Eleven

1.7K 117 2
                                    

Keringat bercucuran di dahi nya. Kemeja nya pun basah diguyur oleh keringat nya yang membanjir. Dia melempar setumpuk berkas-berkas lama nya ke segala arah, dengan sembarang. Demi mencari secarik kertas terkutuk itu. Kertas yang dapat merubah posisi nya saat ini, dan merubah kehidupan nya. Amarah nya seakan menumpuk pada dirinya, tak dapat dibendung lagi. Dan kemudian, ponsel nya berdering untuk kesekian kali, memecahkan kesabaran nya. Ditambah rengekan si kecil yang begitu nyaring. Seakan-akan gendang telinga nya pecah, dia mengerang kesal sambil menjambak rambut nya.

Dan Tifanny merengek hebat.

Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk mengangkat telfonnya.

"Ada apa lagi, bitch?! Sudah puas kau membuatku bangkrut, huh?!! Aku akan mengurus perceraian kita tak lebih dari seminggu, dan kau bisa bebas menikahi kakek tua itu! Dan, satu lagi. Tifanny aku yang urus. Aku tidak mau dia menjadi jalang nantinya, seperti ibunya!" Ujarnya berteriak pada ponsel nya. Ubun-ubun nya seolah berasap.

Braaakk!

Dia membanting ponsel nya, kemudian dia mengerang panjang.

Tifanny belum juga berhenti dari rengekan nya yang begitu nyaring. Pipinya basah, dan ranjang mungil nya itu juga basah karena tangisan nya yang belum usai.

Lelaki itu duduk di tepi ranjang nya yang berantakan, sambil memijat pelipis nya. "Denise! Bawa Tifanny keluar!" Teriaknya pada pelayan nya yang bernama Denise. Tak lama kemudian, Denise datang. "Baik, Tuan." Ujarnya lalu membawa Tifanny keluar.

Dia, yang duduk di tepi ranjang nya itu, menangis dalam diam nya. Tak ada seorang pun yang akan menyangka dia; dengan penampilan nya yang cukup sangar, tampang nya yang lebih dingin dari gunung es sekalipun, dan badan nya yang sangat kekar akan menitihkan air mata. Tapi, tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa bertaruh bahwa ada seseorang yang dikategorikan manusia, dan dia tak bisa menangis. Dalam diam nya, ada yang ia tak ketahui. Bahwa ada sepasang telinga yang sedang mencuri dengar.

Lelaki itu meraba saku kemejanya, dan mengambil ponselnya yang lain. Jari-jari terampilnya itu mengetik sebuah nomor telfon seseorang. Lalu dia menaruh ponselnya pada telinga kirinya.

Dan telfon tersambung.

Dia menyeka air mata nya dengan punggung tangan kanan nya."Hallo, Theo?" Senyum merekah di bibir nya saat mendengar suara adiknya ini.

---

Tok tok tok!

Seseorang mengetuk pintu ruangan nya, menyadarkannya dari lamunan nya yang indah. Indah, karena memang indah. Bukan indah yang biasa diartikan untuk seorang lelaki lajang, yang masih perjaka.

Dia berdeham kecil, memastikan suaranya berwibawa saat berbicara nanti, "Masuk!" Seru Theo.

Daun pintu nya terdorong masuk, menampakkan seorang gadis berambut coklat diikat asal dengan baju tak bertangan nya.

Theo memperhatikannya dengan tatapan tajam dan dingin. Tatapannya yang memang dibuat-buat dan hanya untuk memberi kesan berwibawa. Dia memang ahli bersandiwara. "Silahkan duduk." Perintah Theo, dengan suara bas nya.

Aorta duduk di kursi yang tepat berhadapan dengan Theo, menunduk. Dia tak berani menatap Theo, karena dia tahu apa kesalahannya. "Untuk apa kau menunduk?" Tanya Theo. Lalu gadis itu mendongakkan kepala nya, memberanikan diri.

"Kau tahu kesalahanmu, tidak?" Tanya Theo sambil bertopang dagu.

Dengan ragu-ragu namun pasti, dia mengangguk pelan. "Saya tahu, sir."

"Bagus. Kalau begitu, kau mau menanggung hukuman?" Aorta mengangguk pelan.

"Kau akan menjadi asisten ku, selama 2 minggu." Ucapnya dengan santai.

Aorta membulatkan kedua matanya, "Tapi sir, saya bahk--"

"Atau saya akan memberikan mu detensi selama satu semester ini?"

Gadis itu mengerutkan kedua alisnya, ingin membantah. Namun apa daya, dia hanya bisa memilih. "Saya- baik. Saya akan menjadi asisten anda, Mr. Hemish."

"Bagus, dan karena saya sudah memiliki asisten pribadi yang mengurus jadwal saya, jadi kau akan saya tugaskan untuk mengurus keponakan saya, Tif. Dia akan datang besok. Jadi kau akan menjadi asisten saya, mulai besok."

"Sir, itu bukan asisten namanya kalau mengurus anak kecil! Itu namany--"

"Detensi satu semester?" Tanya Theo dengan senyum jahil dan satu alis naik.

Gadis itu mendengus sebal."Terima kasih atas tawarannya, Tuan Hemish." Dan kemudian, dia beranjak dari duduknya dan memunggungi Theo. Dan membuka pintu ruangan nya kembali, dan menutupnya.

"Sama-sama, Nona." Ucap Theo disertai senyum jahil nya yang sering kali dia tunjukan akhir-akhir ini.

Bahagia sederhana untuk lelaki itu saat ini adalah membuat gadis itu berdecak sebal karena nya.

-Tbc

Hai hai. Maaf banget ya update nya lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa banget. Wkwk. Senang nya akhirnya lancar juga otak author. Kemaren macet parah nih melebihi tol jagorawi. Wkwk.

Vomments nya dong boleh? ;)

Salam Jari jempol,
Revandraazz :)x

Bloody LoveWhere stories live. Discover now