-matang permintaanku."

Tarima mendorong Sadha agar meninggalkan segera rumahnya, tapi pria itu tak bergerak barang sedikit pun. Berdiri mematung begitu kaku.

"Pulang sekarang." Akhirnya ia harus bersuara.

Perintahnya tak segera dilakukan. Dan entah mengapa dapat menyulut amarah dengan cepat di dalam dirinya.

Dan sang suami kontrak tak kunjung berikan respons atas apa maunya.

"Aku bilang pulang!" Volume dinaikkan.

"Pulang, Mas." Tarima mengulang kembali. Nadanya kian dingin dengan segenap rasa jengkel yang membakar dadanya.

"Saya tahu kamu marah pada saya, Tari."

"Tunjukkan saja kemarahan kamu itu."

Kali ini, mata basah Tarima tertuju penuh ke netra Sadha. Memandang pria itu tajam dan tak akan menunjukkan amarahnya.

Plak!

Plak!

Tamparan bertubi dilayangkan Tarima tepat di pipi kiri suami kontraknya. Sudah sejak satu bulan lalu, ia tahan menunjukkan amarah.

Sadha bergeming dilihatnya. Walau mata pria itu mulai berkobar oleh rasa marah. Tentu tak bisa terima dengan apa dilakukannya.

"Itu pantas untuk mulut jahatmu yang nggak mau mengakui anakmu sendiri, Mas."

Tarima siap menghadapi reaksi balik dari sang suami kontrak dalam bentuk apa pun.

Sepertinya pertengkaran mereka akan pecah.

"Apa saya harus minta maaf?"

Tarima langsung berdecak. Sangat tak suka dengan cara bicara suami kontraknya. Begitu dingin dan tak terlihat merasa bersalah.

Ya, tamparan tadi mustahil seketika membuat Sadha sadar akan tuduhan padanya.

"Ulurkan tangan kananmu, Mas."

Kurang dari semenit, pria itu menjulurkan tangan seperti yang dirinya perintahkan.

Segera diraih dan dibawa ke perutnya.

"Selain Mas akan mencintaiku ...."

"Dua bulan kedepan, aku akan buat Mas begitu menyayangi calon bayi yang Mas nggak mau akui." Tarima bertekad kuat.

Tangan Sadha segera dihempas kasar, pasca seperkian detik digunakan menekan perutnya.

"Lalu, Mas akan kehilangan anak Mas itu."

...................

Bayi Milik Suami DudaWhere stories live. Discover now