51. Hai Janu, Ayo Semangat

19 4 0
                                    

"Jani tau kapan Janu mati?" tanya Renjanu. Manik matanya menatap Anjani penuh dengan rasa penasaran. Jika jawabannya iya, maka akan semakin mudah untuk membuat strategi.

Kepala Anjani mengangguk. "Tanggal satu Januari, setelah acara tahunan sekolah," jawab Anjani.

Renjanu merenung sejenak. "Itu artinya kita punya waktu untuk merubahnya, tapi Jani harus berhenti datang ke sini. Kalau kamu terus menerus kembali, itu bisa berbahaya."

Mereka harus mencari cara agar Renjanu tetap hidup, tetapi tanpa mengorbankan Anjani atau berisiko mengganggu alam semesta.

Kepala Anjani menggeleng kuat. Ia juga tidak mau membiarkan Renjanu berjuang sendiri. Apalagi, ia tahu bahwa pembunuhnya adalah Taraka.

"Apa Janu ngga usah ambil beasiswa itu?" tanya Renjanu. Ia telah menebak Taraka pembunuhnya, dan jika itu Taraka pasti karena merebutkan sesuatu. Dan sesuatu itu adalah beasiswa untuk juara 1.

Alis Anjani bertaut bingung. Jika ia membiarkan Renjanu melepas beasiswa itu, apa Renjanu akan selamat? Bagaimana jika Renjanu tetap pergi setelah mengorbankan semuanya?

"Apa perlu Janu sampai seperti itu?" Gadis itu menghela napas pelan. Ia menatap manik mata Renjanu sendu.

Renjanu mengangguk, baginya beasiswa itu tidak terlalu penting. Masih banyak hal yang bisa ia capai jika umurnya lebih panjang. Daripada mengorbankan semuanya dan kehilangan hal-hal penting.

"Sekarang Janu harus fokus cari tau gimana mencegah semuanya," ujar Renjanu mantap. Ia tahu itu bukan keputusan yang mudah, tetapi tidak ada pilihan lain. Renjanu ingin memastikan masa depannya bersama Anjani, dan itu adalah langkah awalnya.

Anjani terdiam beberapa saat. Apakah piliahnya kali ini akan tepat? Apa dirinya  bisa menyelamatkan Renjanu? Apa bisa ia mengubah Taraka?

Anjani mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Dia harus merencanakan langkah-langkah berikutnya dengan sangat hati-hati. Mengubah masa depan tidak akan mudah, tetapi Anjani ingin mencoba untuk mencegah kejadian tragis yang akan datang.

"Tapi Janu." Masih ada satu hal yang membuat ia merasa janggal. "Janu yakin bisa dapat rangking 2?" tanyanya polos.

Renjanu terkekeh pelan. Ia mencubit gemas pipi Anjani. "Janu bisa ngelakuin semuanya," ujar lelaki itu penuh percaya diri.

Anjani masih tak yakin. Selama ini Renjanu selalu mendapat peringkat 1. Namun, kali ini mereka harus merubah rencana dan menjadi nomor 2.

Lalu Renjanu menatap lamat manik mata Anjani. "Janu bisa ngalah buat banyak hal, tapi kalau dia pengen Jani. Janu ngga akan pernah ngalah."

Pipi Anjani memerah padam. Jantungnya berdegup tak karuan. Kupu-kupu mulai berterbangan di dalam perutnya.

Renjanu menghadap Anjani dengan senyuman lembut di wajahnya. Dia merasa bahwa setiap kali bersama Anjani, ada semacam kekuatan tambahan yang mendorongnya untuk berjuang lebih keras. Renjanu meletakkan tangan di pipi Anjani dengan lembut dan berbisik, "Janu akan selalu memprioritaskan Jani, apapun yang terjadi. Kita pasti bisa melalui ini bersama."

Mereka saling berpegangan tangan, menguatkan satu sama lain dalam tekad untuk mencapai peringkat 2 dan mengubah rencana Taraka. Suasana di kelas yang hening dan penuh kehangatan menjadi saksi hubungan romantis Renjanu dan Anjani

🅷🅰🅸 🅹🅰🅽🆄

Nyatanya Renjanu tidak membiarkan Taraka menepati peringkat satu. Setelah pulang sekolah ia membawa Anjani ke perpustakaan. Tempat yang tenang dan nyaman untun belajar.

Mereka tiba di perpustakaan matahari telah membuat sinar jingga di langit. Cahaya merah keemasan matahari yang hampir tenggelam menyinari jendela-jendela perpustakaan, menciptakan suasana hangat dan tenang di dalamnya. Suara jangkrik mulai bersahut-sahutan, mengiringi mereka masuk.

Renjanu memilih meja yang terletak di sudut perpustakaan, jauh dari keramaian. Dia dan Anjani duduk berdampingan, membuka buku-buku dan membentangkan catatan mereka. Waktu berlalu dengan damai, hanya diwarnai oleh suara halaman buku yang berbalik dan obrolan pelan saat mereka saling membantu. Senja semakin meredup, memberikan mereka kesempatan untuk fokus sepenuhnya pada belajar.

Mereka duduk bersama di bangku di dalam perpustakaan. Suasana di sana sangat hening, hanya terdengar bisikan mereka berdua yang sedang berdiskusi. Renjanu mengambil buku catatan yang penuh dengan rumus-rumus matematika, dan Anjani berusaha keras untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan oleh Renjanu.

"Jani, ini gampang kok," kata Renjanu sambil menggaris-garis sebuah rumus di bukunya. "Janu yakin kita bisa menguasai ini."

Anjani mengeluh beberapa kali. Soal-soal itu terlalu rumit untuk ditangkap kepalanya. "Pusing," keluhnya membuat suara gema di dalam perpustakaan.

Renjanu memahami kebingungan Anjani. Ia berhenti sejenak dari mengajar dan tersenyum lembut pada gadis itu. "Tenang, Jani. Janu akan jelasin satu per satu. Kita bisa mengatasi ini bersama."

Mereka melanjutkan belajar, Renjanu dengan sabar menjelaskan setiap rumus dan konsep kepada Anjani. Dengan dorongan dan bimbingan Renjanu, Anjani mulai memahami pelajarannya secara perlahan. Suasana perpustakaan yang tenang membantu mereka fokus dan bekerja keras untuk mencapai peringkat kedua.

Matahari makin tenggelam hingga langit menjadi gelap. Anjani meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Belajar yang hanya satu jam saja sudah membuatnya lelah setengah mati. Terlebih, tak ada satu pun materi yang masuk ke kepalanya.

Renjanu melihat keteguhan Anjani dan dia tahu dia harus memberikan dukungan lebih pada gadis itu. "Jani, udah capek ya? Mau istirahat cari makan?" tawarnya sembari memberikan sebuah senyum lebar.

Kepala Anjani mengangguk dengan penuh antusias. Tak sabar keluar dari tempat ini. Mereka berdua beristirahat sejenak, menghirup udara segar di luar perpustakaan, sebelum melanjutkan sesi belajar mereka. Dengan semangat yang baru, mereka melanjutkan belajar hingga matahari sepenuhnya tenggelam dan perpustakaan ditutup. Meskipun sulit, Anjani merasa semakin dekat dengan tujuannya.

Keduanya berjalan, tak jauh dari sana rentenan pedagang kaki lima berjajar rapi. Mata Anjani berbinar kala melihat dan mencium aroma makanan di sana.

Anjani menarik lengan baju Renjanu pelan. Anjani menghirup aroma makanan dengan nafas dalam. "Janu, boleh kita makan di sana sebentar?" pintanya sambil menunjuk pedagang kaki lima yang menjual makanan yang terlihat sangat menggiurkan.

Renjanu tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja, Jani. Ayo, mari kita isi perut dulu sebelum melanjutkan belajar." Mereka berdua menuju pedagang kaki lima dan memesan beberapa hidangan enak yang terpampang di depan mereka.

Makanan enak itu menjadi hadiah setelah usaha belajar keras. Suasana senja yang hangat, aroma makanan yang menggoda, dan kebersamaan mereka membuat momen itu sangat berharga.

Anjani sudah tidak ingin memusingkan belajarnya lagi. Entah setelah ini mereka akan melanjutkan belajar. Atau memilih pulang karena hari sudah malam. Gadis itu memilih untuk menikmati makanannya malam ini.

Lagi-lagi hatinya jatuh pada bakso. Kali ini dia tidak menuangkan sedikit sambal. Anjani sudah kembali menjadi Anjani biasanya.

Renjanu tidak melarangnya. Bukan, bukan Renjanu berubah. Hanya saja ia sudah lama tidak melihat Anjani sesemangat ini. "Makan yang banyak," ujarnya sembari mengelus kepala Anjani.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now