17. Hai Janu, Jani Pergi

26 7 0
                                    

Malam makin gelap dan udara yang kian dingin tak membuat Anjani merasakan kantuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam makin gelap dan udara yang kian dingin tak membuat Anjani merasakan kantuk. Matanya masih terbuka lebar, menatap langit-langit kamarnya. Kepalanya terasa terus berputar. Mengulang semua memori tentang kejadian itu.

Ia terus memikirkan kenapa Taraka melakukan itu? Apa yang terjadi saat itu hingga Taraka memilih mengakhiri hidupnya.

Anjani meringkuk, lagi-lagi ia menangis. Bahkan kini matanya telah memerah dan membengkak. Melihat Taraka kehilangan nyawa di depannya. Sedangkan dirinya tak mampu melakukan apapun.

"Jani," Jelas itu suara Renjanu yang memanggilnya dari balik pintu. Lelaki itu belum pulang sejak mengantarnya tadi.

Entahlah, Anjani tak ingin mengobrol dengan Renjanu. Ia merasa ingin terus sendirian di kamarnya. Bahkan ia belum makan apapun setelah sampai di rumah.

"Makan dulu, yuk," ajak Renjanu. Nadanya lembut penuh perhatian. Di balik pintu itu Renjanu menyimpan banyak rasa khawatir pada kekasihnya.

Baru beberapa hari ini Anjani kembali ceria. Gadis itu malah kembali murung bersama rasa bersalahnya. "Jani," panggil Renjanu lagi. Sama dengan Anjani, saat ini Renjanu juga belum makan apapun.

Tangannya mengetuk pintu kamar Anjani pelan. "Keluar, yuk, Bub."

"Janu makan duluan aja, Jani ngga laper," sahutnya dari dalam sana.

Mana mungkin Renjanu membiarkan gadisnya menahan lapar sendiri di dalam kamarnya. "Janu boleh masuk, ngga?" tanyanya. Renjanu membawa kunci cadangan kamar Anjani.

Tak ada jawaban dari Anjani. Gadis itu sendiri ragu, apa ia harus menahan Renjanu agar tak masuk atau malah membiarkan lelaki itu masuk.

Pintu terbuka dengan Renjanu yang berjalan mendekat ke arahnya. "Udah ya nangisnya?" tangan Renjanu mengusap pipi Anjani yang telah basah karena air mata.

Anjani menghamburkan dirinya ke dalam pelukan Renjanu. Hangat dan nyaman menyelimuti Anjani. "Kenapa Jani ngga bisa nolong Taraka?" Gadis itu menangis di dalam dekapan Renjanu.

Dada Renjanu masih merasa perih melihat gadisnya menangisi laki-laki lain. Ia menarik napas dalam, lagi-lagi ia harus mengesampingkan egonya. Membiarkan Anjani menangis sendirian, apalagi menambah tangis gadis itu dengan marahnya. Renjanu tak mau hal itu terjadi.

"Apa Jani tau kalau Taraka bakal ngelakuin itu?" Renjanu bertanya sembari mengusap lembut kepala gadis itu. "Jani ngga tau kan? Gimana Jani bisa nolong kalau Jani ngga tau itu akan terjadi."

Ucapan Renjanu sepenuhnya benar. Sama halnya dulu yang terjadi pada Renjanu. Gadis itu juga tidak bisa melakukan sesuatu. Ia kehilangan Renjanu tanpa bisa melakukan apapun.

"Makan dulu, ya?" Anjani sampai tak sadar bahwa Renjanu masuk ke dalam kamarnya sambil membawa makanan. "Janu beli nasi goreng gila," ujar Renjanu. Ia menatap piring berisi nasi goreng gila lalu terkekeh pelan.

"Jani masih kesel ngga sama nasi goreng gila?" tanyanya sambil menyendok nasi itu dari piring.

Sesuap nasi masuk ke dalam mulut Anjani. Gadis itu menggelengkan kepala. Daripada rasa kesalnya pada nasi goreng gila. Dirinya kini penuh dengan rasa bersalah.

Senyum Renjanu merekah kala melihat piring yang semula penuh kini kosong tak bersisa. "Mau nambah?" tanyanya. Meski hanya sebuah basa-basi. Ia hanya membeli seporsi nasi goreng gila untuk Anjani. Itu tandanya jika Anjani mengiyakan, dia harus keluar mencari nasi goreng gila dengan rasa yang sama. Sebab tak mungkin nasi goreng gila langganannya masih berjualan di jam ini.

Untungnya Anjani menggelengkan kepala. Perutnya sudah terasa penuh. Tak mungkin bisa menampung makanan lagi di dalam sana.

"Janu," panggilnya lirih.

Lelaki itu menoleh dengan raut penuh rasa penasaran. "Kenapa?" Matanya menatap lamat Anjani.

"Makasih." Anjani tersenyum sangat lebar. "Jani boleh sendirian sekarang?" pertanyaan Anjani itu mengundang tawa kecil keluar dari mulut Renjanu.

Renjanu mengangguk, ia berdiri membawa piring kotor. Tangannya menepuk pelan kepala Anjani. "Jangan nangis lagi ya," ujarnya.

"Oh ya, Jani mau tau ngga?" tanyanya sebelum benar-benar meninggalkan kamar Anjani. "Janu cemburu tau pas Jani nangisin Taraka, ngga dikit tapi banyak banget." Pintu tertutup dan Renjanu tak lagi nampak di penglihatan Anjani. Lelaki itu pergi setelah mengatakannya.

Anjani kembali merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Kupu-kupu di dalam perutnya meronta untuk keluar. "Janu!" gerutunya sebelum ia bangkit dari ranjangnya.

Meja belajar yang diisi beberapa buku ekonomi. Dengan hiasan-hiasan kecil membuatnya nampak cantik. Anjani duduk di depan sana sekarang. Ia menatap lamat pada alat pemutar kaset pita milik Renjanu.

Tangannya meraih pita tape bertuliskan angka empat. Apa yang akan terjadi jika ia memutar kaset pita itu? Bagaimana jika ia kembali dan Renjanu menghilang? Apa ia mampu kehilangan Renjanu sekali lagi?

Anjani meletakkan kepalanya di atas meja. Ia rasa kepalanya tak pernah sepusing ini sebelumnya. Kepala kecilnya berpikir terlalu banyak hari ini.

Dirinya bimbang akan kembali atau tidak. Sebelumnya ia tidak pernah merasakan ini saat ingin menyelamatkan Renjanu. Namun, sekarang Anjani dipenuhi rasa ragu.

Ia menarik napas dalam. Ia mengusap kaset pita itu dengan lembut. Mengumpulkan banyak keberanian untuk memasukkan kaset ke dalam alat pemutarnya.

Keraguan Anjani membuat tangannya tak mau bergerak memasukkan benda itu. Matanya menatap lamat, kepalanya masih berputar menanyakan pertanyaan yang sama. Ia tidak ingin kembali dan kehilangan Renjanu lagi. Namun, ia tidak mau membiarkan Taraka seperti itu. Apa dirinya terlalu egois sekarang?

"Gimana kalau Jani malah ngga bisa nyelametin Janu sama Taraka? Gimana kalau mereka berdua malah hilang?" tanyanya pada dirinya sendiri. Tatapan matanya tak beralih dari kaset pita itu.

Helaan napas panjang Anjani dengan gusar. Wajahnya nampak sangat murung. "Jani harus gimana sekarang?" lirihnya. Ia tidak mau membuat keributan yang akan mengundang Renjanu kembali ke tempat ini.

Kepala Anjani menggeleng dengan kuat. Ia membuang semua rasa ragunya. Perlahan ia memasukkan benda itu ke dalam alat pemutarnya.

Suara lembut Renjanu masuk ke indera pendengarannya. "Hai Jani, kalau sedang marah Jani itu imut sekali. Rasanya Janu ingin sekali membawa kabur Jani dan hanya Janu yang bisa melihat Jani. Maaf kalau terdengar egois, tapi kadang Janu ingin sekali melakukan itu." Anjani terkekeh mendengar pengakuan dari Renjanu.

Tiba-tiba ia mulai merasakan berat pada matanya. Beberapa kali ia menguap. Rasa kantuk kini mendatangi dirinya. Perlahan Anjani meletakkan kepalanya di atas meja.

Rasanya tak terlalu nyaman. Namun, rasa kantuk begitu kuat membuat Anjani enggan untuk berjalan ke ranjangnya. Matanya berkabut, lama kelamaan semakin menggelap. Perlahan ia terasa di tarik dari tempat ini.

Hingga suara ramai orang-orang berbincang membuat matanya kembali terbuka. Sekali lagi Anjani berhasil kembali ke masa lalu. Meski kini kepalanya terasa berat saat menginjakkan kakinya di sekolah. Ia harus mengesampingkan semua yang ia rasakan dan mulai mencari sosok Taraka berada. Tak hanya Renjanu, kini tujuannya juga membuat Taraka tetap hidup di masa depan.

Hai Janu || Enerwon ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang