Fourteen

1.6K 103 2
                                    

Teriknya mentari yang menerobos jendela, membangunkannya dari mimpi indah yang kemudian berganti menjadi mimpi buruk.

Tidak, ini bukan mimpi.

Karena kedua bola mata indah berwarna biru itu benar - benar menyapanya tepat di hadapannya dengan jarak yang mungkin hanya satu jengkal.

Sontak, dia pun berteriak. "Aaaaaaaa!"

Dan juga, dia yang berada tepat di depannya yang sepertinya baru sadar, "Aaaaaaaaaaaaa!"

Dan kini mereka teriak bersama.

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!"

Membuat Niall yang sedang menyantap sandwichnya harus menyudahi makannya dan segera berlari menuju kamarnya.

"Hey, what's happ-- Ow, Ow.. Sorry, sepertinya aku mengganggu disini, yep? Aku takkan beritahu Dad, Aorta." Goda Niall, yang kemudian meninggalkan mereka yang masih terkejut.

"Kenapa kau bisa ada disini?!" Teriak Aorta begitu nyaring. Dia bangkit dari ranjangnya. Begitupula Theo, orang yang berada di hadapannya yang masih dengan kemeja putihnya yang kusut.

"Baik, pertama.. Ini tidak disengaja. Aku menginap di rumahmu karena kemarin malam supirku hilang entah kemana dan hujan deras. Aku tidak bisa pulang, dan ayahmu menyuruhku untuk menginap di kamarmu dan Niall, lalu kamarmu gelap, aku tak bisa melihat apapun dan kepalaku saat itu benar - benar pening dan--"

"Pada intinya begini, k-kau.. Dan a-aku, maksudku tentu aku tidak. Tapi aku tidak tahu dirimu seperti apa, jadi.." Aorta menarik napasnya berat, "K-kau tidak berbuat yang tidak - tidak 'kan, tadi malam?" Ucap Aorta dengan tatapan serius.

Theo menyerngit tak mengerti, namun sedetik kemudian matanya menyipit dan salah satu alisnya terangkat, "Kalau pun kemarin kita berbuat yang 'tidak - tidak', percayalah padaku itu bukan hal yang begitu fatal." Dan menyilangkan kedua lengannya.

Aorta membulatkan matanya, lalu melempar bantal - bantal yang ada pada Theo."Itu balasannya dosen genit tak bertanggung jawab! Enak sekali kau bilang 'itu bukan hal yang fatal'! Memangnya aku ini apa menurutmu, sir!--"

Theo menyembunyikan wajahnya dengan lengannya, "Baiklah - baiklah, Nona. Sungguh, aku tidak melakukan apa - apa padamu. Kalau pun ternyata iya, itu diluar dari kesadaranku, jadi disini tak ada yang mendapat kesempatan dalam kesempitan, oke? Lagipula kau ada kelas pagi ini, bukan?"

Aorta memberhentikan aksinya.

"Untuk kali ini kau selamat, pak dosen pembuat masalah. Tapi tidak jika aku tahu ini semua adalah rencana. Akan kuhabisi kau!" Ancamnya yang kemudian pergi menuju kamar mandi.

Theo menghembuskan napasnya, panjang. Dia memijat pelipisnya, dan tersenyum penuh arti.

Ini akan begitu sempurna.

Bisiknya dalam hati.

---

Lelaki berkumis tipis itu bangun dari tidur nyenyaknya karena pukulan dari entah siapa yang sebenarnya mengganggu tidurnya. Tapi dia masih saja tertidur pulas seolah - olah tak merasa pukulan kecil itu.

Sementara itu, Elle dan Tiff masih sibuk membangunkannya. Tiff memukul lengan Ben, dan Elle menggendong Tiff.

"Uncle Ben! Ini sudah siang, tahu! Ayo bangun, dan sarapan bersama! Aku lapar sekali! Aunty Elle sudah membuatkan pancake stroberi! Kalau Uncle tidak juga bangun, aku akan makan jatah pancake Uncle Ben! Biar saja Uncle kelaparan sampai hari menjelang siang nanti!" Teriak Tiff tepat di telinga kanan Ben.

Ben pun mengalah.

"Baiklah, Nona kecil serakah. Aku bangun!" Dia bangkit dari tidurnya, namun beberapa detik kemudian, badannya jatuh pada ranjangnya yang benar - benar memabukkan.

Bloody LoveWhere stories live. Discover now