18. Hai Janu, Terasa Sayatan Perih

22 7 0
                                    

"Jani mau kemana?" Renjanu menahan tangan Anjani saat gadis itu berlari kebingungan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jani mau kemana?" Renjanu menahan tangan Anjani saat gadis itu berlari kebingungan. Anjani terdiam, menatap Renjanu dan pergelangan tangannya bergantian. Lalu ia berhenti dengan raut yang lebih tenang. "Ini udah jam masuk, loh," jelas Renjanu.

Anjani melihat jam pada ponselnya. Memang benar saat ini sudah mulai jam pelajaran. Ia pun menghela napas kecewa sebab masih harus menunggu beberapa waktu lagi.

"Jani," panggil Renjanu lembut. Ia menelisik gadis itu mencari sebuah kejanggalan. Semuanya makin terasa janggal saat gadis itu tak menanggapinya.

Tangan Renjanu mengibas di depan wajah Anjani. "Jani," panggilnya sekali lagi. Kemudian gadis itu tersadar. "Jani ngga mau dihukum Bu Ayu lagi kan?" tanyanya.

Kepala Anjani menggeleng. "Janu nggak ke kelas?" Anjani berbalik tanya.

"Ngga, Janu mau lihat Jani masuk kelas dulu," ujarnya. Meninggalkan gadis itu tanpa memastikannya telah masuk kelas adalah sebuah resiko besar. Renjanu sudah beberapa kali meninggalkan Anjani dengan akhir gadis itu dihukum Bu Ayu.

Renjanu memutar badan Anjani. Memaksa gadis itu berjalan menuju kelasnya. Pundak Anjani merosot kecewa. Ia tidak akan bisa kabur sekarang.

Terpaksa Anjani mengikuti pembelajaran tanpa ada kesempatan kabur keluar. Renjanu tidak masuk ke kelasnya. Lelaki itu punya banyak privilege hingga membolehkannya tak masuk kelas saat pembelajaran.

Anjani tak sepenuhnya fokus pada pembelajaran. Perhatiannya teralihkan oleh Renjanu yang duduk di sebuah kursi panjang depan kelasnya. Lelaki itu dengan tenang membaca bukunya. Angin sepoi yang menerpa rambutnya. Membawa daya tarik kuat Renjanu.

Bukan hanya Anjani, sebagian siswi di kelasnya juga memandang Renjanu penuh kagum. Rasanya Anjani ingin marah saat itu juga. Seenaknya saja mereka memandangi Renjanu seperti. Tak taukah mereka bahwa Renjanu adalah pacarnya? Mungkin sekarang belum, tapi Renjanu adalah pacarnya di masa depan.

Pintu kelasnya perlahan tertutup membuat Renjanu tak berada di pandangan mereka. "Yah!" keluh Anjani spontan. Semua mata kelasnya menuju padanya. Anjani ingin menenggelamkan dirinya sekarang saking malunya.

Di luar sana Renjanu masih sibuk dengan buku-bukunya. Walaupun pintu kelas telah tertutup rapat. Dia tetap berada di sana mengawasi Anjani. Gadis itu punya seribu cara untuk kabur.

"Lo bolos?" seorang duduk di sebelah Renjanu. Tak lain adalah Taraka. Lelaki itu juga tidak masuk kelas dan memberikan pertanyaan yang seharusnya Renjanu juga tanyakan pada lelaki itu.

Kepala Renjanu mengangguk. Ia keluar kelas tanpa izin memang. Jika ia adalah murid biasa pasti akan dicap membolos. Sedangkan Renjanu tidak, ini namanya 'Belajar Mandiri'. Begitulah kaga guru-guru kalau Renjanu tak ingin belajar di kelasnya.

"Lo sendiri?" Mata Renjanu masih fokus pada bukunya. Namun, ia masih menyempatkan bertanya pada Taraka.

Sama dengannya, Taraka mengangguk. "Nunggu Anjani?" tanyanya lagi.

Lagi-lagi, Renjanu menganggukkan kepala. Tak menoleh dan terus saja berkutat dengan buku-bukunya. "Tadi lo dicari Jani," ujar Renjanu.

Taraka mengernyit bingung. "Gue?" Ia menunjuk dirinya sendiri.

"Iya," jawab Renjanu singkat. Entahlah mengetahui fakta bahwa Anjani mencari Taraka membuat dadanya seperti disayat. Perih dan ngilu secara bersamaan. "Lo ada masalah?" Pertanyaan Renjanu bukan tanpa alasan.

Anjani mencari lelaki itu dengan penuh rasa khawatir. Rautnya seperti saat Anjani yang selalu mengatakan padanya untuk tidak pergi. Gadis itu seperti pernah kehilangannya saja.

"Tunggu aja dia di sini." Renjanu berduri dari duduknya. Meski ada rasa tak rela membiarkan Anjani menemui laki-laki lain. Renjanu sebagai sahabat hanya bisa mendukungnya.

Tarikan napas Renjanu diakhiri dengan senyum ramah. "Gue duluan," pamitnya dan semakin menjauh dari pandangan Taraka.

Sedangkan lelaki itu masih bingung dengan setiap perkataan Renjanu. Ia duduk di sana tanpa alasan. Memandangi pintu kelas Anjani yang tertutup rapat. Hingga perlahan pintu terbuka dan murid kelas itu berhamburan keluar.

Anjani juga berada di kerumunan itu. Gadis dengan kucir kepang dua yang menarik perhatian Taraka. Tangan lelaki itu berhasil menarik Anjani dari kerumunan. Ia memandang Anjani penuh tanya. Mencoba mencari jawaban dari ucapan Renjanu beberapa saat yang lalu.

Senyum gadis itu mengembang lebar. Menampakkan deretan gigi dan lesung pipitnya. "Taraka," ucapnya dengan nada penuh rasa gembira.

"Lo nyari gue?" tanya Taraka yang entah kenapa Anjani menjawabnya dengan gelenggan.

Jelas-jelas gadis itu tadi mencari Taraka dengan penuh rasa panik. "Sekarang ngga," jawabnya.

Kepala Taraka mengangguk pelan. Meski ia merasakan bingung. Ia tidak banyak bertanya lagi. "Lo mau ke kantin?"

Anjani menggeleng. Tidak ada hasrat pergi ke mana pun selain mencari Renjanu sekarang. Namun, bukan hanya Renjanu. Taraka sekarang juga bagian dari rencana penyelamatannya.

"Taraka mau Jani kasih tau sesuatu ngga?" tanya Anjani sesaat sebelum Taraka membalikkan badan. "Kalau ada masalah jangan pernah di pendam sendirian," ucapnya.

Taraka kembali menatap Anjani. Ada sebuah getaran aneh di dadanya. Jantungnya berdegup lebih kencang. Jauh lebih kencang dari pengumuman rangking semester. "Gue ngga punya masalah," sangkalnya. Padahal di dalam kepalanya terdapat puluhan masalah yang menghantuinya.

Mana mungkin gadis itu percaya. "Taraka bohong," cibirnya. Ia menatap lamat Taraka. Mata mereka saling bertatapan. "Semua orang punya masalah dan ngga perlu malu buat berbagi masalah sama temen," jelas Anjani.

"Gue ngga punya temen." Taraka memalingkan wajahnya. Rasanya ia tak mampu menatap Anjani lebih lama. Debaran aneh itu semakin menjadi kala matanya bersinggungan dengan Anjani.

Tangan Anjani dengan ringan memukul punggung Taraka. Bukan pukulan ringan, melainkan pukulan keras hingga menimbulkan bunyi dentuman. "Taraka ngga anggep Jani ada? Jani juga temen Taraka tau!" marahnya.

"Lo? Temen?" Ia ragu, selama ini tak ada yang mengatakan berteman dengannya.

Anjani berdecak kesal. Bisa-bisanya Taraka tidak menganggapnya teman. "Memang ada orang yang bukan teman ngobrol terus ngasih saran? Emang kalau bukan teman ngajak makan bareng?" Alis gadis itu bertaut penuh amarah.

Helaan napas kesal terdengar dari mulut gadis itu. "Taraka itu temen Jani, temen Janu juga, sama Kak Ana," jelas Anjani sembari menepuk-nepuk pundak Taraka.

Detak jantung Taraka makin tak normal. Ia menarik napas dalam sebelum semuanya semakin terasa tak normal. "Gue harus apa sebagai temen?"

Anjani tertawa kencang. Pertanyaan macam apa itu? Memangnya pertemanan perlu ajang audisi? "Perlu nganggap Jani, Janu, Kak Ana ada di sisi Taraka. Harus inget kalau Taraka ngga sendirian, kita selalu ada buat Taraka."

Bibir Taraka berkedut dan menampakkan sebuah senyum kecil. Secara otomatis kepala Taraka mengangguk merespon Anjani.

"Kalau gitu Jani pamit dulu, mau cari Janu." Gadis itu menjauh. Semakin jauh dari jangkauan Taraka. Namun, kakinya enggan mengejar gadis itu. Ia hanya membiarkan Anjani pergi.

Ia pun berbalik arah, pergi membuat jarak lebih jauh dengan Anjani. Debaran aneh itu menghilang diganti dengan sayatan-sayatan perih di dadanya.

Hai Janu || Enerwon ||Where stories live. Discover now